OLEH:
NUR SYARIF RAMADHAN
Aku tahu, pasti diantara kalian, ada
yang telah mengetahui namaku. Iya kan?
Baiklah, meskipun diantara kalian sudah ada yang mengenalku, tak apalah aku
memperkenalkan diri. Namaku Nur Syarif Ramadhan. Hanya tiga kata. Gampang kan
mengingatnya? Sebagai tanda persahabatan kita, kalian boleh memanggilku Ram.
Ups, ada apa? Ada yang aneh dengan nama Ram?, iya. Aku tahu kok. Pasti diantara
kalian ada yang merasa aneh dengan nama itu. Apalagi jika kalian pernah atau
sedang membaca buku Tere Liye yang berjudul: “NEGERI PARA BEDEBAH”, pasti
kalian akan merasa jengkel, marah, dan benci akan nama tersebut. Tapi sudahlah.
Tak perlu pusing dengan Ram yang ada dalam buku tersebut. Toh, Ram yang itu
hanya fiksi. Ayolah, segeralah lupakan. Mari kalian fokuskan perhatian kalian
kepada sosok Ram yang lain. Ram yang sedang kalian baca tulisannya ini.
Sebelum
kalian membaca lebih lanjut tulisan ini, kalian harus tahu, bahwa sosok yang
mengetik tulisan ini adalah sosok yang sedang berusaha belajar. Belajar apa?
Belajar apa saja yang bisa ddipelajari. Jadi ketika kalian menemukan kesalahan
apapun dalam tulisan ini, harap dimaklumi. Namanya juga baru belajar, kesalahan
sekecil apapun dapat terjadi.
Kalian
mungkin bingung, apa sih maksud dari tulisan ini? Ah, sudahlah. Aku mohon maaf
jika harus memulainya dengan cara tak lazim seperti ini. Harus kujelaskan,
tulisan ini akan berisi sebuah kisah yang mungkin membosankan, menyenangkan,
mengasyikkan, dan bahkan menginspirasi bagi kalian yang membacanya. Aku tak
berani membuat kesimpulan. Entahlah, biar kalian nanti yang menarik benang
merahnya. Lantas, kisah siapakah yang akan kalian baca? Jangan khawatir, aku
ini bukan penggosip yang seenaknya menceritakan aip orang lain. Aku akan menceritakan
kisahku sendiri. Sebuah kisah nyata yang kini telah memberiku pemahaman baru
akan sebuah mimpi. Sebelum aku menceritakannya, kalian harus tahu bahwa aku ini
seorang penyandang disabilitas. Kedua bola mataku tidak bisa bekerja secara
maksimal sejak aku masih bayi. Orang luar sana menyebutnya lowvision. Kenapa?
Kalian heran? Astaga, tenanglah. Jangan bertanya dulu. Sebentar lagi keheranan
dan pertanyaan kalian akan terjawab dalam kisahku ini. Here we go!
*
* *
Seperti
yang kalian ketahui, aku ini seorang penyandang disabilitas. Layaknya
penyandang disabilitas pada umumnya, aku juga banyak mengalami tindakan
diskriminasi. Seperti yang kualami ketika akan masuk keperguruan tinggi. Sebuah
pengalaman yang semoga bisa menginspirasi kalian.
Di kampungku, makassar, ada tiga
buah universitas negeri, yakni: Universitas Hasanuddin (UNHAS), Universitas
Negeri Makassar (UNM), dan universitas Islam Negeri (UIN). Namanya juga
universitas ternama di sulawesi selatan, ketiga kampus ini, menjadi pilihan
utama bagi setiap orang yang ingin melanjutkan pendidikannya.
Begitulah,
kawan. Dengan bermodalkan kepercayaan diri yang tinggi, aku akhirnya mendaftar
juga ke universitas tersebut. Waktu itu, aku memilih UNHAS sebagai pilihan
pertama, dan UNM sebagai pilihan kedua. Tahukah, kawan, ada rahasia tersendiri
dibalik pilihan tersebut. Penasaran? Baiklah. Aku berjanji, suatu saat aku akan
menceritakannya. Tidak sekarang tentunya.
Singkat
kata, aku kemudian akhirnya mengikuti tes tertulis seleksi nasional masuk
perguruan tinggi negeri (snmptn) yang secara serentak, berlangsung selama dua
hari. Hingga akhirnya, pengumuman itu pun datang. Sungguh, pengumuman itu
sangat membuatku khawatir, kawan. Betapa tidak, waktu itu, jumaat, 6 juli 2012,
sekitar pukul 19.00 wita, tiba-tiba saja HP-ku bergetar. Sebuah sms masuk.
“brother,
sudah mako liat pengumuman snmptn?, kalau saya ndak luluska.” Itulah bunyi sms
yang dikirimkan oleh sahabatku: Baharuddin (saat ini kuliah di sekolah tinggi
ekonomi islam yogyakarta). ketika aku selesai membaca sms itu, sedikit rasa
pesimis menyelusup dan mencoba mengusik rasa optimis yang telah setengah mati
kukumpulkan. Sontak, aku langsung memikirkan dua hal. Pertama, bukankah
pengumuman snmptn baru keluar pada besok hari? (tanggal 7 juli 2012). Kedua, jika
Baharuddin benar tidak lulus, bagaimanalah denganku?. Harus kalian ketahui,
kawan, Baharuddin merupakan siswa yang memiliki nilai tertinggi di sekolahku
untuk jurusan IPS. Sedangkan aku, hanya berada di posisi kedua. Bagaimanalah
ini? Aku langsung me-reply sms itu, dan menanyakan apakah pengumuman itu sudah
betul-betul keluar? Ternyata benar, kawan. Pengumuman itu memang sudah ada.
Namun baru bisa di cek pada website resmi snmptn.
Meskipun
pengumuman itu sudah ada, tapi malam itu, aku tak langsung mengeceknya.
Entahlah. Aku belum siap mengetahuinya. Akhirnya kuputuskan untuk melihatnya
keesokan harinya.
Sabtu,
7 juli 2012, sekitar pukul 07.37 pagi, aku dibangunkan oleh Hp-ku yang kembali
bergetaar. Sebuah sms kembali masuk. Kembali dari sahabatku: Ummu Kalsum (saat
ini belajar di BLKI).
“Ram,
sudah kau lihat pengumuman snmptn? Bagaimana hasilnya? Saya sendiri tidak
lulus”. Itulah sms kedua dari sahabatku. Ternyata mereka semua tidak lulus.
Rasa pesimis semakin membesar. aku langsung bergegas menyalahkan laptop. Aku
harus segera melihat pengumuman itu. Dan, seperti yang kalian ketahui, ternyata
nasipku berbeda dengan kedua sahabatku itu. Di website resmi snmptn tertulis
dengan indah: “Nur Syarif Ramadhan, dengan nomor peserta: 212-82-00131, lahir
di Bontolangkasa, 13 maret 1993, anda lulus pada prodi: Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (Universitas Negeri Makassar). Selamat atas kelulusan
anda!!!”.
Pesimis
itu akhirnya berguguran, kawan. Saat itu aku merasa menjadi orang paling
beruntung di dunia. Mungkin menurut kalian itu berlebihan, kawan. Tapi tak
apalah. Memang itulah yang kurasakan saat itu. Namun, ujian sebenarnya baru
akan dimulai. Peristiwa kelulusanku itu telah memberiku pemahaman baru.
Ternyata, nilai ataupun peringkat sewaktu sma, tidak bisa menjadi jaminan lulus
tidaknya seseorang keperguruan tinggi.
Jadi,
bagi kalian yang mungkin semasa sma, tidak memiliki prestasi terlalu bagus di
bidang akademik, jangan resah, kawan. Tetaplah berjuang. Tuhan selalu ada buat hambanya
yang selalu berharap dan berusaha. Kepintaran tidak bisa menjamin keberhasilan
seseorang. Tapi kepintaran bisa menjadi modal berharga yang dapat menuntun
seseorang ke gerbang keberhasilan. Dan pada dasarnya, semua orang itu memiliki
kecerdasan yang sama. Kitalah yang harus mengolah kecerdasan tersebut agar bisa
digunakan.
*
**
Dua
hari kemudian, tepatnya senin, 9 juli 2012, setelah mengurus kelengkapan
berkas, aku langsung menuju ke kampus universitas negeri makassar yang
lokasinya di sekitar jalan AP PETTARANI Makassar. Dari asrama tempat tinggalku,
aku harus dua kali naik angkutan umum (pete-pete) untuk berada di kampus
tersebut. Tentu saja aku berangkat sendiri, kawan. Mobilitasku telah terlatih
untuk melakukannya.
Begitulah,
kawan. Selama ini banyak kalangan yang mengira jika seorang penyandang
disabilitas netra tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain. Tentu
saja itu salah, kawan. Memang sih, dalam hal tertentu, seorang penyandang
disabilitas butuh bantuan orang lain. Namun, masih lebih banyak hal lain yang bisa
dikerjakan oleh seorang penyandang disabilitas secara mandiri tanpa melibatkan
orang lain.
Pagi
itu, dalam perjalanan menuju kampusku, diatas kendaraan umum itu, aku bertemu
dengan seorang ibu yang mungkin keheranan dengan keberanianku untuk bepergian
sendiri tanpa bantuan orang lain. Baiklah, tak ada salahnya kalian ketahui
kejadian itu sebelum kita tiba ke bagian utama cerita ini.
Sekitar
sepuluh menit sebelum aku tiba di tempat tujuan, seorang ibu tiba-tiba
berbicara kepadaku. Ketika itu, tak terlalu banyak penumpang yang berada diatas
angkutan umum tersebut.
“mau
kemana, dek?” aku tertegun sejenak. Dengan sisa-sisa penglihatan yang kumiliki,
aku mencoba memperhatikan orang tersebut. Seorang ibu-ibu muda. Entahlah aku
tak bisa memprediksikan usianya. Aku lalu menyebutkan tempat tujuan.
“kenapa
berangkat sendiri? Apa tidak ada yang bisa menemani?.” aku mengangguk
mengiyakan.
“astaga,
dek, itu berbahaya sekali!.”. aku hanya tersenyum menanggapinya. Senyap
sejenak. Aku tak tahu hendak berkata apa.
“memangnya,
adek mahasiswa?”
“baru
mau jadi mahasiswa. Alhamdulillah, saya lulus di UNM, bu’.”. kali ini aku
berbicara. Berusaha lebih seksama memperhatikan lawan bicaraku. Dua detik
kemudian aku mendengar decakan kagum darinya.
“apakah
adek tidak takut?”
“Takut
apa yaa?”
“begini,
dek, adek kan sekarang sedang bepergian sendiri. Nah, apakah adek tidak takut
tersesat? Apalagi sekarang, kota ini sudah sangat ramai. Tak terbilang lagi
jumlah kendaraan yang berlalu-lalang. jika missalnya suatu hal buruk terjadi,
misalnya ketika adek sedang berjalan sendiri, apakah adek tidak menyadari bahwa
kapan saja, adek bisa terserempet ataupun tertabrak kendaraan?.”. Hatiku
terlonjak mendengar kalimat terakhir. Ada rasa ketersinggungan yang tak
kusadari telah masuk dalam hatiku. Aku terdiam sejenak. Mencoba berpikir, entah
apa yang harus kukatakan pada orang dihadapanku ini. Belum lagi ada kata-kata
yang keluar dari mulutku, ibu itu kembali mengatakan sesuatu yang mengakibatkan
level ketersinggunganku menjadi meningkat.
“dek,
seharusnya kau tidak usah sekolah. Kau sebaiknya tinggal di rumah saja. Buat
apa kau bersusah-susah untuk bersekolah. orang normal saja— yang susah paya
untuk bersekolah, demi untuk mencari pekerjaan, banyak yang jadi pengangguran.
Apalagi orang sepertimu, dek. Saat ini, sebaiknya kau bersantaisaja di rumah.
Toh orang tuamu pasti berkecukupan kan?” aku mencoba mengendalikan perasaanku.
Rasa-rasanya aku sudah ingin meninju orang dihadapanku ini.
“dek,
kalau pun tuhan menakdirkan kau untuk bersekolah, pasti iya akan mengembalikan
penglihatanmu. Tidak justeru membiarkanmu seperti ini.”. Astaga, aku sungguh
tidak menyangkah, kalau orang dihadapanku ini akan mengeluarkan pandangan
ekstrim seperti itu. Naluriku memaksaku untuk membantah. Dengan emosi yang
berusaha kutahan, akhirnya aku berkata.
“maaf,
bu, apakah ibu pernah mendengar seorang disabilitas netra tertabrak kendaraan?”
terdiam. Lima detik berlalu. Tetap tak ada jawaban.
“disabilitas
netra itu seperti saya, bu. Orang yang memiliki keterbatasan pada indera
penglihatannya. Nah sekali lagi, bu, apakah ibu pernah melihat ataupun
mendengar orang seperti saya tertabrak kendaraan?”. satu detik. dua detik. lima
detik. Akhirnya ada jawaban.
“belum,
dek.”
“sekarang,
apakah ibu pernah melihat ataupun mendengar seseorang yang secara fisik
baik-baik saja, tak ada masalah pada matanya, tertabrak kendaraan?”
“sering,
dek.”
“nah,
berarti ibu yang harus berhati-hati.” Akhirnya kata itu terucap juga. Entah
dari mana keberanian itu muncul. Hingga aku berani mengatakan kalimat terakhir itu.
Ibu
itu terdiam. Aku pun demikian. Senyap sejenak. Hanya suara mesin mobel
pete-pete itu yang terdengar. Tiga puluh detik berlalu. Aku masih ingin
berbicara. Jelas sekali, ibu yang sedang menjadi lawan bicaraku ini telah salah
menapsirkan tentang takdir tuhan. Aku hendak meluruskan pemahaman orang ini. Sayangnya,
ketika baru saja aku ingin menggerakkan bibir, mobil itu berhenti. Sopir
pete-pete berseru riang. Entahlah. Mungkin ia tak memperhatikan kejadian yang
baru saja terjadi diatas mobilnya.
“dek,
kau turun di unm kan? Kita sudah di unm sekarang”. suara berat namun riang itu
memberitahu. Aku memang telah memberitahukan tempat tujuanku sebelum naik tadi
pada sopir pete-pete tersebut. Aku mengangguk sejenak. Sesaat kemudian aku
sudah turun.
“terimakasih,
pak, ya…”. Ucapku pada sang sopir sambil memberikan beberapa lembar kertas
berharga. Mesin pete-pete itu meraung sejenak, sebelum berlalu meninggalkanku.
Kalian mungkin penasaran, apakah yang ingin kukatakan pada ibu itu? Aku hanya
ingin memberitahukannya, kalau seorang penyandang disabilitas juga bisa melakukan
sesuatu hal yang kebanyakan orang lakukan. Penyandang disabilitas juga bisa
menempu pendidikan layaknya masyarakat pada umumnya. Aku hanya bisa berdo’a
dalam hati, semoga tuhan memberikan pencerahan kepada ibu tersebut. Sehingga ia
tidak berpandangan buruk lagi kepada penyandang disabilitas, kususnya
disabilitas netra sepertiku.
* * *
Sekarang,
aku berada di keramaian jalan AP PETTARANI makassar. Padat sekali. Tentu saja,
itu sangat menyulitkan bagi seseorang yang ingin menyebrangi jalan tersebut.
Aku mencoba mengenali tempat itu. Ternyata, mata suapku cukup membantu. Aku
saat ini berada di depan gedung Phinisi. Salah satu gedung yang dimiliki oleh
universitas negeri makassar. Harus kalian ketahui, gedung ini memiliki tujuh
belas lantai. Bangunannya menyerupai perahu Phinisi. Jika suatu saat kalian ke
makassar, tak ada salahnya kalian melihat-lihat gedung ini. Sayang sekali, mata
suapku sudah tidak bisa menggambarkan kepada kalian betapa indahnya gedung ini.
“kau
mencariku, Ram?”. Suara lembut itu menyapa. Namanya Hafsah. Seorang volunteer.
Ialah yang akan menemaniku hari itu.
“padat
sekali, ram. Kita harus bergegas. Ada ribuan calon mahasiswa baru yang
agendanya sama dengan kita. Berkasmu sudah lengkap?” aku mengangguk. Tanpa
dikomando, Hafsah langsung menarik tanganku. kami harus membawa berkasku ke
gedung BAAK Unm. Waktu itu, gedung ini letaknya berhadapan langsung dengan
gedung Phinisi. Jadi, kami tak begitu sulit menemukannya.
Setelah
melewati antrian yang begitu melelahkan, akhirnya berkasku pun telah ku
kumpulkan. Seorang ibu berjilbab hijau tersenyum menerimanya. Ibu itu lalu
menyerahkan tiga lembar kertas formulir, beserta sebuah map merah dan sebuah
buku tebal yang merupakan buku panduan dari universitas.
Hafsah
menuntunku menyusuri koridor gedung tersebut. ia membawaku ke sebuah bangku
panjang. Di sana, ia mengisi formulir pemberian ibu tadi. Tentu saja, ia
menuliskannya untukku. Kurang dari sepuluh menit kemudian, kertas-kertas itu
telah terisi. Selanjutnya, aku harus mengikuti tes kesehatan, sebelum kembali
menyerahkan kertas formulir itu.
Hafsah
kembali menuntunku kesebuah ruangan. Cukup besar. Ukurannya sekitar setengah
lapangan sepak bola. Penuh sekali. Ruangan itu telah dibanjiri oleh ratusan
bahkan ribuan calon mahasiswa lain. Mereka juga sedang mengikuti tes kesehatan.
Kesabaranku
betul-betul teruji hari itu. Empat jam aku menunggu. Namun dokter pemeriksa
kesehatan itu belum memanggil namaku. Tubu kecilku mulai kelelahan. Lelah
selama empat jam berdesak-desakan dengan calon mahasiswa lain. Aku mengeluh
dalam hati. Hafsah pergi entah kemana. Tadi, sebelum masuk ruangan, ia dicegah
oleh salah seorang petugas. Entahlah. Aku tak tahu apa yang terjadi.
Lima
belas menit berlalu. Tubu kurusku masih meringkuk. Berusaha menahan panas yang
mulai menggila. Tak ada satupun pendingin ruangan yang ada di tempat itu. Mata
suapku mencoba mencari keberadaan Hafsah. Nihil. Ia sama sekali tidak berada di
ruangan itu.
“Nur
Syarif Ramadhan!.” Akhirnya petugas itu meneriakkan namaku lima menit kemudian.
Dengan ragu-ragu, aku melangkahkan kaki menuju ke sebuah meja. Semoga
perkiraanku benar. Seharusnya Hafsah ada di tempat itu. Aku tak tahu hendak
berkata apa jika dokter pemeriksa itu mengetes penglihatanku. Akupun tak tahu,
apakah meja yang kutuju sudah benar atau tidak.
Syukurlah,
perkiraanku tepat. Aku telah menuju ke meja yang benar. Meja berukuran sedang
itu diapit oleh dua buah bangku kecil. Dokter pemeriksa itu duduk di salah satu
bangku. Aku langsung duduk di bangku yang satunya. Jujur, aku gugup sekali
waktu itu. Apalagi ketika bersitatap dengan dokter itu. Semoga saja ia tidak
mempermasalahkan mataku.
“kau
merokok?”. Dokter pemeriksa itu membuka percakapan dengan bertanya.
“tidak,
pak.” Aku menjawab mantap. Dokter itu terdiam. Ia lalu mengambil selembar
kertas dari atas meja. Menulis sesuatu. Kemudian ia menjangkau sebuah benda
kecil yang langsung di tempelkan ke dadaku. Rasa gugup membuatku tak
memperhatikan benda kecil tersebut.
Sesaat
kemudian, tes kesehatan itu selesai. Aku diberi selembar kertas. Mungkin itulah
hasil tesnya. Aku berdiri dari bangku itu. Sejauh ini tak ada masalah. Aku
sudah melewati tes itu. Aku bergegas. Mengikuti calon mahasiswa lain. menuju
pintu keluar ruangan besar itu. Saat itulah Hafsah muncul.
“dari
mana?” aku langsung memulai pembicaraan. Terdiam. Berpikir sejenak.
“ada
masalah, ram.”
“masalah
apa?” kembali terdiam. Satu detik. Dua detik. Lima detik.
“aku
sudah mengikuti tes kesehatan itu.” Ucapku kemudian, sambil membentangkan
kertas yang kuterima dari dokter itu lebar-lebar.
“ia,
ram. Saya tahu. Tapi, kertas ini masih perlu ditandatangani oleh kepala
policlinik universitas.”
“apa
susahnya? Bukankah kita hanya membutuhkan tandatangannya?” Hafsah menggeleng.
Tak bersuara. Ia langsung menarik tanganku. Kami lalu menuju pintu keluar. Dua
langka lagi dari pintu keluar, kami berhenti. Di situlah aku harus menyerahkan
hasil pemeriksaan itu untuk kemudian ditandatangani. Hafsah mengambil kertas
itu dari tanganku. Ia langsung meletakkannya di atas meja.
“berkas
siapa ini?” kepala policlinik itu rupanya seorang perempuan. Aku tak begitu
jelas melihatnya. Hanya suaranya yang membuatku mengetahuinya. hafsah
menatapku.
“ooh.
Vakultas apa?”
“ilmu
social bu. Prodi ppkn.” Kali ini aku yang menjawabnya. Ibu itu nampaknya lebih
memfokuskan perhatiannya kepadaku. Pandangan kami bertemu. Kali ini aku bisa
lebih jelas memperhatikannya. Ibu itu memakai jilbab ping.
“kau
tunanetra yaa?” terdiam. Hafsah menatapku. Aku mengangguk. Ibu itu langsung menjangkau
berkasku yang sudah terletak di atas meja. Membacanya sejenak. Menatapku
kemudian. Membaca lagi dengan lebih teliti. Lalu kemudian menggeleng.
“maaf,
berkasmu saya tahan dulu. Kau sepertinya tidak bisa berkuliah di vakultas dan
prodi yang kau inginkan.” Ibu itu melipat berkasku, dan langsung memasukkannya
ke dalam sebuah map.
“kenapa,
bu?” tanyaku kemudian.
“bukankah
ibu tinggal menandatangani berkas saya? Saya kan sudah lulus pada tes kesehatan
bu!” aku mencoba berbicara sedikit keras. Ibu itu terdiam. Ia mengambil
selembar kertas berukuran kecil. Ia menuliskan sesuatu. Kemudian menyerahkan
kertas itu pada hafsah.
“itu
nomor telpon saya. Maaf, saya tidak bisa menjelaskannya sekarang. Sebaiknya
kalian datang lagi besok. Kita ketemu di policlinik universitas besok sekitar
jam sembilan. Bagaimana?” aku tak terima. Aku menggeleng.
“maaf.
Saya masih harus melayani ribuan calon mahasiswa lain. Sebaiknya kita bicarakan
masalah ini besok.” Aku bergumam dalam hati. Masalah apa yang dimaksud ibu
itu?, Hafsah menarik tanganku. Kami Keluar dari ruangan itu. Aku tak bisa
berbuat apa-apa. Ruangan itu terlalu sesak, sehingga Aku tak bisa berpikir
cepat.
Hafsah
menuntunku keluar dari ruangan itu. Ia membawaku kesebuah bangku panjang yang
tadi telah kami tempati untuk mengisi formulir. Kami langsung duduk.
“urusan
ini serius, ram. Ibu tadi tidak main-main.” Hafsah langsung membuka
pembicaraan. Aku sebenarnya sudah mencemaskan tes kesehatan itu, kawan. Sudah
ada beberapa kasus penyandang disabilitas di makassar, yang dipersulit pada
bagian itu. Entah apa alasannya. Padahal, dokter sendiri sudah memberikan
penjelasan bahwa disabilitas itu bukanlah sebuah penyakit.
Tapi,
kusus masalah ditahannya berkasku tadi, aku sendiri meyakini kalau aku tidak
ada masalah dengan tes kesehatan. Buktinya, dokter pemeriksa kesehatan itu
tidak mempersulitku. hanya ketua policlinik yang tidak mau menandatangani
berkas hasil pemeriksaan itu. Mungkin saja, aku bermasalah karena aku melulusi
vakultas dan prodi yang selama ini belum pernah menerima mahasiswa istimewah
sepertiku.
Perlu
kalian ketahui, kawan, aku bukanlah satu-satunya penyandang disabilitas netra
yang lulus di universitas negeri makassar pada tahun itu. Ada satu lagi
penyandang disabilitas netra yang juga berhasil lulus di universitas yang sama
denganku. Namanya Irwan. Ia lulus di vakultas ilmu pendidikan, prodi PLB
(pendidikan luar biasa). Aku langsung mengontak Irwan. Dan ternyata, ia tak
memiliki masalah apapun. Berkasnya tak ditahan seperti diriku.
Satu-satunya
prodi di universitas negeri makassar yang paling sering menerima mahasiswa
disabilitas adalah prodi PLB. Sudah tak terhitung lagi penyandang disabilitas
yang menerima gelar sarjana pada prodi tersebut. Aku semakin yakin, jika pihak
universitas sengaja mempersulitku karena aku melulusi prodi yang sama sekali
belum pernah menerima seorang mahasiswa disabilitas netra sepertiku. Itulah
salah satu bentuk diskriminasi yang terjadi di kampungku, kawan, kususnya di
universitas negeri makassar.
Sekitar
pukul dua siang, aku dan Hafsah beranjak meninggalkan gedung itu. Tak ada hal
penting lagi yang harus kuurus di sana. Aku langsung menuju ke asrama tempat
tinggalku. Ditengah perjalanan, aku mengontak salah seorang teman yang saat itu
aktif disebuah organisasi yang bernama: Persatuan Penyandang Disabilitas
Indonesia (PPDI sulawesi selatan). Aku menceritakan kejadian yang kualami hari
itu lengkap dengan analisaku. Aku membutuhkan bantuan dan dukungan dari PPDI
jika nanti pada akhirnya pihak universitas tak membolehkanku untuk berkuliah di
prodi yang telah kululusi. Hasilnya, mereka akan berusaha membantu jika memang
hal itu terjadi.
* * *
Keesokan
harinya, tepatnya pukul sembilan pagi, aku kembali berada di gedung baak
universitas. Hafsah kembali mendahuluiku tiba di tempat tersebut. Selanjutnya
kami harus menuju ke bagian policlinik universitas. Letaknya berada di bagian
belakang gedung baak. Di sana, telah menunggu seorang ibu yang kemarin telah
menahan berkas hasil tes kesehatanku. Hafsah mengatakan Ibu itu bernama ibu
Nusra.
Aku
memasuki sebuah ruangan. Ukurannya tak begitu luas. di dalam ruangan itu,
terdapat beberapa meja dan beberapa sofa model terbaru. Ibu Nusra
mempersilahkan kami duduk. Ternyata, bukan hanya aku yang akan berurusan
dengannya hari itu.
Di
dalam ruangan itu, ada lima calon
mahasiswa lain yang juga mengalami nasip serupa denganku. Dan tahukah, kawan,
mereka juga penyandang disabilitas. Dua diantara mereka mengalami masalah
dengan kakinya, dua orang lagi mengalami kelainan pada tangannya (disabilitas
daksa). Seorang lagi aku tak tahu.
“saya
rasa, semua sudah hadir.” Ibu Nusrah membuka dialog pagi itu. Semua pandangan
tertuju padanya.
“baiklah.
Kita mulai saja. Jadi begini, sebelumnya saya mau Tanya. Apakah kalian
mengetahui, apa permasalahan yang menyebabkan berkas kalian ditahan?” ibu Nusra
bertanya. Lengang. Tak ada yang berani bersuara.
“kami
tidak lulus pada tes kesehatan, bu.” Aku menjawab. Memang, jawaban yang paling
tepat sepertinya hanya itu.
“kau
salah, nak. Kenapa kau berpikiran seperti itu?”
“begini,
bu, saya baru mengalami penahanan berkas ketika melewati tes kesehatan itu, bu.
Jadi saya berpikir, permasalahannya terletak pada tes kesehatan itu.” Ibu Nusra
berdehem pelan. Ia menggeleng.
“sebenarnya
kalian semua sudah lulus pada tes kesehatan itu.”
“lantas,
kenapa berkas kami ditahan?” akhirnya dua orang yang tepat berada di sampingku
memberanikan diri bertanya. Ibu Nusra berdehem lagi. Menyibak tumpukan berkas
yang ada di hadapannya. Mencari sesuatu.
“kalian
semua melulusi prodi kependidikan. Ada aturan internal kampus ini, yang tidak
membolehkan seorang yang memiliki keterbatasan seperti kalian, untuk berkuliah
di prodi yang berhubungan langsung dengan dunia kependidikan.” Ibu Nusra
menjelaskan. Kembali lengang. Hanya suara kertas berserakan yang terdengar.
“jadi
kami harus bagaimana, bu?” seseorang kembali bertanya.
“kalian
harus pindah jika kalian masih ingin berkuliah di sini.”
“maksud
ibu pindah prodi?” kali ini aku yang bersuara.
“iya.”
Jawaban singkat itu membuatku terdiam. Aku berpikir sejenak. Entah apa yang ada
di pikiran kelima orang itu. Moga saja mereka sependapat denganku.
“maaf,
ibu, saya punya teman yang juga lulus tahun ini di kampus ini. Ia lulus di
prodi pendidikan luar biasa. Ia juga seperti saya. Memiliki keterbatasan pada
penglihatannya.”
“oooh,
kalau prodi itu tak ada masalah.” Ibu Nusra memotong penjelasanku.
“bukankah
prodi itu juga prodi kependidikan?”
“iya.
Tapi prodi itu berbeda dengan prodi pendidikan lain. Kalian boleh pindah ke
prodi itu.” Aku menggeleng. Menelan ludah. Mencoba kembali berpikir.
“maaf,
ibu. Saya tidak mau pindah. Saya telah lulus di prodi ppkn, berarti saya juga
harus berkuliah di ppkn. Asal ibu ketahui, saya telah berusaha belajar keras
hanya untuk bisa berkuliah di prodi itu. Saya tidak mau perjuangan itu berakhir
sia-sia.” Aku berkata tegas. Ibu Nusra terdiam. Perlahan menggeleng. Ia
menatapku lamat-lamat.
“tapi
saya bukan penentu kebijakan, nak. Saya juga hanya diperintahkan seperti ini.”
Kali ini suara ibu Nusra terdengar pelan.
“baik,
bu. Kalau begitu, saya ingin bertemu dengan orang yang memerintahkan ibu. Saya
juga ingin mengetahui aturan apa yang melarang seorang penyandang disabilitas
untuk berkuliah di prodi kependidikan.” Aku kembali berbicara. Kali ini suaraku
semakin tegas.
“baiklah.
Nanti saya akan menghubungi para petinggi universitas.”
“saya
butuh kepastian, bu. Bukankah batas pendaftaran ulang mahasiswa baru tersisa
dua hari lagi?”
“iya.
Saya janji. Saya akan melakukannya secepat yang saya bisa. Yang pasti, kalian
sudah sembilan puluh persent bisa berkuliah di sini.” Dialog pagi itu pun usai.
Hafsah langsung menarik tanganku. Kami langsung keluar ruangan. Tak disangka,
setibanya di luar ruangan, kelima calon mahasiswa yang tadi berada di ruangan policlinik itu, mendatangiku. Mereka
ternyata meminta bantuan. Mereka juga tak mau pindah prodi. Mereka juga ingin
tetap berkuliah di prodi yang mereka lulusi. Aku mengangguk. Menyuruh mereka
berdo’a. semoga saja kita tidak di pindahkan. Hanya itu yang bisa kulakukan
saat ini. Mereka mengiayakan. Aku pun meninggalkan kampus itu lima menit
kemudian. Aku kembali ke asrama tempat tinggalku.
Hari
itu juga, sekitar pukul empat sore, hp-ku tiba-tiba bernyanyi. Ada sebuah
panggilan masuk. Aku langsung mengangkatnya.
“assalamu
alaikum.”
“walaikum
salam.” Jawab suara di seberang sana.
“dengan
Nur Syarif Ramadhan?” penelpon itu bertanya.
“iya.
Maaf, ini siapa?”
“saya
Ibu Nusra.” Aku terkejut mendengar nama itu.
“iya,
bu. Ini saya sendiri, bu.” Kataku kemudian dengan intonasi lebih serius.
“jadi
begini, nak. Saya sudah berbicara dengan pimpinan universitas. Kau diberikan
kesempatan untuk berkuliah di prodi ppkn.” Mendengar kabar itu, rasa bahagia
langsung menyelimutiku. Aku sontak bersyukur dalam hati. Pembicaraan telepon
itu telah terhenti. Tak lupa aku menanyakan kabar kelima calon mahasiswa lain
itu pada Ibu Nusra. Alhamdulillah, mereka juga mendapatkan kesempatan yang sama
denganku. Mereka juga bisa berkuliah pada prodi yang mereka lulusi.
*
* *
Demikianlah
kisah perjuanganku waktu itu, kawan. Saat ini aku sudah memasukki semester tiga
pada prodi ppkn universitas negeri makassar. Dan sebagian besar mimpiku itu
telah tercapai. Mimpi untuk bisa berkuliah layaknya orang lain. Aku sudah
setenga perjalanan menuju cita-cita terbesar itu. Hempasan mimpi itu telah
membawaku menapakki jalan yang benar. Jalan yang akan membawaku ke gerbang
keberhasilan nantinya.
Aku
bukanlah orang bijak, kawan. Tapi aku akan memberi kalian beberapa kalimat penutup
yang semoga bisa membangkitkan semangat kalian untuk selalu berada pada koridor
keberhasilan.
Sungguh,
sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu, suhu dan tekanan yang
tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi
tekanan yang diperolehnya, maka jika dia bisa bertahan, tidak hancur, dia
justeru berubah menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal
harganya. Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita
alami, semakin dalam dan menyedihkan rasannya, jika kita bisa bertahan, tidak
hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan.
Keras. Kokoh.
Untuk
membuat sebilah pedang terbaik, pandai besi harus memanaskannya di tungku
dengan suhu memerihkan wajah, menghantamnya berkali-kali, menempanya
berulang-ulang, dan itu pekerjaan panjang penuh kesabaran serta ketekunan. Sekali
prosesnya selesai, beres, maka sepotong besi biasa, tumpul, jelek telah berubah
menjadi sebuah pedang tajam, gagah, dan bisa menebas apapun. Indah sekali.
Begitulah kehidupan ini. para pembelajar kehidupan terbaik, harus ditempa berkali-kali,
melewati situasi yang berat, jatuh bangun, hamper berputus asa, hingga akhirnya
berubah menjadi seseorang yang 'tajam' dan bisa menebas ujian kehidupan
manapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar