Selasa, 24 September 2013

YAKINKAN MEREKA DENGAN BUKTI

oleh: Nur Syarif Ramadhan

    Bel tanda pelajaran pertama telah menjerit, ketika Ramadhan memasuki gerbang SMA negeri 6 makassar. Dengan langkah cepat, ia pun segerah menuju kelasnya yang sebenarnya, ia belum hafal betul letaknya. Tapi, dengan modal nekat yang ia miliki, diteruskannya langkah menuju ke area belakang sekolah.
    Ramadhan seorang lowvision. Kedua matanya sudah memiliki keterbatasan sejak ia masih bayi. Dengan ragu-ragu, ia memperhatikan setiap ruangan yang letaknya di bagian belakang sekolah itu. Setidaknya, ada 2 ruangan yang membuatnya bingung.
    “yang mana ya, kelasku?” tanyanya dalam hati. Benaknya mencoba mengingat-ingat.
    Hari itu merupakan hari keempatnya bersekolah di SMA 6 Makassar. Hari pertama dan kedua, ia mengikuti masa orientasi siswa. Dan penentuan kelas bagi siswa baru, ditentukan pada hari ketiga. Penglihatannya yang samar, tidak cukup membantu mobilitasnya di sekolah itu.
    “weh, kelasmu disini!.” Seru seorang anak lelaki yang berperawakan cukup besar. Dari nada bicaranya, ia nampak kurang ramah. Tapi, itu bukanlah masalah bagi Ramadhan. Perlakuan seperti itu sudah biasa didapatkannya. Bahkan sewaktu ingin mendaftar disekolah itu, ia mendapat sambutan yang kurang bersahabat dari petugas penerimaan siswa baru.
    Waktu itu, ia telah dinyatakan lulus berkas. Tetapi sewaktu pengambilan kartu tes, barulah persoalan itu tiba. Seorang petugas mempermasalahkan ketunanetraannya. Menurutnya pihak sekolah belum melakukan rapat pri hal diterimanya atau tidak seorang tunanetra untuk bersekolah ditempat itu. Tapi Ramadhan tidak kehabisan akal.
    “saya kira, sebelum-sebelumnya pihak sekolah tidak mempermasalahkan hal itu?. Buktinya sudah empat orang tunanetra yang pernah bersekolah di sekolah ini.” Kata Ramadhan pada petugas tersebut.
    “ia, tapi kan itu sudah lama. Lima tahun belakangan ini, tidak ada lagi tunanetra yang bersekolah disini. Apalagi, pimpinan sekolah ini telah berganti.”
    Penjelasan dari petugas itu, membuat Ramadhan terdiam. Waktu itu ia sudah memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba salah seorang wakil kepala sekolah datang.
    “ kenapa?” Tanyanya pada petugas tadi.
    “ini pak, ada seorang tunanetra yang ingin bersekolah disini.”
    “terus, kenapa tidak diterima?”
    “apa tidak jadi masalah nantinya, pack?”
    “kan baru mau ikut tes, bu. Lagi pula masalah apa yang ibu khawatirkan? Selama ini kita tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Biarkanlah dulu anak itu ikut tes. Jika ia lulus, kita terima. Tapi kalau tidak, ya jangan. Saya rasa tidak ada yang akan mempermasalahkan anak itu. Kalau pun ia lulus dan ada yang mempermasalahkan, nanti saya yang bertanggung jawab.”
    Karena penjelasan bapak itulah, Ramadhan akhirnya bisa bersekolah di SMA 6. belakangan ia ketahui orang itu bernama pak Amri. Orang yang menjabat sebagai wakasek bagian kurikulum waktu itu.
    Memang, sejak tahun 2004. SMA negeri 6 Makassar telah terdaftar sebagai sekolah inklusi di dinas pendidikan provinsi sulawesi selatan. Artinya, sekolah itu bisa menerima siswa yang memiliki keterbatasan fisik. Atau istilah krennya disebut penyandang disabilitas. hal itu karena SMA 6 adalah SMA negeri pertama di Makassar atau pun di sulawesi selatan, yang pernah menerima siswa disabilitas. Jadi sangat cukup mengherankan jika petugas penerimaan siswa baru itu ingin mempermasalahkan Ramadhan.
    “andai saja kamu dipermasalahkan, Dhan. Mungkin teman-teman akan beraksi lagi di sekolah itu.” Komentar salah seorang teman Ramadhan, Ketika ia mengisahkan pengalaman pertamanya berintegrasi.
    Berkat anak lelaki itu, akhirnya Ramadhan berhasil menemukan kelasnya. Sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Didalamnya telah tertata rapi meja dan bangku yang akan digunakan tuk belajar nantinya. Dengan sedikit ragu, akhirnya Ramadhan masuk juga ke ruangan itu. Hamper semua bangku telah terisi. Namun, dengan mata suapnya, akhirnya ditemukannya juga sebuah bangku yang terletak di jejeran ketiga dari depan.
    Dibagian depan kelas, terdapat dua buah papan tulis berukuran normal yang tertempel langsung ke dinding. Kedua benda itu punya fungsi masing-masing. jika menulis dengan spidol, maka papan yang berwarnah putih yang digunakan. Tetapi jika misalnya tinta spidol habis, solusi terbaik adalah papan yang berwarnah biru. Tentu saja dengan menggunakan kapur. Namun, di zaman yang serba moderen ini, sangat jarang ditemukan sekolah-sekolah yang menggunakan kapur. Umumnya, yang digunakan adalah spidol. Meskipun kapur masih disediakan, biasanya ia hanya akan menjadi penjaga kelas, atau bahan mainan siswa-siswi SMA yang belum bersifat dewasa.
    Selain itu, dibagian depan ruangan juga terdapat sebuah meja berukuran besar dari meja-meja lainnya. Sebuah kain berwarna ping menutupi permukaannya. Yang membuat meja itu sedap cdipandang, karena diatasnya terdapat kembang buatan yang berwarna-warni. Sebuah botol kecil menjadi wadah penyimpanannya. Dan di sisi sampingnya terdapat sebuah ukiran yang bertuliskan “hasil karya siswa-siswi x.9”. Ukiran itu seolah-olah menantang para siswa-siswi baru yang ada dikelas itu untuk membuat karya yang lebih mengagumkan dari kembang itu.
    Hari itu, para guru yang masuk ke kelas x.9 belum ada yang terlalu menyinnggung materi pelajaran. Yang mereka lakukan hanyalah saling mengenal dulu dengan para siswa. Selain itu, mereka juga memberikan mediasi pada siswa yang belum saling kenal, agar saling mengenal antara satu dengan yang lainnya.
    Sekitar pukul 12.00, semua siswa baru dipulangkan. Hari itu mereka hanya diperintahkan tuk melihat-lihat lingkungan sekolah. Misalnya untuk mengetahui apa-apa saja yang ada di SMA 6, dan lain-lain. Namun Ramadhan merasa tak perlu dengan hal itu. Sehingga ia memutuskan langsung pulang. Dengan kepercayaan diri yang luar biasa, ia berjalan meninggalkan kelas x.9. dan dengan mata suapnya ia juga menyempatkan tuk memperhatikan ruang-ruang yang ia anggap penting. Seperti, ruang guru, lab biologi, lab fisika, perpustakaan dan lab computer. Karena kelasnya, x.9 terletak dibagian belakang sekolah, akhirnya ia dapat melewati ruangan-ruangan itu sewaktu pulang.
    Namun langkanya tiba-tiba terhenti di samping lab computer. Sesosok lelaki menghalang-halangi langkahnya. Meskipun pandangannya samar, tapi ia masih bisa tau ciri-ciri orang itu. Pakaiannya biasa saja, sepertinya ia bukan guru, tapi yang mengesankan adalah rambut gondrongnya. Ramadhan mencoba meneruskan langkah. Tapi orang itu, terus menghalanginya.
    “Misi pak” Ramadhan mencoba meminta jalan. Namun, jawaban yang ia tunggu-tunggu tak datang jua dari lelaki itu. Malahan, dengan mengunakan badannya, lelaki itu semakin mempersempit ruang geraknya. Secara perlahan ia terdorong ke tembok kelas xi Ipa 4. yang letaknya pas di samping ruangan wakasek dan di sudut depan lab computer.
    Ramadhan bingung. Ia tak tau hendak berbuat apa. lelaki itu terus mendorongnya. Tas ranselnya mulai merapat ke tembok kelas xi Ipa 4. sesaat kemudian seluruh badannya sudah tak leluasa lagi. kepalanya ikut terdorong dan mulai merapat ke kaca jendela kelas. Ramadhan masih bingung. Karena kaget dengan perlakuan itu, otaknya tidak bisa difungsikan. Wajahnya mulai pucat pasih. Badannya mulai mengeluarkan keringat dingin.
    Karena tempat itu merupakan jalur keluar masuk dari SMA 6, sehingga banyak orang yang berlalu-lalang melewati tempat itu. Namun, tak ada satu pun yang memperhatikan hal itu. Jika pun ada, mereka tak berkomentar apapun. Orang-orang itu seolah-olah sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.
    Tiba-tiba, pintu lab computer terbuka. Seorang lelaki tinggi keluar. Sejenak ia melirik ke kelas xi IPA 4. tak ada satu bahasa pun yang ia keluarkan, hanya sebuah senyuman yang di tujukan kepada lelaki gondrong yang sedang kelihatan gembira itu. Lelaki tinggi itu pun meneruskan langkahnya dan masuk ke kantor kepala sekolah.
    Tentu saja, Ramadhan tidak mengetahui hal itu. Ia masih berusaha mencari akal untuk secepatnya bisa melepaskan diri dari si gondrong yang seolah-olah sedang mempermainkannya. Namun semuanya blank. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Otaknya juga demikian.
    Sesaat kemudian, lelaki gondrong itu melangkah. Secara otomatis, Ramadhan dapat leluasa lagi bergerak. Ia berusaha menghilangkan rasa tegang yang menguasainya. Dengan ujung dasinya, ia mencoba menghapus butiran-butiran peluh di wajahnya.
    “kamu kenal saya?” tiba-tiba lelaki itu mengajukan pertanyaan. Suaranya cukup berwibawa.
    “tidak, pak” hanya jawaban itu yang bisa keluar dari bibir Ramadhan. Memang, ia tak tahu siapa lelaki gondrong itu. Ia belum bisa  menghilangkan ketegangannya, ketika lelaki itu membawanya masuk ke kelas xi IPA 4. nyali Ramadhan semakin ciut. Ia tak mampu berbuat apa-apa. Hanya menurut saja yang dapat ia lakukan.
    “duduk!” seru lelaki itu sewaktu mereka masuk kedalam kelas. Ramadhan langsung menurut. Ia lalu duduk di sebuah bangku yang paling dekat. Lelaki itu lalu menutup pintu.
    Ramadhan semakin merasa tidak enak. Jantungnya berdetak kencang. Ketegangan yang ia rasakan semakin menjadi-jadi.
    “hmmm, siapa yang menyuruh kau duduk disitu?”
    “jadi dimana, pak?”
    Braaak…! Tiba-tiba, sebuah meja melompat dari tempatnya. Dengan posisi terbalik, meja itu membentur lantai kelas. Ramadhan terhenyak. ia tidak menduga akan seperti itu kejadiannya.
    “duduk dilantai…!”
    Ramadhan tak berani menolak. ia pun segera duduk dilantai. Ingin rasanya ia memberontak. Ia tak pernah diperlakukan seperti itu. Tapi ia sadar dengan dirinya. Ia tidak mungkin melawan. Mentalnya mulai goyah. Tanpa terasa, air matanya pun mulai tak tertahankan.
    “mau melawan? Ayo!” kata lelaki itu kemudian sambil bertolak pinggang.
    “ti… tidak, pak?”
    “siapa sebenarnya yang memasukanmu kesekolah ini?”
    “saya lu” Ramadhan belum menuntaskan perkataannya, namun lelaki itu langsung memotongnya.
    “hmm, saya tidak percaya kalau kau bisa lulus murni di sekolah ini. Pasti ada yang kau andalkan. Ia kaaan?.”
    Ramadhan tidak menjawab. Hatinya terasa perih.
    “kau sadar ji’ kah? Sebenarnya kau itu salah alamat sekolah disini. Mengapa kau tidak di SLB saja? Sebenarnya kau dan teman-temanmu yang dulu hanya membuat repot saja di sekolah ini.” Dengan logat makassarnya, lelaki itu memberikan penjelasan yang sama sekali tak mengunakan hati nurani.
    Ramadhan tidak bisa menjawab. Mulutnya terkunci rapat. Ia sama sekali belum pernahh mengalami situasi seperti itu. ia belum pernahh merasakan kebahagiaan ataupun kepahitan didalam bersekolah dengan orang yang secara fisik, lebih sempurna darinya. Yang bisa ia lakukan waktu itu hanyalah pasrah. Seperti kebanyakan penyandang disabilitas yang hanya pasra saja diperlakukan secara diskriminitif oleh oknum-oknum yang tak memiliki moral dan etika.
    Pintu kelas tiba-tiba terbuka. Seorang lelaki tinggi dan agak kurus masuk.
    “ada apa ini?” Tanya lelaki itu. Si gondrong tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan kembali memandang ke arah Ramadhan yang masih duduk terpaku ke lantai.
“Hm, serahkan anak ini pada saya.” Si gondrong tidak menjawab. Ia langsung meninggalkan kelas ketika mendengar perintah orang yang baru saja masuk itu.
“nak, saya Amri. Kamu tidak apa-apa?”
“iya, pak”
Pak Amri lalu membawa Ramadhan keluar dari kelas xi Ipa 4. dua langkah dari kelas itu, mereka berbelok ke kanan. Pak Amri membuka sebuah pintu. Lalu keduanya pun masuk. Ramadhan sudah mengenal ruangan itu. Disitulah ia pernahh dipersulit oleh seorang petugas penerimaan siswa baru. Ia juga baru tersadar, bahwa yang membawanya keruangan itu adalah orang yang dulu menolongnya sewaktu dipersulit.
Pak Amri membawa Ramadhan kesebuah meja yang diapit oleh dua buah kursi yang saling berhadapan.
“duduk”. perintahnya kemudian. Ia lalu menuju ke kursi yang satunya.
“kamu masih bisa liat?”
“iya, pak. Saya masih lowvision.” Jawab Ramadhan sambil berusaha menghapus sisa ketegangan dan air mata yang masih tersisa.
“ooh, sekitar jarak berapa yang bisa kamu lihatt?”.
“kalau itu, saya sendiri kurang tau, pak. Tapi, saya masih bisa mengenal warna.”
“kalau seseorang, masih bisa kamu kenal?”
“wah, itu yang sulit, pak. Tapi biasanya, saya bisa mengenal seseorang lewat fisiknya, ataupun dengan cara lain.”
“mmm. Oke. Ini minum dulu”. Dengan hati-hati Pak Amri memberikan segelas air minum ke tangan Ramadhan.
“tadi, kaget ya?” Pak Amri melanjutkan pembicaraan.
“iya, pak. Saya belum pernahh diperlakukan seperti itu.”
“menurutmu itu pantas, tidak?” Ramadhan tidak bisa menjawab. Pak Amri tersenyum. Tanpa menunggu jawaban, iya kembali melanjutkan.
“yang tadi, anggap saja ujian mental ya?. Kalau hanya diperlakukan seperti itu kamu sudah menyerah, berarti kamu bukan tipe tunanetra yang hebat.” Ramadhan mendengarkan kata-kata Pak Amri dengan serius.
“Dhan, selama ini bapak telah mengajar dua orang yang seperti kamu. Keduanya mempunyai mental yang luar biasa!. Terus terang saja, bapak kagum dengan orang-orang seperti kalian. kalian itu bisa menjadi motifasi bagi saya, dan mungkin orang lain juga begitu.”
“oh, syukurlah pak kalau begitu.”
“tapi, San, kau juga harus tau. Tidak semua tenaga pengajar disini berpikiran seperti bapak. Mungkin saja, ada yang tidak senang denganmu sehingga nanti ia akan mempersulitmu.”
“mungkin bapak punya alas an?”
“maksudnya?”
“pasti ada alasannya sehingga bapak berkata seperti itu?”
“iya, Dhan. Kemarin, pihak sekolah mengadakan rapat. Nah, salah satu agenda rapatnya itu membahas kamu.” Pak Amri berhenti sejenak. Ia lalu meneguk air mineral yang ada dihadapannya.
“terus gimana, pak?” Tanya Ramadhan dengan ekspresinya yang serius.
“memang, Dhan, ada beberapa orang guru yang senang dengan siswa sepertimu. Tapi, tak sedikit juga yang sebaliknya. Jadi, saran saya, berbuatlah yang sebaik-baiknya di sekolah ini. Jangan pernah membanta atau membangkang perintah guru. Kamu juga harus berhati-hati didalam memilih teman. Tidak semua teman bisa dipercaya. Perhatikan semua tugas-tugas yang diberikan. Usahakan semuanya dikerjakan. Karena penilaian yang paling penting selain kehadiran, ya tugas!”
“baik, pak”



Kata-kata dari Pak Amri itu, tertanam jelas di benak Ramadhan. Ia berusaha untuk selalu mempedomani nasihat itu untuk berperilaku di sekolah. Ia sama sekali tak berani bertingkah macam-macam. Ia selalu taat pada aturan dan berusaha mengakkrapi semua orang.
Beberapa minggu kemudian, Ramadhan  sudah bisa berinteraksi dengan baik pada semua penghuni kelasnya. Mereka sangat senang membantu Ramadhan. Diantara mereka adalah Sri. Seorang siswi asli bugis yang juga tertantang mencicipi kerasnya persaingan pendidikan di kota Makassar.
Sri adalah seorang siswi yang sangat menyukai sesuatu hal yang baru. Selama hidupnya, ia belum pernahh berteman dengan seorang yang secara fisik, kurang dibandingkan dirinya. Namun ia tak pernahh memandang Ramadhan lebih rendah. Menurutnya, Ramadhan adalah seorang teman terbaik yang pernahh dikenalnya.
”itu apa, Dhan?” tanya Sri pagi itu. Sebuah benda berbentuk persegi panjang berada di genggaman Ramadhan. Benda itu berwarna biru. Dipermukaan atasnya terdapat empat baris. Pada setiap barisnya terdapat jejeran kotak-kotak mungil berbentuk balok yang semuanya berjumlah seratus enam belas kotak.
”oh, ini? Ini namanya riglet. Alat yang digunakan tunanetra untuk menulis.”
”Ha?, caranya bagaimana?” tanya Sri makin penasaran. dari dalam tasnya, Ramadhan kembali mengeluarkan sebuah benda yang sangat asing dimata Sri. Benda itu berukuran kecil dari riglet. Warnahnya  sama dengan riglet. Namun bentuknya melingkar. Di salah satu permukaannya berbentuk agak runcing. Memang, bagian bawah dari benda itu terbuat dari paku yang telah di modifikasi.
”nah, ini namanya stilus. Alat komplementer dari riglet ini.” jelas Ramadhan sambil menyodorkan kedua benda itu kehadapan Sri. Ramadhan lalu mempraktekkan cara pengunaan dari riglet dan stilus tersebut.
”bagusnya nulis apa?” tanya Ramadhan.
”tulis apa ya? Hmmm! Tulis namaku saja!”
”oke” Ramadhan lalu mulai menulis. Sri memperhatikannya dengan serius. Apalagi, Kombinasi antara riglet dan stilus itu ternyata menghasilkan sebuah bunyi yang menarik. Tuk... tuk... tuk... itulah bunyinya yang hampir menyerupai bunyi ketika seekor ayam sedang menikmati makanannya.
Sesaat kemudian Ramadhan telah usai menuliskan nama Sri. Kertas pun di lepaskan dari jepitan riglet. Dan, nampaklah huruf timbul yang hanya berupa titik-titik kecil di permukaan kertas itu.
”wah! Ini hasilnya? Keren...” puji Sri sambil meneliti dengan seksama huruf-huruf braille itu.
”Dhan, ajari aku menulis braille ya?” pinta Sri mulai tertarik.
”mmm, sip lah itu”.
Peristiwa itu semakin mempererat pertemanan antara kedua anak itu.
Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Waktu yang menunjukkan akan dimulainya jam pelajaran pertama. Seorang wanita gemuk memasuki kelas x.9. ia langsung menuju meja guru.
”dhan, ibu Tanti sudah datang. Aku ke bangkuku dulu ya?”
”iya. Nanti kita lanjutkan belajar braille-nya.” Sri pun segera ke bangkunya.
Di bagian depan kelas, ibu Tanti nampak mulai membuka buku kewarganegaraan yang ingin diajarkan. Sesekali matanya melirik ke siswa-siswinya. Tiba-tiba ia memandang ke arah Ramadhan. Ia lalu meletakkan bukunya di meja.
”baik anak-anaku sekalian. Ini merupakan pertemuan ketiga untuk pelajaran kewarganegaraan. Untuk pertemuan hari ini, sebelum kita menyinggung pelajaran, saya ingin menyampaikan bahwa pertemuan berikutnya kita ulangan harian. Jadi, mulai hari ini, persiapkan diri masing-masing untuk menghadapi pertemuan berikutnya. Paham?”
”iya, bu...” jawab para siswa tegas. Meskipun di wajah mereka telah terbersit berbagai ekspresi. Siap tidak siap, mereka harus mengiyakan perintah dari ibu Tanti tersebut.
”jadi, untuk teman kita yang satu ini gimana?” tanya ibu Tanti sambil menunjuk ke arah Ramadhan.
”Dhan, ibu bertanya padamu” bisik Edi. Anak itu merupakan teman sebangku dari Ramadhan.
”insyaallah saya juga siap bu” jawab Ramadhan mantap.
”caranya gimana? Kamu bisa nulis?”
”ya, kalau pake braille, bisa bu”
”cara ibu memeriksanya gimana? Ibu kan tidak tau braille!?”
”kalau saya yang bacakan? Gimana bu?”
”oh, itu sama saja dengan lisan. Iya kan?”
”iya sih, bu”
”atau begini sajalah, gimana kalau kamu ibu lisan saja?”
”iya bu. Saya pikir, itu cara yang paling baik”
”oh iya, Dhan. Ibu mau nanya. Boleh?”
Iya, tentu bu.”
”kamu punya kelaebbihan apa?”
”maksud ibu?”
”gini, nak. maaf sebelumnya. Biasanya kan setau ibu, tunanetra itu rata-rata punya kelebihan. Sebelum kamu, ibu juga pernahh mengajar tunanetra sepertimu. Dan mereka semua telah melakukan sesuatu yang sangat spektakuler sehingga membuat nama mereka di kenang”
”seperti apa contohnya yang mereka lakukan bu?”
”bermacam-macam. Ada yang di kenal karena pernahh berceramah di masjid, ada yang karena kemampuannya membaca ayat suci al-qur’an dan ada juga yang jago bermain musik. Jadi kalau kamu sendiri, apa?”
Ramadhan terdiam. Ia juga tidak tau kelebihan apa yang ia miliki. Ia merasa sama sekali tidak mempunyai apa-apa jika dibanding pendahulu-pendahulunya.
”kok diam?”
”maaf bu, saya merasa belum punya kelebihan apa-apa”
”yakin? Tiap-tiap manusia itu punya kelebihan dan kekurangan, nak”
”iya bu. Mungkin hanya saya saja yang belum tau apa kelebihanku”
”ooh, gak apa-pa. Ibu hanya nanya kok”
”iya bu.”
”Tapi ibu boleh kasi saran kan?”
”tentu, bu”
”berbuatlah sesuatu  yang luar biasa. Yang dapat meyakinkan semua orang bahwa kamu adalah anak yang luar biasa. Ibu yakin, dalam benakmu pasti timbul pertanyaan. Simpan saja pertanyaan itu. Suatu saat, kamu akan tau sendiri mengapa ibu berkata seperti ini.”
Ramadhan kembali membisu. Memang pada saat itu, ada sebuah pertanyaan yang sangat ingin ia keluarkan. Tapi ibu Tanti terlabih dahulu menahannya. Mungkin ia tak boleh tau apa maksud perkataan itu. Dalam benaknya tertanam lagi satu beban yang harus ia pecahkan.
    Hari itu, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar. Perkataan bu Tanti selalu membebani pikirannya, Menghambat sistem kerja otaknya dan menghalangi kecerdasannya untuk menemukan ide-ide cemerlang.
**********

    Minggu berikutnya, akhirnya Ramadhan mengikuti ulangan harian yang telah dijanjikan oleh Bu Tanti. Hasilnya cukup membanggakan. Dari lima soal esai yang diberikan, ia berhasil menjawab empat soal dengan benar, dan satu lagi hanya salah setengah. Tiap-tiap soal bobot nilainya dua puluh. Dan hari itu ia mendapatkan nilai sembilan puluh!, sebuah nilai yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai anak kelas x.9 yang lain.
    Setelah ulangan itu berakhir, Ibu Tanti memanggil Ramadhan ke ruang guru. Ia berniat menyampaikan sesuatu hal pada anak itu. Bersama sahabatnya, Sri, Ramadhan pun mengikuti Bu Tanti ke luar kelas.
“begini, dhan. senin yang akan datang, kelasmu menjadi pelaksana upacara.” Kata Bu Tanti sesampainya ke ruang guru.
“karena itu, ibu mengharapkan kalau kamu juga ambil bagian dalam pelaksanaan upacara tersebut.” Ramadhan terdiam. Ia bingung mau berkata apa.
“saya yakin, dia bisa, bu,” tiba-tiba Sri menanggapi.
“hmmm. Bagaimana menurutmu, dhan?”
“insyaallah, saya bisa, bu.”
“oke. Kalian ke kelas. Sampaikan pada ketua kelasmu ihwal hari senin.”
“baik bu” jawab Ramadhan dan Sri bersamaan. Kedua anak itu meninggalkan ruang guru, dan langsung menuju kelasnya.
**********
“apa, dhan? Kamu serius?” komentar Kiki, sang ketua kelas ketika mendengar sebuah berita yang baru saja keluar dari bibir Ramadhan.
“iya, Ki. Bu Tanti sendiri yang mengatakannya padaku.”
“astaga, mengapa begitu cepat. Kita kan belum genap tiga bulan di sini. Kita belum cukup mempunyai mental untuk mengemban tugas itu,”
“jadi bagaimana menurutmu, ki?” Kiki terdiam. Ia mencoba berpikir sejenak.
“apa kamu mau mengecewakan Bu Tanti?” tiba-tiba Sri yang sejak dari tadi mendengarkan pembicaraan Ramadhan dan Kiki berkomentar.
“tentu tidaklah!” seru Ramadhan dan Kiki hampir bersamaan.
“kalau begitu, berarti kita harus mengerjakan tugas ini. Kita masih punya sekitar empat hari untuk mempersiapkannya. Bagaimana?”
“sip lah kalau begitu.” Kiki lalu mengambil sesuatu dalam tasnya. Sebuah spidol. Ia lalu beranjak ke depan kelas. Diatas permukaan papan tulis yang berwarna putih, ia menuliskan sesuatu:
“pada semua siswa kelas x.9, diberitahukan bahwa hari senin yang akan datang, kelas kita yang tercinta ini mendapat kehormatan sebagai pelaksana upacara. Jadi diharapkan pada semua penghuni kelas untuk bersiap-siap!”.
“kamu juga bisa kan, Dhan?”. Tanya sang ketua kelas.
“iya. Meskipun aku belum tau apa yang bisa kulakukan dalam upacara nanti, tapi baik lah, aku juga siap”.
Keesokan harinya, kelas x.9 dibuat geger oleh pengumuman yang terpampang di papan tulis. Komentar penghuni kelas itu berpariatif. Ada yang ragu, ada yang tak percaya dan ada yang cuek-cuek saja.
Tak terasa, hari itu pun tiba. Hari yang telah membuat sebagian besar penghuni x.9 berdebar-debar. Hari yang mewajibkan semua penghuni kelas itu untuk datang lebih awal dibanding penghuni kelas lain. Secara kebetulan, Sri, Kiki dan Ramadhan muncul bersamaan di pintu gerbang sekolah. Ketiganya tiba tepat pukul 06.35, atau sekitar setenga jam sebelum upacara itu dimulai.
“apa yang lain sudah datang ya?” Kiki langsung memasang wajah khawatirnya. Ekspresinya langsung berubah ketika satu persatu teman kelasnya mulai berdatangan. Bersama Bu Tanti yang merupakan wali kelasnya, Ia langsung mengkordinir teman-temannya untuk menuju ke lapangan upacara.
Sementara itu, tiga buah lapangan yang ada di sma negeri 6 mulai ramai dipenuhi oleh semua siswa penghuni sekolah. Mereka telah berbaris rapi berdasarkan kelasnya masing-masing.
“gimana, Dhan? Sudah siap?” tiba-tiba Bu Tanti muncul di hadapan Ramadhan dan langsung bertanya.
“iya Bu, Insyaallah.”
Beberapa saat kemudian, upacara itu pun dimulai. Suatu kebangaan yang teramat sangat di dalam hati Bu Tanti. Betapa tidak, semua anak walinya melaksanakan tugas yang diberikan dengan begitu sempurnah. Apa lagi Ramadhan. Anak itu berhasil memukau semua orang yang hadir pada upacara itu. Tanpa diduga-duga oleh semua orang, iya ternyata juga ambil bagian dalam pelaksanaan upacara itu. Iya memang telah berniat untuk melakukan sesuatu yang waw pagi itu. Beberapa hari sebelum upacara itu dilaksanakan, iya telah berusaha untuk dapat menghafal naskah teks pembukaan uud 1945 dengan sempurna. Iya ingin menjadi pembaca undang-undang dalam upacara.
Beban itu pun selesai. Ramadhan berhasil melaksanakan keinginannya dengan baik. Tanpa ia sadari, disekelilingnya banyak wajah-wajah yang menatapnya dengan simpatik. Tanpa ia sadari, banyak decakan kagum yang keluar dari bibir para dewan guru. Dan tanpa ia sadari, berkat aksinya itu, banyak tatapan sinis dan meremehkan terhadap dirinya mulai beranjak pergi. Hal itu menimbulkan paradikma baru dari guru-guru mau pun siswa yang ada di sekolah itu.
Ramadhan sebenarnya tidak mementingkan itu semua. Ia hanya ingin membuktikan bahwa dirinya juga bisa melakukan sesuatu yang bisa dilakukan orang lain. Ia hanya ingin membantah pandangan yang selalu membuatnya terbelakang. Seolah-olah dialah manusia paling malang.

Makassar, 31 oktober 2012

Selasa, 17 September 2013

HEMPASAN MIMPI YANG NYATA



OLEH: NUR SYARIF RAMADHAN


            Aku tahu, pasti diantara kalian, ada yang  telah mengetahui namaku. Iya kan? Baiklah, meskipun diantara kalian sudah ada yang mengenalku, tak apalah aku memperkenalkan diri. Namaku Nur Syarif Ramadhan. Hanya tiga kata. Gampang kan mengingatnya? Sebagai tanda persahabatan kita, kalian boleh memanggilku Ram. Ups, ada apa? Ada yang aneh dengan nama Ram?, iya. Aku tahu kok. Pasti diantara kalian ada yang merasa aneh dengan nama itu. Apalagi jika kalian pernah atau sedang membaca buku Tere Liye yang berjudul: “NEGERI PARA BEDEBAH”, pasti kalian akan merasa jengkel, marah, dan benci akan nama tersebut. Tapi sudahlah. Tak perlu pusing dengan Ram yang ada dalam buku tersebut. Toh, Ram yang itu hanya fiksi. Ayolah, segeralah lupakan. Mari kalian fokuskan perhatian kalian kepada sosok Ram yang lain. Ram yang sedang kalian baca tulisannya ini.
Sebelum kalian membaca lebih lanjut tulisan ini, kalian harus tahu, bahwa sosok yang mengetik tulisan ini adalah sosok yang sedang berusaha belajar. Belajar apa? Belajar apa saja yang bisa ddipelajari. Jadi ketika kalian menemukan kesalahan apapun dalam tulisan ini, harap dimaklumi. Namanya juga baru belajar, kesalahan sekecil apapun dapat terjadi.
Kalian mungkin bingung, apa sih maksud dari tulisan ini? Ah, sudahlah. Aku mohon maaf jika harus memulainya dengan cara tak lazim seperti ini. Harus kujelaskan, tulisan ini akan berisi sebuah kisah yang mungkin membosankan, menyenangkan, mengasyikkan, dan bahkan menginspirasi bagi kalian yang membacanya. Aku tak berani membuat kesimpulan. Entahlah, biar kalian nanti yang menarik benang merahnya. Lantas, kisah siapakah yang akan kalian baca? Jangan khawatir, aku ini bukan penggosip yang seenaknya menceritakan aip orang lain. Aku akan menceritakan kisahku sendiri. Sebuah kisah nyata yang kini telah memberiku pemahaman baru akan sebuah mimpi. Sebelum aku menceritakannya, kalian harus tahu bahwa aku ini seorang penyandang disabilitas. Kedua bola mataku tidak bisa bekerja secara maksimal sejak aku masih bayi. Orang luar sana menyebutnya lowvision. Kenapa? Kalian heran? Astaga, tenanglah. Jangan bertanya dulu. Sebentar lagi keheranan dan pertanyaan kalian akan terjawab dalam kisahku ini. Here we go!

* * *
            Seperti yang kalian ketahui, aku ini seorang penyandang disabilitas. Layaknya penyandang disabilitas pada umumnya, aku juga banyak mengalami tindakan diskriminasi. Seperti yang kualami ketika akan masuk keperguruan tinggi. Sebuah pengalaman yang semoga bisa menginspirasi kalian.
            Di kampungku, makassar, ada tiga buah universitas negeri, yakni: Universitas Hasanuddin (UNHAS), Universitas Negeri Makassar (UNM), dan universitas Islam Negeri (UIN). Namanya juga universitas ternama di sulawesi selatan, ketiga kampus ini, menjadi pilihan utama bagi setiap orang yang ingin melanjutkan pendidikannya.
Begitulah, kawan. Dengan bermodalkan kepercayaan diri yang tinggi, aku akhirnya mendaftar juga ke universitas tersebut. Waktu itu, aku memilih UNHAS sebagai pilihan pertama, dan UNM sebagai pilihan kedua. Tahukah, kawan, ada rahasia tersendiri dibalik pilihan tersebut. Penasaran? Baiklah. Aku berjanji, suatu saat aku akan menceritakannya. Tidak sekarang tentunya.
Singkat kata, aku kemudian akhirnya mengikuti tes tertulis seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (snmptn) yang secara serentak, berlangsung selama dua hari. Hingga akhirnya, pengumuman itu pun datang. Sungguh, pengumuman itu sangat membuatku khawatir, kawan. Betapa tidak, waktu itu, jumaat, 6 juli 2012, sekitar pukul 19.00 wita, tiba-tiba saja HP-ku bergetar. Sebuah sms masuk.
“brother, sudah mako liat pengumuman snmptn?, kalau saya ndak luluska.” Itulah bunyi sms yang dikirimkan oleh sahabatku: Baharuddin (saat ini kuliah di sekolah tinggi ekonomi islam yogyakarta). ketika aku selesai membaca sms itu, sedikit rasa pesimis menyelusup dan mencoba mengusik rasa optimis yang telah setengah mati kukumpulkan. Sontak, aku langsung memikirkan dua hal. Pertama, bukankah pengumuman snmptn baru keluar pada besok hari? (tanggal 7 juli 2012). Kedua, jika Baharuddin benar tidak lulus, bagaimanalah denganku?. Harus kalian ketahui, kawan, Baharuddin merupakan siswa yang memiliki nilai tertinggi di sekolahku untuk jurusan IPS. Sedangkan aku, hanya berada di posisi kedua. Bagaimanalah ini? Aku langsung me-reply sms itu, dan menanyakan apakah pengumuman itu sudah betul-betul keluar? Ternyata benar, kawan. Pengumuman itu memang sudah ada. Namun baru bisa di cek pada website resmi snmptn.
Meskipun pengumuman itu sudah ada, tapi malam itu, aku tak langsung mengeceknya. Entahlah. Aku belum siap mengetahuinya. Akhirnya kuputuskan untuk melihatnya keesokan harinya.
Sabtu, 7 juli 2012, sekitar pukul 07.37 pagi, aku dibangunkan oleh Hp-ku yang kembali bergetaar. Sebuah sms kembali masuk. Kembali dari sahabatku: Ummu Kalsum (saat ini belajar di BLKI).
“Ram, sudah kau lihat pengumuman snmptn? Bagaimana hasilnya? Saya sendiri tidak lulus”. Itulah sms kedua dari sahabatku. Ternyata mereka semua tidak lulus. Rasa pesimis semakin membesar. aku langsung bergegas menyalahkan laptop. Aku harus segera melihat pengumuman itu. Dan, seperti yang kalian ketahui, ternyata nasipku berbeda dengan kedua sahabatku itu. Di website resmi snmptn tertulis dengan indah: “Nur Syarif Ramadhan, dengan nomor peserta: 212-82-00131, lahir di Bontolangkasa, 13 maret 1993, anda lulus pada prodi: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Universitas Negeri Makassar). Selamat atas kelulusan anda!!!”.
Pesimis itu akhirnya berguguran, kawan. Saat itu aku merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Mungkin menurut kalian itu berlebihan, kawan. Tapi tak apalah. Memang itulah yang kurasakan saat itu. Namun, ujian sebenarnya baru akan dimulai. Peristiwa kelulusanku itu telah memberiku pemahaman baru. Ternyata, nilai ataupun peringkat sewaktu sma, tidak bisa menjadi jaminan lulus tidaknya seseorang keperguruan tinggi.
Jadi, bagi kalian yang mungkin semasa sma, tidak memiliki prestasi terlalu bagus di bidang akademik, jangan resah, kawan. Tetaplah berjuang. Tuhan selalu ada buat hambanya yang selalu berharap dan berusaha. Kepintaran tidak bisa menjamin keberhasilan seseorang. Tapi kepintaran bisa menjadi modal berharga yang dapat menuntun seseorang ke gerbang keberhasilan. Dan pada dasarnya, semua orang itu memiliki kecerdasan yang sama. Kitalah yang harus mengolah kecerdasan tersebut agar bisa digunakan.
* **
Dua hari kemudian, tepatnya senin, 9 juli 2012, setelah mengurus kelengkapan berkas, aku langsung menuju ke kampus universitas negeri makassar yang lokasinya di sekitar jalan AP PETTARANI Makassar. Dari asrama tempat tinggalku, aku harus dua kali naik angkutan umum (pete-pete) untuk berada di kampus tersebut. Tentu saja aku berangkat sendiri, kawan. Mobilitasku telah terlatih untuk melakukannya.
Begitulah, kawan. Selama ini banyak kalangan yang mengira jika seorang penyandang disabilitas netra tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain. Tentu saja itu salah, kawan. Memang sih, dalam hal tertentu, seorang penyandang disabilitas butuh bantuan orang lain. Namun, masih lebih banyak hal lain yang bisa dikerjakan oleh seorang penyandang disabilitas secara mandiri tanpa melibatkan orang lain.
Pagi itu, dalam perjalanan menuju kampusku, diatas kendaraan umum itu, aku bertemu dengan seorang ibu yang mungkin keheranan dengan keberanianku untuk bepergian sendiri tanpa bantuan orang lain. Baiklah, tak ada salahnya kalian ketahui kejadian itu sebelum kita tiba ke bagian utama cerita ini.
Sekitar sepuluh menit sebelum aku tiba di tempat tujuan, seorang ibu tiba-tiba berbicara kepadaku. Ketika itu, tak terlalu banyak penumpang yang berada diatas angkutan umum tersebut.
“mau kemana, dek?” aku tertegun sejenak. Dengan sisa-sisa penglihatan yang kumiliki, aku mencoba memperhatikan orang tersebut. Seorang ibu-ibu muda. Entahlah aku tak bisa memprediksikan usianya. Aku lalu menyebutkan tempat tujuan.
“kenapa berangkat sendiri? Apa tidak ada yang bisa menemani?.” aku mengangguk mengiyakan.
“astaga, dek, itu berbahaya sekali!.”. aku hanya tersenyum menanggapinya. Senyap sejenak. Aku tak tahu hendak berkata apa.
“memangnya, adek mahasiswa?”
“baru mau jadi mahasiswa. Alhamdulillah, saya lulus di UNM, bu’.”. kali ini aku berbicara. Berusaha lebih seksama memperhatikan lawan bicaraku. Dua detik kemudian aku mendengar decakan kagum darinya.
“apakah adek tidak takut?”
“Takut apa yaa?”
“begini, dek, adek kan sekarang sedang bepergian sendiri. Nah, apakah adek tidak takut tersesat? Apalagi sekarang, kota ini sudah sangat ramai. Tak terbilang lagi jumlah kendaraan yang berlalu-lalang. jika missalnya suatu hal buruk terjadi, misalnya ketika adek sedang berjalan sendiri, apakah adek tidak menyadari bahwa kapan saja, adek bisa terserempet ataupun tertabrak kendaraan?.”. Hatiku terlonjak mendengar kalimat terakhir. Ada rasa ketersinggungan yang tak kusadari telah masuk dalam hatiku. Aku terdiam sejenak. Mencoba berpikir, entah apa yang harus kukatakan pada orang dihadapanku ini. Belum lagi ada kata-kata yang keluar dari mulutku, ibu itu kembali mengatakan sesuatu yang mengakibatkan level ketersinggunganku menjadi meningkat.
“dek, seharusnya kau tidak usah sekolah. Kau sebaiknya tinggal di rumah saja. Buat apa kau bersusah-susah untuk bersekolah. orang normal saja— yang susah paya untuk bersekolah, demi untuk mencari pekerjaan, banyak yang jadi pengangguran. Apalagi orang sepertimu, dek. Saat ini, sebaiknya kau bersantaisaja di rumah. Toh orang tuamu pasti berkecukupan kan?” aku mencoba mengendalikan perasaanku. Rasa-rasanya aku sudah ingin meninju orang dihadapanku ini.
“dek, kalau pun tuhan menakdirkan kau untuk bersekolah, pasti iya akan mengembalikan penglihatanmu. Tidak justeru membiarkanmu seperti ini.”. Astaga, aku sungguh tidak menyangkah, kalau orang dihadapanku ini akan mengeluarkan pandangan ekstrim seperti itu. Naluriku memaksaku untuk membantah. Dengan emosi yang berusaha kutahan, akhirnya aku berkata.
“maaf, bu, apakah ibu pernah mendengar seorang disabilitas netra tertabrak kendaraan?” terdiam. Lima detik berlalu. Tetap tak ada jawaban.
“disabilitas netra itu seperti saya, bu. Orang yang memiliki keterbatasan pada indera penglihatannya. Nah sekali lagi, bu, apakah ibu pernah melihat ataupun mendengar orang seperti saya tertabrak kendaraan?”. satu detik. dua detik. lima detik. Akhirnya ada jawaban.
“belum, dek.”
“sekarang, apakah ibu pernah melihat ataupun mendengar seseorang yang secara fisik baik-baik saja, tak ada masalah pada matanya, tertabrak kendaraan?”
“sering, dek.”
“nah, berarti ibu yang harus berhati-hati.” Akhirnya kata itu terucap juga. Entah dari mana keberanian itu muncul. Hingga aku berani mengatakan kalimat terakhir itu.
Ibu itu terdiam. Aku pun demikian. Senyap sejenak. Hanya suara mesin mobel pete-pete itu yang terdengar. Tiga puluh detik berlalu. Aku masih ingin berbicara. Jelas sekali, ibu yang sedang menjadi lawan bicaraku ini telah salah menapsirkan tentang takdir tuhan. Aku hendak meluruskan pemahaman orang ini. Sayangnya, ketika baru saja aku ingin menggerakkan bibir, mobil itu berhenti. Sopir pete-pete berseru riang. Entahlah. Mungkin ia tak memperhatikan kejadian yang baru saja terjadi diatas mobilnya.
“dek, kau turun di unm kan? Kita sudah di unm sekarang”. suara berat namun riang itu memberitahu. Aku memang telah memberitahukan tempat tujuanku sebelum naik tadi pada sopir pete-pete tersebut. Aku mengangguk sejenak. Sesaat kemudian aku sudah turun.
“terimakasih, pak, ya…”. Ucapku pada sang sopir sambil memberikan beberapa lembar kertas berharga. Mesin pete-pete itu meraung sejenak, sebelum berlalu meninggalkanku. Kalian mungkin penasaran, apakah yang ingin kukatakan pada ibu itu? Aku hanya ingin memberitahukannya, kalau seorang penyandang disabilitas juga bisa melakukan sesuatu hal yang kebanyakan orang lakukan. Penyandang disabilitas juga bisa menempu pendidikan layaknya masyarakat pada umumnya. Aku hanya bisa berdo’a dalam hati, semoga tuhan memberikan pencerahan kepada ibu tersebut. Sehingga ia tidak berpandangan buruk lagi kepada penyandang disabilitas, kususnya disabilitas netra sepertiku.
* * *
Sekarang, aku berada di keramaian jalan AP PETTARANI makassar. Padat sekali. Tentu saja, itu sangat menyulitkan bagi seseorang yang ingin menyebrangi jalan tersebut. Aku mencoba mengenali tempat itu. Ternyata, mata suapku cukup membantu. Aku saat ini berada di depan gedung Phinisi. Salah satu gedung yang dimiliki oleh universitas negeri makassar. Harus kalian ketahui, gedung ini memiliki tujuh belas lantai. Bangunannya menyerupai perahu Phinisi. Jika suatu saat kalian ke makassar, tak ada salahnya kalian melihat-lihat gedung ini. Sayang sekali, mata suapku sudah tidak bisa menggambarkan kepada kalian betapa indahnya gedung ini.
“kau mencariku, Ram?”. Suara lembut itu menyapa. Namanya Hafsah. Seorang volunteer. Ialah yang akan menemaniku hari itu.
“padat sekali, ram. Kita harus bergegas. Ada ribuan calon mahasiswa baru yang agendanya sama dengan kita. Berkasmu sudah lengkap?” aku mengangguk. Tanpa dikomando, Hafsah langsung menarik tanganku. kami harus membawa berkasku ke gedung BAAK Unm. Waktu itu, gedung ini letaknya berhadapan langsung dengan gedung Phinisi. Jadi, kami tak begitu sulit menemukannya.
Setelah melewati antrian yang begitu melelahkan, akhirnya berkasku pun telah ku kumpulkan. Seorang ibu berjilbab hijau tersenyum menerimanya. Ibu itu lalu menyerahkan tiga lembar kertas formulir, beserta sebuah map merah dan sebuah buku tebal yang merupakan buku panduan dari universitas.
Hafsah menuntunku menyusuri koridor gedung tersebut. ia membawaku ke sebuah bangku panjang. Di sana, ia mengisi formulir pemberian ibu tadi. Tentu saja, ia menuliskannya untukku. Kurang dari sepuluh menit kemudian, kertas-kertas itu telah terisi. Selanjutnya, aku harus mengikuti tes kesehatan, sebelum kembali menyerahkan kertas formulir itu.
Hafsah kembali menuntunku kesebuah ruangan. Cukup besar. Ukurannya sekitar setengah lapangan sepak bola. Penuh sekali. Ruangan itu telah dibanjiri oleh ratusan bahkan ribuan calon mahasiswa lain. Mereka juga sedang mengikuti tes kesehatan.
Kesabaranku betul-betul teruji hari itu. Empat jam aku menunggu. Namun dokter pemeriksa kesehatan itu belum memanggil namaku. Tubu kecilku mulai kelelahan. Lelah selama empat jam berdesak-desakan dengan calon mahasiswa lain. Aku mengeluh dalam hati. Hafsah pergi entah kemana. Tadi, sebelum masuk ruangan, ia dicegah oleh salah seorang petugas. Entahlah. Aku tak tahu apa yang terjadi.
Lima belas menit berlalu. Tubu kurusku masih meringkuk. Berusaha menahan panas yang mulai menggila. Tak ada satupun pendingin ruangan yang ada di tempat itu. Mata suapku mencoba mencari keberadaan Hafsah. Nihil. Ia sama sekali tidak berada di ruangan itu.
“Nur Syarif Ramadhan!.” Akhirnya petugas itu meneriakkan namaku lima menit kemudian. Dengan ragu-ragu, aku melangkahkan kaki menuju ke sebuah meja. Semoga perkiraanku benar. Seharusnya Hafsah ada di tempat itu. Aku tak tahu hendak berkata apa jika dokter pemeriksa itu mengetes penglihatanku. Akupun tak tahu, apakah meja yang kutuju sudah benar atau tidak.
Syukurlah, perkiraanku tepat. Aku telah menuju ke meja yang benar. Meja berukuran sedang itu diapit oleh dua buah bangku kecil. Dokter pemeriksa itu duduk di salah satu bangku. Aku langsung duduk di bangku yang satunya. Jujur, aku gugup sekali waktu itu. Apalagi ketika bersitatap dengan dokter itu. Semoga saja ia tidak mempermasalahkan mataku.
“kau merokok?”. Dokter pemeriksa itu membuka percakapan dengan bertanya.
“tidak, pak.” Aku menjawab mantap. Dokter itu terdiam. Ia lalu mengambil selembar kertas dari atas meja. Menulis sesuatu. Kemudian ia menjangkau sebuah benda kecil yang langsung di tempelkan ke dadaku. Rasa gugup membuatku tak memperhatikan benda kecil tersebut.
Sesaat kemudian, tes kesehatan itu selesai. Aku diberi selembar kertas. Mungkin itulah hasil tesnya. Aku berdiri dari bangku itu. Sejauh ini tak ada masalah. Aku sudah melewati tes itu. Aku bergegas. Mengikuti calon mahasiswa lain. menuju pintu keluar ruangan besar itu. Saat itulah Hafsah muncul.
“dari mana?” aku langsung memulai pembicaraan. Terdiam. Berpikir sejenak.
“ada masalah, ram.”
“masalah apa?” kembali terdiam. Satu detik. Dua detik. Lima detik.
“aku sudah mengikuti tes kesehatan itu.” Ucapku kemudian, sambil membentangkan kertas yang kuterima dari dokter itu lebar-lebar.
“ia, ram. Saya tahu. Tapi, kertas ini masih perlu ditandatangani oleh kepala policlinik universitas.”
“apa susahnya? Bukankah kita hanya membutuhkan tandatangannya?” Hafsah menggeleng. Tak bersuara. Ia langsung menarik tanganku. Kami lalu menuju pintu keluar. Dua langka lagi dari pintu keluar, kami berhenti. Di situlah aku harus menyerahkan hasil pemeriksaan itu untuk kemudian ditandatangani. Hafsah mengambil kertas itu dari tanganku. Ia langsung meletakkannya di atas meja.
“berkas siapa ini?” kepala policlinik itu rupanya seorang perempuan. Aku tak begitu jelas melihatnya. Hanya suaranya yang membuatku mengetahuinya. hafsah menatapku.
“ooh. Vakultas apa?”
“ilmu social bu. Prodi ppkn.” Kali ini aku yang menjawabnya. Ibu itu nampaknya lebih memfokuskan perhatiannya kepadaku. Pandangan kami bertemu. Kali ini aku bisa lebih jelas memperhatikannya. Ibu itu memakai jilbab ping.
“kau tunanetra yaa?” terdiam. Hafsah menatapku. Aku mengangguk. Ibu itu langsung menjangkau berkasku yang sudah terletak di atas meja. Membacanya sejenak. Menatapku kemudian. Membaca lagi dengan lebih teliti. Lalu kemudian menggeleng.
“maaf, berkasmu saya tahan dulu. Kau sepertinya tidak bisa berkuliah di vakultas dan prodi yang kau inginkan.” Ibu itu melipat berkasku, dan langsung memasukkannya ke dalam sebuah map.
“kenapa, bu?” tanyaku kemudian.
“bukankah ibu tinggal menandatangani berkas saya? Saya kan sudah lulus pada tes kesehatan bu!” aku mencoba berbicara sedikit keras. Ibu itu terdiam. Ia mengambil selembar kertas berukuran kecil. Ia menuliskan sesuatu. Kemudian menyerahkan kertas itu pada hafsah.
“itu nomor telpon saya. Maaf, saya tidak bisa menjelaskannya sekarang. Sebaiknya kalian datang lagi besok. Kita ketemu di policlinik universitas besok sekitar jam sembilan. Bagaimana?” aku tak terima. Aku menggeleng.
“maaf. Saya masih harus melayani ribuan calon mahasiswa lain. Sebaiknya kita bicarakan masalah ini besok.” Aku bergumam dalam hati. Masalah apa yang dimaksud ibu itu?, Hafsah menarik tanganku. Kami Keluar dari ruangan itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Ruangan itu terlalu sesak, sehingga Aku tak bisa berpikir cepat.
Hafsah menuntunku keluar dari ruangan itu. Ia membawaku kesebuah bangku panjang yang tadi telah kami tempati untuk mengisi formulir. Kami langsung duduk.
“urusan ini serius, ram. Ibu tadi tidak main-main.” Hafsah langsung membuka pembicaraan. Aku sebenarnya sudah mencemaskan tes kesehatan itu, kawan. Sudah ada beberapa kasus penyandang disabilitas di makassar, yang dipersulit pada bagian itu. Entah apa alasannya. Padahal, dokter sendiri sudah memberikan penjelasan bahwa disabilitas itu bukanlah sebuah penyakit.
Tapi, kusus masalah ditahannya berkasku tadi, aku sendiri meyakini kalau aku tidak ada masalah dengan tes kesehatan. Buktinya, dokter pemeriksa kesehatan itu tidak mempersulitku. hanya ketua policlinik yang tidak mau menandatangani berkas hasil pemeriksaan itu. Mungkin saja, aku bermasalah karena aku melulusi vakultas dan prodi yang selama ini belum pernah menerima mahasiswa istimewah sepertiku.
Perlu kalian ketahui, kawan, aku bukanlah satu-satunya penyandang disabilitas netra yang lulus di universitas negeri makassar pada tahun itu. Ada satu lagi penyandang disabilitas netra yang juga berhasil lulus di universitas yang sama denganku. Namanya Irwan. Ia lulus di vakultas ilmu pendidikan, prodi PLB (pendidikan luar biasa). Aku langsung mengontak Irwan. Dan ternyata, ia tak memiliki masalah apapun. Berkasnya tak ditahan seperti diriku.
Satu-satunya prodi di universitas negeri makassar yang paling sering menerima mahasiswa disabilitas adalah prodi PLB. Sudah tak terhitung lagi penyandang disabilitas yang menerima gelar sarjana pada prodi tersebut. Aku semakin yakin, jika pihak universitas sengaja mempersulitku karena aku melulusi prodi yang sama sekali belum pernah menerima seorang mahasiswa disabilitas netra sepertiku. Itulah salah satu bentuk diskriminasi yang terjadi di kampungku, kawan, kususnya di universitas negeri makassar.
Sekitar pukul dua siang, aku dan Hafsah beranjak meninggalkan gedung itu. Tak ada hal penting lagi yang harus kuurus di sana. Aku langsung menuju ke asrama tempat tinggalku. Ditengah perjalanan, aku mengontak salah seorang teman yang saat itu aktif disebuah organisasi yang bernama: Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI sulawesi selatan). Aku menceritakan kejadian yang kualami hari itu lengkap dengan analisaku. Aku membutuhkan bantuan dan dukungan dari PPDI jika nanti pada akhirnya pihak universitas tak membolehkanku untuk berkuliah di prodi yang telah kululusi. Hasilnya, mereka akan berusaha membantu jika memang hal itu terjadi.
* * *
Keesokan harinya, tepatnya pukul sembilan pagi, aku kembali berada di gedung baak universitas. Hafsah kembali mendahuluiku tiba di tempat tersebut. Selanjutnya kami harus menuju ke bagian policlinik universitas. Letaknya berada di bagian belakang gedung baak. Di sana, telah menunggu seorang ibu yang kemarin telah menahan berkas hasil tes kesehatanku. Hafsah mengatakan Ibu itu bernama ibu Nusra.
Aku memasuki sebuah ruangan. Ukurannya tak begitu luas. di dalam ruangan itu, terdapat beberapa meja dan beberapa sofa model terbaru. Ibu Nusra mempersilahkan kami duduk. Ternyata, bukan hanya aku yang akan berurusan dengannya hari itu.
Di dalam ruangan itu, ada lima  calon mahasiswa lain yang juga mengalami nasip serupa denganku. Dan tahukah, kawan, mereka juga penyandang disabilitas. Dua diantara mereka mengalami masalah dengan kakinya, dua orang lagi mengalami kelainan pada tangannya (disabilitas daksa). Seorang lagi aku tak tahu.
“saya rasa, semua sudah hadir.” Ibu Nusrah membuka dialog pagi itu. Semua pandangan tertuju padanya.
“baiklah. Kita mulai saja. Jadi begini, sebelumnya saya mau Tanya. Apakah kalian mengetahui, apa permasalahan yang menyebabkan berkas kalian ditahan?” ibu Nusra bertanya. Lengang. Tak ada yang berani bersuara.
“kami tidak lulus pada tes kesehatan, bu.” Aku menjawab. Memang, jawaban yang paling tepat sepertinya hanya itu.
“kau salah, nak. Kenapa kau berpikiran seperti itu?”
“begini, bu, saya baru mengalami penahanan berkas ketika melewati tes kesehatan itu, bu. Jadi saya berpikir, permasalahannya terletak pada tes kesehatan itu.” Ibu Nusra berdehem pelan. Ia menggeleng.
“sebenarnya kalian semua sudah lulus pada tes kesehatan itu.”
“lantas, kenapa berkas kami ditahan?” akhirnya dua orang yang tepat berada di sampingku memberanikan diri bertanya. Ibu Nusra berdehem lagi. Menyibak tumpukan berkas yang ada di hadapannya. Mencari sesuatu.
“kalian semua melulusi prodi kependidikan. Ada aturan internal kampus ini, yang tidak membolehkan seorang yang memiliki keterbatasan seperti kalian, untuk berkuliah di prodi yang berhubungan langsung dengan dunia kependidikan.” Ibu Nusra menjelaskan. Kembali lengang. Hanya suara kertas berserakan yang terdengar.
“jadi kami harus bagaimana, bu?” seseorang kembali bertanya.
“kalian harus pindah jika kalian masih ingin berkuliah di sini.”
“maksud ibu pindah prodi?” kali ini aku yang bersuara.
“iya.” Jawaban singkat itu membuatku terdiam. Aku berpikir sejenak. Entah apa yang ada di pikiran kelima orang itu. Moga saja mereka sependapat denganku.
“maaf, ibu, saya punya teman yang juga lulus tahun ini di kampus ini. Ia lulus di prodi pendidikan luar biasa. Ia juga seperti saya. Memiliki keterbatasan pada penglihatannya.”
“oooh, kalau prodi itu tak ada masalah.” Ibu Nusra memotong penjelasanku.
“bukankah prodi itu juga prodi kependidikan?”
“iya. Tapi prodi itu berbeda dengan prodi pendidikan lain. Kalian boleh pindah ke prodi itu.” Aku menggeleng. Menelan ludah. Mencoba kembali berpikir.
“maaf, ibu. Saya tidak mau pindah. Saya telah lulus di prodi ppkn, berarti saya juga harus berkuliah di ppkn. Asal ibu ketahui, saya telah berusaha belajar keras hanya untuk bisa berkuliah di prodi itu. Saya tidak mau perjuangan itu berakhir sia-sia.” Aku berkata tegas. Ibu Nusra terdiam. Perlahan menggeleng. Ia menatapku lamat-lamat.
“tapi saya bukan penentu kebijakan, nak. Saya juga hanya diperintahkan seperti ini.” Kali ini suara ibu Nusra terdengar pelan.
“baik, bu. Kalau begitu, saya ingin bertemu dengan orang yang memerintahkan ibu. Saya juga ingin mengetahui aturan apa yang melarang seorang penyandang disabilitas untuk berkuliah di prodi kependidikan.” Aku kembali berbicara. Kali ini suaraku semakin tegas.
“baiklah. Nanti saya akan menghubungi para petinggi universitas.”
“saya butuh kepastian, bu. Bukankah batas pendaftaran ulang mahasiswa baru tersisa dua hari lagi?”
“iya. Saya janji. Saya akan melakukannya secepat yang saya bisa. Yang pasti, kalian sudah sembilan puluh persent bisa berkuliah di sini.” Dialog pagi itu pun usai. Hafsah langsung menarik tanganku. Kami langsung keluar ruangan. Tak disangka, setibanya di luar ruangan, kelima calon mahasiswa yang tadi berada di  ruangan policlinik itu, mendatangiku. Mereka ternyata meminta bantuan. Mereka juga tak mau pindah prodi. Mereka juga ingin tetap berkuliah di prodi yang mereka lulusi. Aku mengangguk. Menyuruh mereka berdo’a. semoga saja kita tidak di pindahkan. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Mereka mengiayakan. Aku pun meninggalkan kampus itu lima menit kemudian. Aku kembali ke asrama tempat tinggalku.
Hari itu juga, sekitar pukul empat sore, hp-ku tiba-tiba bernyanyi. Ada sebuah panggilan masuk. Aku langsung mengangkatnya.
“assalamu alaikum.”
“walaikum salam.” Jawab suara di seberang sana.
“dengan Nur Syarif Ramadhan?” penelpon itu bertanya.
“iya. Maaf, ini siapa?”
“saya Ibu Nusra.” Aku terkejut mendengar nama itu.
“iya, bu. Ini saya sendiri, bu.” Kataku kemudian dengan intonasi lebih serius.
“jadi begini, nak. Saya sudah berbicara dengan pimpinan universitas. Kau diberikan kesempatan untuk berkuliah di prodi ppkn.” Mendengar kabar itu, rasa bahagia langsung menyelimutiku. Aku sontak bersyukur dalam hati. Pembicaraan telepon itu telah terhenti. Tak lupa aku menanyakan kabar kelima calon mahasiswa lain itu pada Ibu Nusra. Alhamdulillah, mereka juga mendapatkan kesempatan yang sama denganku. Mereka juga bisa berkuliah pada prodi yang mereka lulusi.
* * *
Demikianlah kisah perjuanganku waktu itu, kawan. Saat ini aku sudah memasukki semester tiga pada prodi ppkn universitas negeri makassar. Dan sebagian besar mimpiku itu telah tercapai. Mimpi untuk bisa berkuliah layaknya orang lain. Aku sudah setenga perjalanan menuju cita-cita terbesar itu. Hempasan mimpi itu telah membawaku menapakki jalan yang benar. Jalan yang akan membawaku ke gerbang keberhasilan nantinya.
Aku bukanlah orang bijak, kawan. Tapi aku akan memberi kalian beberapa kalimat penutup yang semoga bisa membangkitkan semangat kalian untuk selalu berada pada koridor keberhasilan.
Sungguh, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu, suhu dan tekanan yang tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya, maka jika dia bisa bertahan, tidak hancur, dia justeru berubah menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal harganya. Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita alami, semakin dalam dan menyedihkan rasannya, jika kita bisa bertahan, tidak hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan. Keras. Kokoh.
Untuk membuat sebilah pedang terbaik, pandai besi harus memanaskannya di tungku dengan suhu memerihkan wajah, menghantamnya berkali-kali, menempanya berulang-ulang, dan itu pekerjaan panjang penuh kesabaran serta ketekunan. Sekali prosesnya selesai, beres, maka sepotong besi biasa, tumpul, jelek telah berubah menjadi sebuah pedang tajam, gagah, dan bisa menebas apapun. Indah sekali. Begitulah kehidupan ini. para pembelajar kehidupan terbaik, harus ditempa berkali-kali, melewati situasi yang berat, jatuh bangun, hamper berputus asa, hingga akhirnya berubah menjadi seseorang yang 'tajam' dan bisa menebas ujian kehidupan manapun.