Kamis, 19 Juni 2014

CERITA DARI KOTA TISHRI (REVIEW NOVEL BUMI)




Judul Buku:       Bumi
Penulis: Tere Liye
Penerbit:           Gramedia Pustaka Utama
Harga:              55.000. http://www.bukukita.com/?mId=227542

Tebal Buku:      438 Halaman
Tahun Terbit:    2014

            Sebenarnya, aku sudah pernah membaca sedikit potongan cerita ini beberapa waktu yang lalu. Tepatnya ketika aku baru saja bergabung dengan page Bang Darwis Tere Liye. Kira-kira sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, Bang Darwis perna memposting cerita ini di page-nya tersebut. Sayangnya, ceritanya terhenti di episode 20, dan ternyata penulisnya menerbitkan cerita versi lengkapnya di tahun ini.
            Sejak membaca novel Bidadari-bidadari Surga, aku sudah merasa cocok dengan gaya menulis Tere Liye. Menurutku, beliau sangat pandai meramu kata yang kemudian menjadi kalimat-kalimat yang enak dibaca. Pun disetiap novelnya, Tere Liye selalu berusaha menyelipkan sepotong cerita ataupun kalimat-kalimat yang begitu menggugah serta menginspirasi. Itulah nilai lebih yang kutemukan dari novel-novel Tere Liye yang sangat jarang kutemukan di novel lain.
            Kali ini, Tere Liye muncul dengan gaya baru. Berbeda dengan novel-novelnya yang lain, Bumi mmerupakan sebuah novel Fantasi remaja yang menyajikan cerita yang cukup unik serta menegangkan. Ketika membaca novel ini, kita akan banyak menemukan hal-hal yang mungkin tidak sejalan dengan logika kita dan mungkin tidak akan pernah masuk akal. Tapi, Tere Liye begitu lihai menggiring pembaca untuk terus membaca bukunya. Beliau begitu hebat dalam menumbuhkan rasa ingin tahu pembaca sehingga ketika kita mulai membaca novel ini, rasanya kita sulit melepaskannya sebelum tuntas membacanya. Saya sendiri, membutuhkan dua hari lebih untuk menuntaskan novel ini.
***
            Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga. Ada banyak sekali jawaban dari tempat-tempat yang hilang."
Adalah Raib, Karakter aku ataupun sang orator dalam novel ini. Usianya 15 tahun dan sedang duduk di kelas x SMA. Bersama dua orang temannya, yakni Ali dan Seli, mereka adalah karakter yang mendominasi novel ini. Melalui sebuah peristiwa yang terjadi di sekolah mereka, mereka akhirnya harus berurusan dengan sebuah masalah yang tak terbayangkan. Raib dan Seli adalah dua anak yang memiliki kekuatan. Keduanya memiliki kemampuan yang juga tak mereka ketahui asal-usulnya. Meski demikian, kedua anak itu berusaha keras untuk menutup-nutupi kemampuan tersebut. Hingga akhirnya usia keduanya  menginjak 15 tahun, tak ada seorang pun selain mereka sendiri yang mengetahui akan hal itu. Tetapi, Ali, anak yang terkenal sebagai biang kerok namun berotak jenius di sekolah, merasa ada yang aneh pada sosok Raib yang kemudian menumbuhkan rasa ingin tahunya. Dengan otak jeniusnya, Ali menciptakan peralatan rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai kehidupan Raib.
Lewat kecerdasannya itulah, Ali akhirnya mengetahui kekuatan yang ditutup-tutupi oleh Raib. Si biang kerok yang jenius itu tahu bahwa Raib bisa menghilang. Tetapi, Raib tidak mau mengakuinya setiap Ali bertanya akan hal itu.

---block quote---
Aku melirik dengan ujung mata, biang masalah itu ternyata ikut duduk, tiga langkah dariku.
“Kau bisa menghilang, ya?” Ali berbisik, berusaha tidak membuat keributan baru, matanya berbinar oleh rasa ingin tahu.
Aku mengabaikan Ali, kembali menatap hujan.
“Ini hebat, Ra. Dari dulu aku selalu yakin ada orang yang bisa melakukan itu. Tidak hanya di film-film.” Ali bahkan tidak merasa perlu menunggu jawabanku,
mengangguk-angguk.
“Kau gila.” Aku kembali menoleh, melotot, balas berbisik.
“Apanya yang gila?”
“Tidak ada yang bisa menghilang.”
“Banyak yang bisa menghilang, Ra. Banyak yang tidak terlihat oleh mata, tapi sebenarnya ada.” Ali mengangkat bahu.
“Tidak ada yang tidak terlihat oleh mata.” Aku bersikukuh, mulai sebal, “Kecuali yang kau maksudkan hantu-hantu, cerita-cerita seram itu.”
“Kata siapa tidak ada?” Ali nyengir, “Dan jelas maksudku bukan hantu-hantu itu. Coba, lihat,” Tangan si biang masalah itu menggapai ke depan, “Setiap hari,
setiap detik, kita selalu hidup dengan sesuatu yang tidak terlihat oleh mata. Udara. Kau bernafas dengannya, tanpa pernah berpikir seperti apa wujud asli
udara, bukan? Apa udara seperti kabut? Seperti uap? Apa itu oksigen? Bentuknya seperti apa? Kotak? Lonjong?”
Aku mengeluh pelan, semua orang juga tahu, si biang masalah ini adalah pendebat yang baik.
“Bahkan, kau tidak perlu jadi setipis udara untuk tidak terlihat, Ra.” Ali menatapku antusias, merapikan rambut berantakan yang mengenai ujung mata, “Jika
kau terlalu kecil, atau sebaliknya terlalu besar dari yang melihat, maka kau bisa menghilang dalam definisi yang berbeda. Semut, misalnya, kau coba saja
lihat semut yang ada di lapangan sekolah dari lantai dua ini, dia menghilang karena terlalu kecil untuk dilihat. Sebaliknya, bumi, misalnya, karena bola
bumi terlalu besar, tidak ada yang bisa melihatnya benar-benar mengambang mengitari matahari. Kita hanya tahu saja dia mengambang, dari gambar, televisi,
tapi tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri, bukan? Tidak terlihat dalam definisi lain.”
“Sok tahu.” Aku berbisik ketus.
Ali hanya tertawa pelan, tidak tersinggung seperti biasanya—tepatnya tidak tertarik bertengkar seperti biasanya, “Aku tahu sekali, Ra. Internet. Aku membaca
lebih banyak dibanding siapapun di sekolah ini. Termasuk Miss Keriting dengan semua PR menyebalkannya. Pelajaran matematika penting katanya, puh, itu mudah
saja, aku bahkan bisa mengerjakan PR yang dia berikan waktu masih SD. Kau sungguhan bisa menghilang ya, Ra?”
Aku hampir berseru jengkel bilang tidak, tapi itu bisa memancing Miss Keriting keluar, segera menurunkan volume suara, menjawab datar, “T-i-d-a-k.”
“Kau justeru sedang menjawab sebaliknya, Ra. Iya, kau bisa menghilang.” Ali mengepalkan tangannya, bersorak dengan gesture badan, “Terima kasih, Ra. Itu
berarti aku tidak seaneh yang sering orang tuaku katakan.”
Aku menghembuskan nafas sebal, apanya yang kujawab iya, sialan, kembali menatap hujan, memutuskan menyerah menanggapi rasa ingin tahu Ali. Aku sepertinya
telah keliru, bukan hanya dua jam pagi ini saja akan menghabiskan waktu bersama si biang masalah ini, bahkan boleh jadi seharian, besok-besoknya lagi,
dia akan terus tertarik mengikutiku, memastikan.
---block quote end---
lewat sebuah kejadian yang menggemparkan di sekolah, akhirnya Ali mengetahui segala kemampuan yang dimiliki Raib. Tidak hanya itu, ia juga mengetahui bahwa Seli, teman sebangku Raib, juga ternyata memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Lewat kejadian itu, semua rahasia itu akhirnya terbongkar. Tak hanya itu, peristiwa menggemparkan yang siang itu terjadi di sekolah mereka juga akan membawa ketiga anak kelas x itu memasukki dunia baru. Dunia yang berbeda dengan bumi kita. Disinilah persahabatan antar ketiga anak itu mulai terbina. Kelak, petualangan di dunia baru itu akan menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang Raib serta asal-usul kemampuan yang ia miliki.

---block quote---
Terdengar suara gelembung air meletus. Sekarang terdengar lebih kencang dari biasanya.
Tidak ada yang hilang. Aku menatap sekitar, memeriksa. Juga tidak ada yang datang. Itu tadi pertanda suara apa? Tetapi tiba-tiba  aku berseru tertahan. Astaga! Lihatlah. Semua di sekitar kami telah berubah. Ini bukan kamarku, bahkan ini entah ruangan  apa. Tempat tidurnya menggantung di dinding. Lampunya berbentuk aneh sekali, menyala terang. Meja, kursi, semuanya berbentuk aneh. Lemari, kalau itu bisa disebut lemari, terbenam di dinding. Seprai dan bantal dipenuhi gambar yang ganjil. Semua terlihat berbeda.
---block quote end---

---block quote ---
"Kita tidak ke mana-mana, Seli. Aku yakin sekali. Ini tetap kota kita, hanya entah kenapa seluruh rumah, bangunan, gedung tinggi di kota kita berganti dengan hutan dan balon-balon beton raksasa. Bahkan saat ini, kemungkinan kita sedang berada di salah satu ruangan rumah Ra. Entah di ruang tengah atau ruang tamu."
"Tapi... tapi bagaimana dengan..." Seli menunjuk sekeliling kami.
"Itulah yang membuat semua ini menarik." Ali bersedekap, bergaya seperti profesor fisika terkemuka. "Kita berada di tempat yang sama, tapi dengan sekeliling yang amat berbeda. Bahkan orang-orang yang berbeda."
"Kamu sebenarnya hendak bilang apa sih?" Aku akhirnya bertanya, tidak sabaran. Tidak bisakah dia menjelaskan lebih detail? Dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti.

Ali mengangguk. Dia meloncat turun dari sofa melayang, mengeluarkan  buku tulis dari ransel yang selalu dia bawa ke manamana,  mengambil bolpoin.
"Kalian perhatikan." Ali membuka sembarang halaman kosong.  Dia mulai menggambar.
Aku dan Seli tahu apa yang sedang dia gambar, sebuah lapangan  futsal. Lantas, Ali menggambar lagi sebuah lapangan bulu tangkis di atas lapangan futsal tersebut, juga lapangan basket. Terakhir sebuah lapangan voli. Empat lapangan itu bertumpuk di atas kertas. Ali menggambar bingkai di sekeliling kertas.
"Ini persis seperti aula sekolah kita, bukan? Ada empat lapangan olahraga di atas lantainya." Ali menatapku dan Seli bergantian.
Aku dan Seli mengangguk.
"Nah, aku hanya menduga, bisa jadi keliru, tapi kemungkinan besar tepat, inilah yang sedang terjadi di sekitar kita. Dunia ini tidak sesederhana seperti yang dilihat banyak orang. Aku percaya  sejak dulu, bahkan membaca lebih banyak buku dibanding siapa pun karena penasaran, ingin tahu. Bumi kita memiliki kehidupan yang rumit. Dan hari ini aku menyaksikan sendiri, ada sisi lain dari kehidupan selain yang biasa kita lihat sehari-hari.  Dunia lain.
"Kalian perhatikan aula sekolah kita. Ada empat lapangan olahraga di atasnya, bukan? Jika kita ingin bermain futsal, pasang tiang gawangnya. Jika kita ingin bermain basket, tarik tiang basketnya. Maka di Bumi, bisa jadi demikian, ada beberapa kehidupan yang berjalan di atasnya. Berjalan serempak di atasnya."

"Tapi kita tidak bisa bermain voli, basket, badminton, dan futsal serempak di aula, Ali." Seli menggeleng. "Akan kacau balau, pemain bertabrakan, bolanya lari ke mana-mana."
"Itu benar." Ali mengangguk. "Tapi bukan berarti tidak mungkin.  Bumi jelas lebih besar dibanding aula sekolah. Saat kapasitasnya  besar, Bumi bisa berjalan tanpa saling ganggu. Persis seperti sebuah komputer yang membuka empat atau lebih program. Bukankah kita bisa menjalankannya bersamaan? Membuka internet, membuka dokumen, membuka pemutar musik, dan mengedit foto sekaligus? Ada banyak program yang berjalan serentak tanpa saling ganggu. Kecuali jika komputernya terbatas, bisa hang atau error.
"Aku yakin sekali, beberapa sisi kehidupan di Bumi bisa berjalan serentak tanpa saling ganggu, berantakan, dan bolanya lari ke mana-mana. Setidaknya aku sudah menyaksikan dua sisi. Sisi pertama, kehidupan di Bumi seperti yang kita jalani selama ini. Sisi kedua, kota aneh ini, bangunan aneh ini, dan semua benda yang aneh di sekitar kita. Dua sisi itu berada di satu Bumi, berjalan tanpa saling memotong."
"Kalau hal itu memang ada, kenapa selama ini tidak ada orang yang mengetahui bahwa ada dunia lain tersebut di Bumi?" Seli bertanya lagi.
"Yang pertama karena dua dunia itu terpisah sempurna. Yang kedua, karena kita terbiasa dengan kehidupan sendiri. Jika seseorang  sibuk bermain futsal di aula sekolah, lantas yang lain sibuk bermain basket, mereka hanya sibuk dengan permainan masing-masing, tanpa menyadari ada dua permainan berjalan serentak. Nah, kalaupun ada yang tahu, mereka hanya bisa men duga, bilang mungkin ada alam gaib atau dunia lain di luar sana. Tapi mereka tidak pernah mampu menjelaskannya." Ali menjelaskan  dengan intonasi yakin.
"Kalau begitu, ada berapa sisi kehidupan yang berjalan serempak di Bumi?" aku akhirnya membuka mulut. Sebenarnya penjelasan Ali sama sekali tidak masuk akal. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana membantahnya. Aku memutuskan bertanya.
"Tidak tahu. Yang pasti, sosok tinggi kurus di aula tadi menyebutku  'Makhluk Tanah orang-orang lemah. Itu satu. Dia pasti merujuk penduduk Bumi saat ini. Dia juga menyebut Seli dengan sebutan Klan Matahari yang berjalan di atas tanah. Itu dua. Terakhir tentu saja dunia yang kita lihat sekarang. Aku tidak tahu namanya, kita sebut saja Klan Bulan, karena di mana-mana  ada Bulan termasuk bangunan balon ini. Itu berarti tiga. Mungkin masih ada lagi dunia lain yang berjalan serentak, tapi aku tidak tahu.
"Kalian tahu, ini keren. Bahkan Einstein tidak pernah bisa membayangkan ada dunia paralel di sekitarnya. Dia hanya bisa menjelaskan bahwa waktu bersifat relatif. Einstein mungkin saja benar, imajinasi adalah segalanya, lebih penting dibanding ilmu pengetahuan. Tetapi menyaksikan sendiri semua ini, mengetahui pengetahuan tersebut, lebih dari segalanya." Ali nyengir.

"Fisikawan, astronom, ahli matematika terkemuka Galileo Galilei hanya bisa membuktikan teori Heliosentris Copernicus. Entah bagaimana reaksinya jika mendengar ada dunia lain berjalan serempak di atas Bumi. Kemungkinan dia akan seperti pendukung teori Geosentris, kaum fanatik tidak berpengetahuan, tidak percaya."

---block quote end---

                Ringkasan cerita yang aku tuliskan di atas sebenarnya tidak terlalu mengungkapkan banyak hal, bahkan mungkin bisa dikatakan itu hanya sebatas pembukanya. Cerita ini jauh lebih kompleks, dan lebih banyak kejadian menegangkan yang terjadi di dalamnya. Oleh karena itu tentu saja aku tidak menceritakan semuanya, agar yang belum membaca dapat menikmatinya sendiri.
                Jalannya alur novel bumi ini tidak begitu sulit. Mungkin, di novel Tere Liye yang lain, teman-teman sering menemukan alur cerita yang maju mundur, tetapi untuk novel ini tidak demikian. Alur cerita dalam novel ini berjalan teratur dan tidak terlalu membingungkan. Bagi teman-teman yang menyukai novel remaja maupun novel fantasi, novel ini sangat cocok untuk anda baca. Ceritanya cukup menarik, seru dan menegangkan. Jika teman-teman pernah membaca “Narnia”, “Hary Potter”, novel ini tak kala seru dengan kedua novel tersebut. Semoga saja, bang Tere akan segera menerbitkan buku lanjutannya (BULAN). Bagi yang sedang dan ingin membaca buku ini, kuucapkan selamat membaca dan berpetualang!!!


(Kutulis di Bonto Langkasa, 17-19 juni 2014)

Sabtu, 18 Januari 2014

CATATAN AKHIR SMA

Oleh: Nur Syarif Ramadhan


    Pagi itu, Makassar diguyur hujan yang teramat deras. Dengan kondisi yang cukup basah, akhirnya aku bisa juga sampai di SMA negeri 6. sebuah sekolah menenga atas di Makassar yang tak punya apa-apa selain 44 pohon mangga, 27 ruang kelas, 6 lab, sebuah masjid, dan beberapa hal lain yang tak terlalu penting untuk disebut. Mungkin, menurut sebagian besar pendapat, sekolahku ini tidak terlalu istimewa. Meski demikian, sekolah ini telah mengistimewakan diriku selama kurang lebih tiga tahun.
    Ya, tak terasa sudah tiga tahun aku bersekolah di SMA ini. Beberapa hari-hari indah dan peristiwa-peristiwa menarik telah menjadi kenangan manis yang tak mungkin terlupakan. Ia akan menjadi awal lukisan sejarah dari seorang anak katarak yang punya impian luarbiasa.
    Memang, tak pernah ku duga sebelumnya. Jika aku yang sejak bayi terkena katarak, bisa melangkah sejauh ini dalam menempuh masa-masa pendidikan. Mungkin saja, ada beberapa orang seperti aku yang masih meratapi nasipnya. Hidupnya terasa kelam. Tak memiliki cahaya dalam gulita seperti diriku.
    Aku yang kini berada di dalam kelas xii ips 3 sedang mencoba merenungi beberapa kenangan indah yang telah terlewati. Diawali dari perkataan seorang guru yang pernahh mengatahiku salah alamat dalam bersekolah, ada juga yang pernahh menertawakanku ketika tersandung net di lapangan bolafoli, sampai ketika aku berjuang untuk mendapat nilai standar dalam pelajaran matematika. Semua peristiwa itu disebabkan oleh mata katarakku.
    Namun semua itu tak akan menghentikan impianku untuk sukses seperti yang lain. Dan dengan keterbatasan inilah, aku berjanji, bahwa aku akan merubah semua impianku menjadi nyata.
    “kamu basah, Rif?” sebuah pertanyaan yang tiba-tiba menghentikan lamunanku.
    “iya, wan. Hujan begitu deras pagi Ini. Kamu sendiri bagaimana?” aku balik bertanya.
    “yah, hanya sedikit kawan. Yang basah hanyalah celanaku bagian betis. Karena mantel yang ku pake tidak mampu menutupi bagian itu.”
    Anak itu bernama Ridwan. Ia merupakan salah seorang sahabat terdekat yang kumiliki di sma negeri 6. ialah yang selama ini banyak membantuku dalam segala hal. baik di dalam kelas, maupun di luar kelas. Ia bagaikan pahlawan bagiku. Ketika ada siswa lain yang mencoba meremehkanku, ia akan selalu ada untuk membelaku.
    Namun, disetiap pertemuan, pasti akan ada yang namanya perpisahan. Itulah sepertinya yang akan terjadi hari ini. Setelah dua hari yang lalu kami semua siswa kelas tiga, telah difonis lulus oleh dinas pendidikan, maka kami semua telah sepakat untuk mengadakan pesta perpisahan hari ini. Sungguh berat rasanya mengakhiri kebersamaan yang selama ini telah kami bangun. Namun, suka tidak suka, mau tidak mau, senang tidak senang, rela tidak rela, iklas tidak iklas, hal itu harus jua terjadi.
    Kelas xii ips 3 sudah mulai ramai. Satu persatu teman kelasku sudah mulai berdatangan. Sepertinya tak ada seorang pun yang ingin melewatkan momen pada hari ini. Bahkan teman-temanku yang selama ini paling malas ke sekolah, ternyata hari ini mereka semua hadir.
    Setelah semua penghuni kelas dianggap sudah hadir, Pak Saldi, wali kelasku, berdiri di depan kelas. Dengan tenangnya, ia memberikan kata-kata penyemangat sebagai motifasi tambahan bagi kami sebelum meninggalkan sekolah.
    Setelah itu, kami para siswa di persilahkan untuk berbicara satu persatu menyampaikan unek-unek selama berada di sma 6. saat inilah yang paling mengharukan bagiku. Segala kenangan lama kembali terasa. Seolah-olah baru kemarin aku mengalaminya.
    Akhirnya, semua siswa telah menyampaikan unek-uneknya. Agar terasa lebih lengkap, kami berencana untuk mengunjungi sebuah tempat rekreasi yang ada di sulawesi selatan. Bantimurung menjadi tujuan kami selanjutnya. Namun tak ada yang lebih mengesankan selain kelas kami. Aku sendiri meyakini bahwa kelas ini akan menjadi awal lahirnya generasi muda yang sukses!.

Makassar, 5 juli 2012

Jurnal hatiku

Jurnal hatiku
Oleh: Nur Syarif Ramadhan
Wahai kasih hatiku
Debetlah cintaku di neraca hatimu
Kan kujurnal setiap transaksi rindumu
Hingga setebal laporan keuanganku
Wahai kasih hatiku
Jadikan aku menejer investasi cintamu
Kan kuposting kasih dan sayangmu
Di setiap lembaran portofolio hatiku
Bila masa jatu tempo telah tiba
Jangan kau retur kenangan indah kita