oleh: Nur Syarif Ramadhan
Bel tanda pelajaran pertama telah menjerit, ketika Ramadhan memasuki gerbang SMA negeri 6 makassar. Dengan langkah cepat, ia pun segerah menuju kelasnya yang sebenarnya, ia belum hafal betul letaknya. Tapi, dengan modal nekat yang ia miliki, diteruskannya langkah menuju ke area belakang sekolah.
Ramadhan seorang lowvision. Kedua matanya sudah memiliki keterbatasan sejak ia masih bayi. Dengan ragu-ragu, ia memperhatikan setiap ruangan yang letaknya di bagian belakang sekolah itu. Setidaknya, ada 2 ruangan yang membuatnya bingung.
“yang mana ya, kelasku?” tanyanya dalam hati. Benaknya mencoba mengingat-ingat.
Hari itu merupakan hari keempatnya bersekolah di SMA 6 Makassar. Hari pertama dan kedua, ia mengikuti masa orientasi siswa. Dan penentuan kelas bagi siswa baru, ditentukan pada hari ketiga. Penglihatannya yang samar, tidak cukup membantu mobilitasnya di sekolah itu.
“weh, kelasmu disini!.” Seru seorang anak lelaki yang berperawakan cukup besar. Dari nada bicaranya, ia nampak kurang ramah. Tapi, itu bukanlah masalah bagi Ramadhan. Perlakuan seperti itu sudah biasa didapatkannya. Bahkan sewaktu ingin mendaftar disekolah itu, ia mendapat sambutan yang kurang bersahabat dari petugas penerimaan siswa baru.
Waktu itu, ia telah dinyatakan lulus berkas. Tetapi sewaktu pengambilan kartu tes, barulah persoalan itu tiba. Seorang petugas mempermasalahkan ketunanetraannya. Menurutnya pihak sekolah belum melakukan rapat pri hal diterimanya atau tidak seorang tunanetra untuk bersekolah ditempat itu. Tapi Ramadhan tidak kehabisan akal.
“saya kira, sebelum-sebelumnya pihak sekolah tidak mempermasalahkan hal itu?. Buktinya sudah empat orang tunanetra yang pernah bersekolah di sekolah ini.” Kata Ramadhan pada petugas tersebut.
“ia, tapi kan itu sudah lama. Lima tahun belakangan ini, tidak ada lagi tunanetra yang bersekolah disini. Apalagi, pimpinan sekolah ini telah berganti.”
Penjelasan dari petugas itu, membuat Ramadhan terdiam. Waktu itu ia sudah memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba salah seorang wakil kepala sekolah datang.
“ kenapa?” Tanyanya pada petugas tadi.
“ini pak, ada seorang tunanetra yang ingin bersekolah disini.”
“terus, kenapa tidak diterima?”
“apa tidak jadi masalah nantinya, pack?”
“kan baru mau ikut tes, bu. Lagi pula masalah apa yang ibu khawatirkan? Selama ini kita tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Biarkanlah dulu anak itu ikut tes. Jika ia lulus, kita terima. Tapi kalau tidak, ya jangan. Saya rasa tidak ada yang akan mempermasalahkan anak itu. Kalau pun ia lulus dan ada yang mempermasalahkan, nanti saya yang bertanggung jawab.”
Karena penjelasan bapak itulah, Ramadhan akhirnya bisa bersekolah di SMA 6. belakangan ia ketahui orang itu bernama pak Amri. Orang yang menjabat sebagai wakasek bagian kurikulum waktu itu.
Memang, sejak tahun 2004. SMA negeri 6 Makassar telah terdaftar sebagai sekolah inklusi di dinas pendidikan provinsi sulawesi selatan. Artinya, sekolah itu bisa menerima siswa yang memiliki keterbatasan fisik. Atau istilah krennya disebut penyandang disabilitas. hal itu karena SMA 6 adalah SMA negeri pertama di Makassar atau pun di sulawesi selatan, yang pernah menerima siswa disabilitas. Jadi sangat cukup mengherankan jika petugas penerimaan siswa baru itu ingin mempermasalahkan Ramadhan.
“andai saja kamu dipermasalahkan, Dhan. Mungkin teman-teman akan beraksi lagi di sekolah itu.” Komentar salah seorang teman Ramadhan, Ketika ia mengisahkan pengalaman pertamanya berintegrasi.
Berkat anak lelaki itu, akhirnya Ramadhan berhasil menemukan kelasnya. Sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Didalamnya telah tertata rapi meja dan bangku yang akan digunakan tuk belajar nantinya. Dengan sedikit ragu, akhirnya Ramadhan masuk juga ke ruangan itu. Hamper semua bangku telah terisi. Namun, dengan mata suapnya, akhirnya ditemukannya juga sebuah bangku yang terletak di jejeran ketiga dari depan.
Dibagian depan kelas, terdapat dua buah papan tulis berukuran normal yang tertempel langsung ke dinding. Kedua benda itu punya fungsi masing-masing. jika menulis dengan spidol, maka papan yang berwarnah putih yang digunakan. Tetapi jika misalnya tinta spidol habis, solusi terbaik adalah papan yang berwarnah biru. Tentu saja dengan menggunakan kapur. Namun, di zaman yang serba moderen ini, sangat jarang ditemukan sekolah-sekolah yang menggunakan kapur. Umumnya, yang digunakan adalah spidol. Meskipun kapur masih disediakan, biasanya ia hanya akan menjadi penjaga kelas, atau bahan mainan siswa-siswi SMA yang belum bersifat dewasa.
Selain itu, dibagian depan ruangan juga terdapat sebuah meja berukuran besar dari meja-meja lainnya. Sebuah kain berwarna ping menutupi permukaannya. Yang membuat meja itu sedap cdipandang, karena diatasnya terdapat kembang buatan yang berwarna-warni. Sebuah botol kecil menjadi wadah penyimpanannya. Dan di sisi sampingnya terdapat sebuah ukiran yang bertuliskan “hasil karya siswa-siswi x.9”. Ukiran itu seolah-olah menantang para siswa-siswi baru yang ada dikelas itu untuk membuat karya yang lebih mengagumkan dari kembang itu.
Hari itu, para guru yang masuk ke kelas x.9 belum ada yang terlalu menyinnggung materi pelajaran. Yang mereka lakukan hanyalah saling mengenal dulu dengan para siswa. Selain itu, mereka juga memberikan mediasi pada siswa yang belum saling kenal, agar saling mengenal antara satu dengan yang lainnya.
Sekitar pukul 12.00, semua siswa baru dipulangkan. Hari itu mereka hanya diperintahkan tuk melihat-lihat lingkungan sekolah. Misalnya untuk mengetahui apa-apa saja yang ada di SMA 6, dan lain-lain. Namun Ramadhan merasa tak perlu dengan hal itu. Sehingga ia memutuskan langsung pulang. Dengan kepercayaan diri yang luar biasa, ia berjalan meninggalkan kelas x.9. dan dengan mata suapnya ia juga menyempatkan tuk memperhatikan ruang-ruang yang ia anggap penting. Seperti, ruang guru, lab biologi, lab fisika, perpustakaan dan lab computer. Karena kelasnya, x.9 terletak dibagian belakang sekolah, akhirnya ia dapat melewati ruangan-ruangan itu sewaktu pulang.
Namun langkanya tiba-tiba terhenti di samping lab computer. Sesosok lelaki menghalang-halangi langkahnya. Meskipun pandangannya samar, tapi ia masih bisa tau ciri-ciri orang itu. Pakaiannya biasa saja, sepertinya ia bukan guru, tapi yang mengesankan adalah rambut gondrongnya. Ramadhan mencoba meneruskan langkah. Tapi orang itu, terus menghalanginya.
“Misi pak” Ramadhan mencoba meminta jalan. Namun, jawaban yang ia tunggu-tunggu tak datang jua dari lelaki itu. Malahan, dengan mengunakan badannya, lelaki itu semakin mempersempit ruang geraknya. Secara perlahan ia terdorong ke tembok kelas xi Ipa 4. yang letaknya pas di samping ruangan wakasek dan di sudut depan lab computer.
Ramadhan bingung. Ia tak tau hendak berbuat apa. lelaki itu terus mendorongnya. Tas ranselnya mulai merapat ke tembok kelas xi Ipa 4. sesaat kemudian seluruh badannya sudah tak leluasa lagi. kepalanya ikut terdorong dan mulai merapat ke kaca jendela kelas. Ramadhan masih bingung. Karena kaget dengan perlakuan itu, otaknya tidak bisa difungsikan. Wajahnya mulai pucat pasih. Badannya mulai mengeluarkan keringat dingin.
Karena tempat itu merupakan jalur keluar masuk dari SMA 6, sehingga banyak orang yang berlalu-lalang melewati tempat itu. Namun, tak ada satu pun yang memperhatikan hal itu. Jika pun ada, mereka tak berkomentar apapun. Orang-orang itu seolah-olah sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.
Tiba-tiba, pintu lab computer terbuka. Seorang lelaki tinggi keluar. Sejenak ia melirik ke kelas xi IPA 4. tak ada satu bahasa pun yang ia keluarkan, hanya sebuah senyuman yang di tujukan kepada lelaki gondrong yang sedang kelihatan gembira itu. Lelaki tinggi itu pun meneruskan langkahnya dan masuk ke kantor kepala sekolah.
Tentu saja, Ramadhan tidak mengetahui hal itu. Ia masih berusaha mencari akal untuk secepatnya bisa melepaskan diri dari si gondrong yang seolah-olah sedang mempermainkannya. Namun semuanya blank. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Otaknya juga demikian.
Sesaat kemudian, lelaki gondrong itu melangkah. Secara otomatis, Ramadhan dapat leluasa lagi bergerak. Ia berusaha menghilangkan rasa tegang yang menguasainya. Dengan ujung dasinya, ia mencoba menghapus butiran-butiran peluh di wajahnya.
“kamu kenal saya?” tiba-tiba lelaki itu mengajukan pertanyaan. Suaranya cukup berwibawa.
“tidak, pak” hanya jawaban itu yang bisa keluar dari bibir Ramadhan. Memang, ia tak tahu siapa lelaki gondrong itu. Ia belum bisa menghilangkan ketegangannya, ketika lelaki itu membawanya masuk ke kelas xi IPA 4. nyali Ramadhan semakin ciut. Ia tak mampu berbuat apa-apa. Hanya menurut saja yang dapat ia lakukan.
“duduk!” seru lelaki itu sewaktu mereka masuk kedalam kelas. Ramadhan langsung menurut. Ia lalu duduk di sebuah bangku yang paling dekat. Lelaki itu lalu menutup pintu.
Ramadhan semakin merasa tidak enak. Jantungnya berdetak kencang. Ketegangan yang ia rasakan semakin menjadi-jadi.
“hmmm, siapa yang menyuruh kau duduk disitu?”
“jadi dimana, pak?”
Braaak…! Tiba-tiba, sebuah meja melompat dari tempatnya. Dengan posisi terbalik, meja itu membentur lantai kelas. Ramadhan terhenyak. ia tidak menduga akan seperti itu kejadiannya.
“duduk dilantai…!”
Ramadhan tak berani menolak. ia pun segera duduk dilantai. Ingin rasanya ia memberontak. Ia tak pernah diperlakukan seperti itu. Tapi ia sadar dengan dirinya. Ia tidak mungkin melawan. Mentalnya mulai goyah. Tanpa terasa, air matanya pun mulai tak tertahankan.
“mau melawan? Ayo!” kata lelaki itu kemudian sambil bertolak pinggang.
“ti… tidak, pak?”
“siapa sebenarnya yang memasukanmu kesekolah ini?”
“saya lu” Ramadhan belum menuntaskan perkataannya, namun lelaki itu langsung memotongnya.
“hmm, saya tidak percaya kalau kau bisa lulus murni di sekolah ini. Pasti ada yang kau andalkan. Ia kaaan?.”
Ramadhan tidak menjawab. Hatinya terasa perih.
“kau sadar ji’ kah? Sebenarnya kau itu salah alamat sekolah disini. Mengapa kau tidak di SLB saja? Sebenarnya kau dan teman-temanmu yang dulu hanya membuat repot saja di sekolah ini.” Dengan logat makassarnya, lelaki itu memberikan penjelasan yang sama sekali tak mengunakan hati nurani.
Ramadhan tidak bisa menjawab. Mulutnya terkunci rapat. Ia sama sekali belum pernahh mengalami situasi seperti itu. ia belum pernahh merasakan kebahagiaan ataupun kepahitan didalam bersekolah dengan orang yang secara fisik, lebih sempurna darinya. Yang bisa ia lakukan waktu itu hanyalah pasrah. Seperti kebanyakan penyandang disabilitas yang hanya pasra saja diperlakukan secara diskriminitif oleh oknum-oknum yang tak memiliki moral dan etika.
Pintu kelas tiba-tiba terbuka. Seorang lelaki tinggi dan agak kurus masuk.
“ada apa ini?” Tanya lelaki itu. Si gondrong tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan kembali memandang ke arah Ramadhan yang masih duduk terpaku ke lantai.
“Hm, serahkan anak ini pada saya.” Si gondrong tidak menjawab. Ia langsung meninggalkan kelas ketika mendengar perintah orang yang baru saja masuk itu.
“nak, saya Amri. Kamu tidak apa-apa?”
“iya, pak”
Pak Amri lalu membawa Ramadhan keluar dari kelas xi Ipa 4. dua langkah dari kelas itu, mereka berbelok ke kanan. Pak Amri membuka sebuah pintu. Lalu keduanya pun masuk. Ramadhan sudah mengenal ruangan itu. Disitulah ia pernahh dipersulit oleh seorang petugas penerimaan siswa baru. Ia juga baru tersadar, bahwa yang membawanya keruangan itu adalah orang yang dulu menolongnya sewaktu dipersulit.
Pak Amri membawa Ramadhan kesebuah meja yang diapit oleh dua buah kursi yang saling berhadapan.
“duduk”. perintahnya kemudian. Ia lalu menuju ke kursi yang satunya.
“kamu masih bisa liat?”
“iya, pak. Saya masih lowvision.” Jawab Ramadhan sambil berusaha menghapus sisa ketegangan dan air mata yang masih tersisa.
“ooh, sekitar jarak berapa yang bisa kamu lihatt?”.
“kalau itu, saya sendiri kurang tau, pak. Tapi, saya masih bisa mengenal warna.”
“kalau seseorang, masih bisa kamu kenal?”
“wah, itu yang sulit, pak. Tapi biasanya, saya bisa mengenal seseorang lewat fisiknya, ataupun dengan cara lain.”
“mmm. Oke. Ini minum dulu”. Dengan hati-hati Pak Amri memberikan segelas air minum ke tangan Ramadhan.
“tadi, kaget ya?” Pak Amri melanjutkan pembicaraan.
“iya, pak. Saya belum pernahh diperlakukan seperti itu.”
“menurutmu itu pantas, tidak?” Ramadhan tidak bisa menjawab. Pak Amri tersenyum. Tanpa menunggu jawaban, iya kembali melanjutkan.
“yang tadi, anggap saja ujian mental ya?. Kalau hanya diperlakukan seperti itu kamu sudah menyerah, berarti kamu bukan tipe tunanetra yang hebat.” Ramadhan mendengarkan kata-kata Pak Amri dengan serius.
“Dhan, selama ini bapak telah mengajar dua orang yang seperti kamu. Keduanya mempunyai mental yang luar biasa!. Terus terang saja, bapak kagum dengan orang-orang seperti kalian. kalian itu bisa menjadi motifasi bagi saya, dan mungkin orang lain juga begitu.”
“oh, syukurlah pak kalau begitu.”
“tapi, San, kau juga harus tau. Tidak semua tenaga pengajar disini berpikiran seperti bapak. Mungkin saja, ada yang tidak senang denganmu sehingga nanti ia akan mempersulitmu.”
“mungkin bapak punya alas an?”
“maksudnya?”
“pasti ada alasannya sehingga bapak berkata seperti itu?”
“iya, Dhan. Kemarin, pihak sekolah mengadakan rapat. Nah, salah satu agenda rapatnya itu membahas kamu.” Pak Amri berhenti sejenak. Ia lalu meneguk air mineral yang ada dihadapannya.
“terus gimana, pak?” Tanya Ramadhan dengan ekspresinya yang serius.
“memang, Dhan, ada beberapa orang guru yang senang dengan siswa sepertimu. Tapi, tak sedikit juga yang sebaliknya. Jadi, saran saya, berbuatlah yang sebaik-baiknya di sekolah ini. Jangan pernah membanta atau membangkang perintah guru. Kamu juga harus berhati-hati didalam memilih teman. Tidak semua teman bisa dipercaya. Perhatikan semua tugas-tugas yang diberikan. Usahakan semuanya dikerjakan. Karena penilaian yang paling penting selain kehadiran, ya tugas!”
“baik, pak”
Kata-kata dari Pak Amri itu, tertanam jelas di benak Ramadhan. Ia berusaha untuk selalu mempedomani nasihat itu untuk berperilaku di sekolah. Ia sama sekali tak berani bertingkah macam-macam. Ia selalu taat pada aturan dan berusaha mengakkrapi semua orang.
Beberapa minggu kemudian, Ramadhan sudah bisa berinteraksi dengan baik pada semua penghuni kelasnya. Mereka sangat senang membantu Ramadhan. Diantara mereka adalah Sri. Seorang siswi asli bugis yang juga tertantang mencicipi kerasnya persaingan pendidikan di kota Makassar.
Sri adalah seorang siswi yang sangat menyukai sesuatu hal yang baru. Selama hidupnya, ia belum pernahh berteman dengan seorang yang secara fisik, kurang dibandingkan dirinya. Namun ia tak pernahh memandang Ramadhan lebih rendah. Menurutnya, Ramadhan adalah seorang teman terbaik yang pernahh dikenalnya.
”itu apa, Dhan?” tanya Sri pagi itu. Sebuah benda berbentuk persegi panjang berada di genggaman Ramadhan. Benda itu berwarna biru. Dipermukaan atasnya terdapat empat baris. Pada setiap barisnya terdapat jejeran kotak-kotak mungil berbentuk balok yang semuanya berjumlah seratus enam belas kotak.
”oh, ini? Ini namanya riglet. Alat yang digunakan tunanetra untuk menulis.”
”Ha?, caranya bagaimana?” tanya Sri makin penasaran. dari dalam tasnya, Ramadhan kembali mengeluarkan sebuah benda yang sangat asing dimata Sri. Benda itu berukuran kecil dari riglet. Warnahnya sama dengan riglet. Namun bentuknya melingkar. Di salah satu permukaannya berbentuk agak runcing. Memang, bagian bawah dari benda itu terbuat dari paku yang telah di modifikasi.
”nah, ini namanya stilus. Alat komplementer dari riglet ini.” jelas Ramadhan sambil menyodorkan kedua benda itu kehadapan Sri. Ramadhan lalu mempraktekkan cara pengunaan dari riglet dan stilus tersebut.
”bagusnya nulis apa?” tanya Ramadhan.
”tulis apa ya? Hmmm! Tulis namaku saja!”
”oke” Ramadhan lalu mulai menulis. Sri memperhatikannya dengan serius. Apalagi, Kombinasi antara riglet dan stilus itu ternyata menghasilkan sebuah bunyi yang menarik. Tuk... tuk... tuk... itulah bunyinya yang hampir menyerupai bunyi ketika seekor ayam sedang menikmati makanannya.
Sesaat kemudian Ramadhan telah usai menuliskan nama Sri. Kertas pun di lepaskan dari jepitan riglet. Dan, nampaklah huruf timbul yang hanya berupa titik-titik kecil di permukaan kertas itu.
”wah! Ini hasilnya? Keren...” puji Sri sambil meneliti dengan seksama huruf-huruf braille itu.
”Dhan, ajari aku menulis braille ya?” pinta Sri mulai tertarik.
”mmm, sip lah itu”.
Peristiwa itu semakin mempererat pertemanan antara kedua anak itu.
Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Waktu yang menunjukkan akan dimulainya jam pelajaran pertama. Seorang wanita gemuk memasuki kelas x.9. ia langsung menuju meja guru.
”dhan, ibu Tanti sudah datang. Aku ke bangkuku dulu ya?”
”iya. Nanti kita lanjutkan belajar braille-nya.” Sri pun segera ke bangkunya.
Di bagian depan kelas, ibu Tanti nampak mulai membuka buku kewarganegaraan yang ingin diajarkan. Sesekali matanya melirik ke siswa-siswinya. Tiba-tiba ia memandang ke arah Ramadhan. Ia lalu meletakkan bukunya di meja.
”baik anak-anaku sekalian. Ini merupakan pertemuan ketiga untuk pelajaran kewarganegaraan. Untuk pertemuan hari ini, sebelum kita menyinggung pelajaran, saya ingin menyampaikan bahwa pertemuan berikutnya kita ulangan harian. Jadi, mulai hari ini, persiapkan diri masing-masing untuk menghadapi pertemuan berikutnya. Paham?”
”iya, bu...” jawab para siswa tegas. Meskipun di wajah mereka telah terbersit berbagai ekspresi. Siap tidak siap, mereka harus mengiyakan perintah dari ibu Tanti tersebut.
”jadi, untuk teman kita yang satu ini gimana?” tanya ibu Tanti sambil menunjuk ke arah Ramadhan.
”Dhan, ibu bertanya padamu” bisik Edi. Anak itu merupakan teman sebangku dari Ramadhan.
”insyaallah saya juga siap bu” jawab Ramadhan mantap.
”caranya gimana? Kamu bisa nulis?”
”ya, kalau pake braille, bisa bu”
”cara ibu memeriksanya gimana? Ibu kan tidak tau braille!?”
”kalau saya yang bacakan? Gimana bu?”
”oh, itu sama saja dengan lisan. Iya kan?”
”iya sih, bu”
”atau begini sajalah, gimana kalau kamu ibu lisan saja?”
”iya bu. Saya pikir, itu cara yang paling baik”
”oh iya, Dhan. Ibu mau nanya. Boleh?”
Iya, tentu bu.”
”kamu punya kelaebbihan apa?”
”maksud ibu?”
”gini, nak. maaf sebelumnya. Biasanya kan setau ibu, tunanetra itu rata-rata punya kelebihan. Sebelum kamu, ibu juga pernahh mengajar tunanetra sepertimu. Dan mereka semua telah melakukan sesuatu yang sangat spektakuler sehingga membuat nama mereka di kenang”
”seperti apa contohnya yang mereka lakukan bu?”
”bermacam-macam. Ada yang di kenal karena pernahh berceramah di masjid, ada yang karena kemampuannya membaca ayat suci al-qur’an dan ada juga yang jago bermain musik. Jadi kalau kamu sendiri, apa?”
Ramadhan terdiam. Ia juga tidak tau kelebihan apa yang ia miliki. Ia merasa sama sekali tidak mempunyai apa-apa jika dibanding pendahulu-pendahulunya.
”kok diam?”
”maaf bu, saya merasa belum punya kelebihan apa-apa”
”yakin? Tiap-tiap manusia itu punya kelebihan dan kekurangan, nak”
”iya bu. Mungkin hanya saya saja yang belum tau apa kelebihanku”
”ooh, gak apa-pa. Ibu hanya nanya kok”
”iya bu.”
”Tapi ibu boleh kasi saran kan?”
”tentu, bu”
”berbuatlah sesuatu yang luar biasa. Yang dapat meyakinkan semua orang bahwa kamu adalah anak yang luar biasa. Ibu yakin, dalam benakmu pasti timbul pertanyaan. Simpan saja pertanyaan itu. Suatu saat, kamu akan tau sendiri mengapa ibu berkata seperti ini.”
Ramadhan kembali membisu. Memang pada saat itu, ada sebuah pertanyaan yang sangat ingin ia keluarkan. Tapi ibu Tanti terlabih dahulu menahannya. Mungkin ia tak boleh tau apa maksud perkataan itu. Dalam benaknya tertanam lagi satu beban yang harus ia pecahkan.
Hari itu, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar. Perkataan bu Tanti selalu membebani pikirannya, Menghambat sistem kerja otaknya dan menghalangi kecerdasannya untuk menemukan ide-ide cemerlang.
**********
Minggu berikutnya, akhirnya Ramadhan mengikuti ulangan harian yang telah dijanjikan oleh Bu Tanti. Hasilnya cukup membanggakan. Dari lima soal esai yang diberikan, ia berhasil menjawab empat soal dengan benar, dan satu lagi hanya salah setengah. Tiap-tiap soal bobot nilainya dua puluh. Dan hari itu ia mendapatkan nilai sembilan puluh!, sebuah nilai yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai anak kelas x.9 yang lain.
Setelah ulangan itu berakhir, Ibu Tanti memanggil Ramadhan ke ruang guru. Ia berniat menyampaikan sesuatu hal pada anak itu. Bersama sahabatnya, Sri, Ramadhan pun mengikuti Bu Tanti ke luar kelas.
“begini, dhan. senin yang akan datang, kelasmu menjadi pelaksana upacara.” Kata Bu Tanti sesampainya ke ruang guru.
“karena itu, ibu mengharapkan kalau kamu juga ambil bagian dalam pelaksanaan upacara tersebut.” Ramadhan terdiam. Ia bingung mau berkata apa.
“saya yakin, dia bisa, bu,” tiba-tiba Sri menanggapi.
“hmmm. Bagaimana menurutmu, dhan?”
“insyaallah, saya bisa, bu.”
“oke. Kalian ke kelas. Sampaikan pada ketua kelasmu ihwal hari senin.”
“baik bu” jawab Ramadhan dan Sri bersamaan. Kedua anak itu meninggalkan ruang guru, dan langsung menuju kelasnya.
**********
“apa, dhan? Kamu serius?” komentar Kiki, sang ketua kelas ketika mendengar sebuah berita yang baru saja keluar dari bibir Ramadhan.
“iya, Ki. Bu Tanti sendiri yang mengatakannya padaku.”
“astaga, mengapa begitu cepat. Kita kan belum genap tiga bulan di sini. Kita belum cukup mempunyai mental untuk mengemban tugas itu,”
“jadi bagaimana menurutmu, ki?” Kiki terdiam. Ia mencoba berpikir sejenak.
“apa kamu mau mengecewakan Bu Tanti?” tiba-tiba Sri yang sejak dari tadi mendengarkan pembicaraan Ramadhan dan Kiki berkomentar.
“tentu tidaklah!” seru Ramadhan dan Kiki hampir bersamaan.
“kalau begitu, berarti kita harus mengerjakan tugas ini. Kita masih punya sekitar empat hari untuk mempersiapkannya. Bagaimana?”
“sip lah kalau begitu.” Kiki lalu mengambil sesuatu dalam tasnya. Sebuah spidol. Ia lalu beranjak ke depan kelas. Diatas permukaan papan tulis yang berwarna putih, ia menuliskan sesuatu:
“pada semua siswa kelas x.9, diberitahukan bahwa hari senin yang akan datang, kelas kita yang tercinta ini mendapat kehormatan sebagai pelaksana upacara. Jadi diharapkan pada semua penghuni kelas untuk bersiap-siap!”.
“kamu juga bisa kan, Dhan?”. Tanya sang ketua kelas.
“iya. Meskipun aku belum tau apa yang bisa kulakukan dalam upacara nanti, tapi baik lah, aku juga siap”.
Keesokan harinya, kelas x.9 dibuat geger oleh pengumuman yang terpampang di papan tulis. Komentar penghuni kelas itu berpariatif. Ada yang ragu, ada yang tak percaya dan ada yang cuek-cuek saja.
Tak terasa, hari itu pun tiba. Hari yang telah membuat sebagian besar penghuni x.9 berdebar-debar. Hari yang mewajibkan semua penghuni kelas itu untuk datang lebih awal dibanding penghuni kelas lain. Secara kebetulan, Sri, Kiki dan Ramadhan muncul bersamaan di pintu gerbang sekolah. Ketiganya tiba tepat pukul 06.35, atau sekitar setenga jam sebelum upacara itu dimulai.
“apa yang lain sudah datang ya?” Kiki langsung memasang wajah khawatirnya. Ekspresinya langsung berubah ketika satu persatu teman kelasnya mulai berdatangan. Bersama Bu Tanti yang merupakan wali kelasnya, Ia langsung mengkordinir teman-temannya untuk menuju ke lapangan upacara.
Sementara itu, tiga buah lapangan yang ada di sma negeri 6 mulai ramai dipenuhi oleh semua siswa penghuni sekolah. Mereka telah berbaris rapi berdasarkan kelasnya masing-masing.
“gimana, Dhan? Sudah siap?” tiba-tiba Bu Tanti muncul di hadapan Ramadhan dan langsung bertanya.
“iya Bu, Insyaallah.”
Beberapa saat kemudian, upacara itu pun dimulai. Suatu kebangaan yang teramat sangat di dalam hati Bu Tanti. Betapa tidak, semua anak walinya melaksanakan tugas yang diberikan dengan begitu sempurnah. Apa lagi Ramadhan. Anak itu berhasil memukau semua orang yang hadir pada upacara itu. Tanpa diduga-duga oleh semua orang, iya ternyata juga ambil bagian dalam pelaksanaan upacara itu. Iya memang telah berniat untuk melakukan sesuatu yang waw pagi itu. Beberapa hari sebelum upacara itu dilaksanakan, iya telah berusaha untuk dapat menghafal naskah teks pembukaan uud 1945 dengan sempurna. Iya ingin menjadi pembaca undang-undang dalam upacara.
Beban itu pun selesai. Ramadhan berhasil melaksanakan keinginannya dengan baik. Tanpa ia sadari, disekelilingnya banyak wajah-wajah yang menatapnya dengan simpatik. Tanpa ia sadari, banyak decakan kagum yang keluar dari bibir para dewan guru. Dan tanpa ia sadari, berkat aksinya itu, banyak tatapan sinis dan meremehkan terhadap dirinya mulai beranjak pergi. Hal itu menimbulkan paradikma baru dari guru-guru mau pun siswa yang ada di sekolah itu.
Ramadhan sebenarnya tidak mementingkan itu semua. Ia hanya ingin membuktikan bahwa dirinya juga bisa melakukan sesuatu yang bisa dilakukan orang lain. Ia hanya ingin membantah pandangan yang selalu membuatnya terbelakang. Seolah-olah dialah manusia paling malang.
Makassar, 31 oktober 2012
Selasa, 24 September 2013
Selasa, 17 September 2013
HEMPASAN MIMPI YANG NYATA
OLEH:
NUR SYARIF RAMADHAN
Aku tahu, pasti diantara kalian, ada
yang telah mengetahui namaku. Iya kan?
Baiklah, meskipun diantara kalian sudah ada yang mengenalku, tak apalah aku
memperkenalkan diri. Namaku Nur Syarif Ramadhan. Hanya tiga kata. Gampang kan
mengingatnya? Sebagai tanda persahabatan kita, kalian boleh memanggilku Ram.
Ups, ada apa? Ada yang aneh dengan nama Ram?, iya. Aku tahu kok. Pasti diantara
kalian ada yang merasa aneh dengan nama itu. Apalagi jika kalian pernah atau
sedang membaca buku Tere Liye yang berjudul: “NEGERI PARA BEDEBAH”, pasti
kalian akan merasa jengkel, marah, dan benci akan nama tersebut. Tapi sudahlah.
Tak perlu pusing dengan Ram yang ada dalam buku tersebut. Toh, Ram yang itu
hanya fiksi. Ayolah, segeralah lupakan. Mari kalian fokuskan perhatian kalian
kepada sosok Ram yang lain. Ram yang sedang kalian baca tulisannya ini.
Sebelum
kalian membaca lebih lanjut tulisan ini, kalian harus tahu, bahwa sosok yang
mengetik tulisan ini adalah sosok yang sedang berusaha belajar. Belajar apa?
Belajar apa saja yang bisa ddipelajari. Jadi ketika kalian menemukan kesalahan
apapun dalam tulisan ini, harap dimaklumi. Namanya juga baru belajar, kesalahan
sekecil apapun dapat terjadi.
Kalian
mungkin bingung, apa sih maksud dari tulisan ini? Ah, sudahlah. Aku mohon maaf
jika harus memulainya dengan cara tak lazim seperti ini. Harus kujelaskan,
tulisan ini akan berisi sebuah kisah yang mungkin membosankan, menyenangkan,
mengasyikkan, dan bahkan menginspirasi bagi kalian yang membacanya. Aku tak
berani membuat kesimpulan. Entahlah, biar kalian nanti yang menarik benang
merahnya. Lantas, kisah siapakah yang akan kalian baca? Jangan khawatir, aku
ini bukan penggosip yang seenaknya menceritakan aip orang lain. Aku akan menceritakan
kisahku sendiri. Sebuah kisah nyata yang kini telah memberiku pemahaman baru
akan sebuah mimpi. Sebelum aku menceritakannya, kalian harus tahu bahwa aku ini
seorang penyandang disabilitas. Kedua bola mataku tidak bisa bekerja secara
maksimal sejak aku masih bayi. Orang luar sana menyebutnya lowvision. Kenapa?
Kalian heran? Astaga, tenanglah. Jangan bertanya dulu. Sebentar lagi keheranan
dan pertanyaan kalian akan terjawab dalam kisahku ini. Here we go!
*
* *
Seperti
yang kalian ketahui, aku ini seorang penyandang disabilitas. Layaknya
penyandang disabilitas pada umumnya, aku juga banyak mengalami tindakan
diskriminasi. Seperti yang kualami ketika akan masuk keperguruan tinggi. Sebuah
pengalaman yang semoga bisa menginspirasi kalian.
Di kampungku, makassar, ada tiga
buah universitas negeri, yakni: Universitas Hasanuddin (UNHAS), Universitas
Negeri Makassar (UNM), dan universitas Islam Negeri (UIN). Namanya juga
universitas ternama di sulawesi selatan, ketiga kampus ini, menjadi pilihan
utama bagi setiap orang yang ingin melanjutkan pendidikannya.
Begitulah,
kawan. Dengan bermodalkan kepercayaan diri yang tinggi, aku akhirnya mendaftar
juga ke universitas tersebut. Waktu itu, aku memilih UNHAS sebagai pilihan
pertama, dan UNM sebagai pilihan kedua. Tahukah, kawan, ada rahasia tersendiri
dibalik pilihan tersebut. Penasaran? Baiklah. Aku berjanji, suatu saat aku akan
menceritakannya. Tidak sekarang tentunya.
Singkat
kata, aku kemudian akhirnya mengikuti tes tertulis seleksi nasional masuk
perguruan tinggi negeri (snmptn) yang secara serentak, berlangsung selama dua
hari. Hingga akhirnya, pengumuman itu pun datang. Sungguh, pengumuman itu
sangat membuatku khawatir, kawan. Betapa tidak, waktu itu, jumaat, 6 juli 2012,
sekitar pukul 19.00 wita, tiba-tiba saja HP-ku bergetar. Sebuah sms masuk.
“brother,
sudah mako liat pengumuman snmptn?, kalau saya ndak luluska.” Itulah bunyi sms
yang dikirimkan oleh sahabatku: Baharuddin (saat ini kuliah di sekolah tinggi
ekonomi islam yogyakarta). ketika aku selesai membaca sms itu, sedikit rasa
pesimis menyelusup dan mencoba mengusik rasa optimis yang telah setengah mati
kukumpulkan. Sontak, aku langsung memikirkan dua hal. Pertama, bukankah
pengumuman snmptn baru keluar pada besok hari? (tanggal 7 juli 2012). Kedua, jika
Baharuddin benar tidak lulus, bagaimanalah denganku?. Harus kalian ketahui,
kawan, Baharuddin merupakan siswa yang memiliki nilai tertinggi di sekolahku
untuk jurusan IPS. Sedangkan aku, hanya berada di posisi kedua. Bagaimanalah
ini? Aku langsung me-reply sms itu, dan menanyakan apakah pengumuman itu sudah
betul-betul keluar? Ternyata benar, kawan. Pengumuman itu memang sudah ada.
Namun baru bisa di cek pada website resmi snmptn.
Meskipun
pengumuman itu sudah ada, tapi malam itu, aku tak langsung mengeceknya.
Entahlah. Aku belum siap mengetahuinya. Akhirnya kuputuskan untuk melihatnya
keesokan harinya.
Sabtu,
7 juli 2012, sekitar pukul 07.37 pagi, aku dibangunkan oleh Hp-ku yang kembali
bergetaar. Sebuah sms kembali masuk. Kembali dari sahabatku: Ummu Kalsum (saat
ini belajar di BLKI).
“Ram,
sudah kau lihat pengumuman snmptn? Bagaimana hasilnya? Saya sendiri tidak
lulus”. Itulah sms kedua dari sahabatku. Ternyata mereka semua tidak lulus.
Rasa pesimis semakin membesar. aku langsung bergegas menyalahkan laptop. Aku
harus segera melihat pengumuman itu. Dan, seperti yang kalian ketahui, ternyata
nasipku berbeda dengan kedua sahabatku itu. Di website resmi snmptn tertulis
dengan indah: “Nur Syarif Ramadhan, dengan nomor peserta: 212-82-00131, lahir
di Bontolangkasa, 13 maret 1993, anda lulus pada prodi: Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (Universitas Negeri Makassar). Selamat atas kelulusan
anda!!!”.
Pesimis
itu akhirnya berguguran, kawan. Saat itu aku merasa menjadi orang paling
beruntung di dunia. Mungkin menurut kalian itu berlebihan, kawan. Tapi tak
apalah. Memang itulah yang kurasakan saat itu. Namun, ujian sebenarnya baru
akan dimulai. Peristiwa kelulusanku itu telah memberiku pemahaman baru.
Ternyata, nilai ataupun peringkat sewaktu sma, tidak bisa menjadi jaminan lulus
tidaknya seseorang keperguruan tinggi.
Jadi,
bagi kalian yang mungkin semasa sma, tidak memiliki prestasi terlalu bagus di
bidang akademik, jangan resah, kawan. Tetaplah berjuang. Tuhan selalu ada buat hambanya
yang selalu berharap dan berusaha. Kepintaran tidak bisa menjamin keberhasilan
seseorang. Tapi kepintaran bisa menjadi modal berharga yang dapat menuntun
seseorang ke gerbang keberhasilan. Dan pada dasarnya, semua orang itu memiliki
kecerdasan yang sama. Kitalah yang harus mengolah kecerdasan tersebut agar bisa
digunakan.
*
**
Dua
hari kemudian, tepatnya senin, 9 juli 2012, setelah mengurus kelengkapan
berkas, aku langsung menuju ke kampus universitas negeri makassar yang
lokasinya di sekitar jalan AP PETTARANI Makassar. Dari asrama tempat tinggalku,
aku harus dua kali naik angkutan umum (pete-pete) untuk berada di kampus
tersebut. Tentu saja aku berangkat sendiri, kawan. Mobilitasku telah terlatih
untuk melakukannya.
Begitulah,
kawan. Selama ini banyak kalangan yang mengira jika seorang penyandang
disabilitas netra tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain. Tentu
saja itu salah, kawan. Memang sih, dalam hal tertentu, seorang penyandang
disabilitas butuh bantuan orang lain. Namun, masih lebih banyak hal lain yang bisa
dikerjakan oleh seorang penyandang disabilitas secara mandiri tanpa melibatkan
orang lain.
Pagi
itu, dalam perjalanan menuju kampusku, diatas kendaraan umum itu, aku bertemu
dengan seorang ibu yang mungkin keheranan dengan keberanianku untuk bepergian
sendiri tanpa bantuan orang lain. Baiklah, tak ada salahnya kalian ketahui
kejadian itu sebelum kita tiba ke bagian utama cerita ini.
Sekitar
sepuluh menit sebelum aku tiba di tempat tujuan, seorang ibu tiba-tiba
berbicara kepadaku. Ketika itu, tak terlalu banyak penumpang yang berada diatas
angkutan umum tersebut.
“mau
kemana, dek?” aku tertegun sejenak. Dengan sisa-sisa penglihatan yang kumiliki,
aku mencoba memperhatikan orang tersebut. Seorang ibu-ibu muda. Entahlah aku
tak bisa memprediksikan usianya. Aku lalu menyebutkan tempat tujuan.
“kenapa
berangkat sendiri? Apa tidak ada yang bisa menemani?.” aku mengangguk
mengiyakan.
“astaga,
dek, itu berbahaya sekali!.”. aku hanya tersenyum menanggapinya. Senyap
sejenak. Aku tak tahu hendak berkata apa.
“memangnya,
adek mahasiswa?”
“baru
mau jadi mahasiswa. Alhamdulillah, saya lulus di UNM, bu’.”. kali ini aku
berbicara. Berusaha lebih seksama memperhatikan lawan bicaraku. Dua detik
kemudian aku mendengar decakan kagum darinya.
“apakah
adek tidak takut?”
“Takut
apa yaa?”
“begini,
dek, adek kan sekarang sedang bepergian sendiri. Nah, apakah adek tidak takut
tersesat? Apalagi sekarang, kota ini sudah sangat ramai. Tak terbilang lagi
jumlah kendaraan yang berlalu-lalang. jika missalnya suatu hal buruk terjadi,
misalnya ketika adek sedang berjalan sendiri, apakah adek tidak menyadari bahwa
kapan saja, adek bisa terserempet ataupun tertabrak kendaraan?.”. Hatiku
terlonjak mendengar kalimat terakhir. Ada rasa ketersinggungan yang tak
kusadari telah masuk dalam hatiku. Aku terdiam sejenak. Mencoba berpikir, entah
apa yang harus kukatakan pada orang dihadapanku ini. Belum lagi ada kata-kata
yang keluar dari mulutku, ibu itu kembali mengatakan sesuatu yang mengakibatkan
level ketersinggunganku menjadi meningkat.
“dek,
seharusnya kau tidak usah sekolah. Kau sebaiknya tinggal di rumah saja. Buat
apa kau bersusah-susah untuk bersekolah. orang normal saja— yang susah paya
untuk bersekolah, demi untuk mencari pekerjaan, banyak yang jadi pengangguran.
Apalagi orang sepertimu, dek. Saat ini, sebaiknya kau bersantaisaja di rumah.
Toh orang tuamu pasti berkecukupan kan?” aku mencoba mengendalikan perasaanku.
Rasa-rasanya aku sudah ingin meninju orang dihadapanku ini.
“dek,
kalau pun tuhan menakdirkan kau untuk bersekolah, pasti iya akan mengembalikan
penglihatanmu. Tidak justeru membiarkanmu seperti ini.”. Astaga, aku sungguh
tidak menyangkah, kalau orang dihadapanku ini akan mengeluarkan pandangan
ekstrim seperti itu. Naluriku memaksaku untuk membantah. Dengan emosi yang
berusaha kutahan, akhirnya aku berkata.
“maaf,
bu, apakah ibu pernah mendengar seorang disabilitas netra tertabrak kendaraan?”
terdiam. Lima detik berlalu. Tetap tak ada jawaban.
“disabilitas
netra itu seperti saya, bu. Orang yang memiliki keterbatasan pada indera
penglihatannya. Nah sekali lagi, bu, apakah ibu pernah melihat ataupun
mendengar orang seperti saya tertabrak kendaraan?”. satu detik. dua detik. lima
detik. Akhirnya ada jawaban.
“belum,
dek.”
“sekarang,
apakah ibu pernah melihat ataupun mendengar seseorang yang secara fisik
baik-baik saja, tak ada masalah pada matanya, tertabrak kendaraan?”
“sering,
dek.”
“nah,
berarti ibu yang harus berhati-hati.” Akhirnya kata itu terucap juga. Entah
dari mana keberanian itu muncul. Hingga aku berani mengatakan kalimat terakhir itu.
Ibu
itu terdiam. Aku pun demikian. Senyap sejenak. Hanya suara mesin mobel
pete-pete itu yang terdengar. Tiga puluh detik berlalu. Aku masih ingin
berbicara. Jelas sekali, ibu yang sedang menjadi lawan bicaraku ini telah salah
menapsirkan tentang takdir tuhan. Aku hendak meluruskan pemahaman orang ini. Sayangnya,
ketika baru saja aku ingin menggerakkan bibir, mobil itu berhenti. Sopir
pete-pete berseru riang. Entahlah. Mungkin ia tak memperhatikan kejadian yang
baru saja terjadi diatas mobilnya.
“dek,
kau turun di unm kan? Kita sudah di unm sekarang”. suara berat namun riang itu
memberitahu. Aku memang telah memberitahukan tempat tujuanku sebelum naik tadi
pada sopir pete-pete tersebut. Aku mengangguk sejenak. Sesaat kemudian aku
sudah turun.
“terimakasih,
pak, ya…”. Ucapku pada sang sopir sambil memberikan beberapa lembar kertas
berharga. Mesin pete-pete itu meraung sejenak, sebelum berlalu meninggalkanku.
Kalian mungkin penasaran, apakah yang ingin kukatakan pada ibu itu? Aku hanya
ingin memberitahukannya, kalau seorang penyandang disabilitas juga bisa melakukan
sesuatu hal yang kebanyakan orang lakukan. Penyandang disabilitas juga bisa
menempu pendidikan layaknya masyarakat pada umumnya. Aku hanya bisa berdo’a
dalam hati, semoga tuhan memberikan pencerahan kepada ibu tersebut. Sehingga ia
tidak berpandangan buruk lagi kepada penyandang disabilitas, kususnya
disabilitas netra sepertiku.
* * *
Sekarang,
aku berada di keramaian jalan AP PETTARANI makassar. Padat sekali. Tentu saja,
itu sangat menyulitkan bagi seseorang yang ingin menyebrangi jalan tersebut.
Aku mencoba mengenali tempat itu. Ternyata, mata suapku cukup membantu. Aku
saat ini berada di depan gedung Phinisi. Salah satu gedung yang dimiliki oleh
universitas negeri makassar. Harus kalian ketahui, gedung ini memiliki tujuh
belas lantai. Bangunannya menyerupai perahu Phinisi. Jika suatu saat kalian ke
makassar, tak ada salahnya kalian melihat-lihat gedung ini. Sayang sekali, mata
suapku sudah tidak bisa menggambarkan kepada kalian betapa indahnya gedung ini.
“kau
mencariku, Ram?”. Suara lembut itu menyapa. Namanya Hafsah. Seorang volunteer.
Ialah yang akan menemaniku hari itu.
“padat
sekali, ram. Kita harus bergegas. Ada ribuan calon mahasiswa baru yang
agendanya sama dengan kita. Berkasmu sudah lengkap?” aku mengangguk. Tanpa
dikomando, Hafsah langsung menarik tanganku. kami harus membawa berkasku ke
gedung BAAK Unm. Waktu itu, gedung ini letaknya berhadapan langsung dengan
gedung Phinisi. Jadi, kami tak begitu sulit menemukannya.
Setelah
melewati antrian yang begitu melelahkan, akhirnya berkasku pun telah ku
kumpulkan. Seorang ibu berjilbab hijau tersenyum menerimanya. Ibu itu lalu
menyerahkan tiga lembar kertas formulir, beserta sebuah map merah dan sebuah
buku tebal yang merupakan buku panduan dari universitas.
Hafsah
menuntunku menyusuri koridor gedung tersebut. ia membawaku ke sebuah bangku
panjang. Di sana, ia mengisi formulir pemberian ibu tadi. Tentu saja, ia
menuliskannya untukku. Kurang dari sepuluh menit kemudian, kertas-kertas itu
telah terisi. Selanjutnya, aku harus mengikuti tes kesehatan, sebelum kembali
menyerahkan kertas formulir itu.
Hafsah
kembali menuntunku kesebuah ruangan. Cukup besar. Ukurannya sekitar setengah
lapangan sepak bola. Penuh sekali. Ruangan itu telah dibanjiri oleh ratusan
bahkan ribuan calon mahasiswa lain. Mereka juga sedang mengikuti tes kesehatan.
Kesabaranku
betul-betul teruji hari itu. Empat jam aku menunggu. Namun dokter pemeriksa
kesehatan itu belum memanggil namaku. Tubu kecilku mulai kelelahan. Lelah
selama empat jam berdesak-desakan dengan calon mahasiswa lain. Aku mengeluh
dalam hati. Hafsah pergi entah kemana. Tadi, sebelum masuk ruangan, ia dicegah
oleh salah seorang petugas. Entahlah. Aku tak tahu apa yang terjadi.
Lima
belas menit berlalu. Tubu kurusku masih meringkuk. Berusaha menahan panas yang
mulai menggila. Tak ada satupun pendingin ruangan yang ada di tempat itu. Mata
suapku mencoba mencari keberadaan Hafsah. Nihil. Ia sama sekali tidak berada di
ruangan itu.
“Nur
Syarif Ramadhan!.” Akhirnya petugas itu meneriakkan namaku lima menit kemudian.
Dengan ragu-ragu, aku melangkahkan kaki menuju ke sebuah meja. Semoga
perkiraanku benar. Seharusnya Hafsah ada di tempat itu. Aku tak tahu hendak
berkata apa jika dokter pemeriksa itu mengetes penglihatanku. Akupun tak tahu,
apakah meja yang kutuju sudah benar atau tidak.
Syukurlah,
perkiraanku tepat. Aku telah menuju ke meja yang benar. Meja berukuran sedang
itu diapit oleh dua buah bangku kecil. Dokter pemeriksa itu duduk di salah satu
bangku. Aku langsung duduk di bangku yang satunya. Jujur, aku gugup sekali
waktu itu. Apalagi ketika bersitatap dengan dokter itu. Semoga saja ia tidak
mempermasalahkan mataku.
“kau
merokok?”. Dokter pemeriksa itu membuka percakapan dengan bertanya.
“tidak,
pak.” Aku menjawab mantap. Dokter itu terdiam. Ia lalu mengambil selembar
kertas dari atas meja. Menulis sesuatu. Kemudian ia menjangkau sebuah benda
kecil yang langsung di tempelkan ke dadaku. Rasa gugup membuatku tak
memperhatikan benda kecil tersebut.
Sesaat
kemudian, tes kesehatan itu selesai. Aku diberi selembar kertas. Mungkin itulah
hasil tesnya. Aku berdiri dari bangku itu. Sejauh ini tak ada masalah. Aku
sudah melewati tes itu. Aku bergegas. Mengikuti calon mahasiswa lain. menuju
pintu keluar ruangan besar itu. Saat itulah Hafsah muncul.
“dari
mana?” aku langsung memulai pembicaraan. Terdiam. Berpikir sejenak.
“ada
masalah, ram.”
“masalah
apa?” kembali terdiam. Satu detik. Dua detik. Lima detik.
“aku
sudah mengikuti tes kesehatan itu.” Ucapku kemudian, sambil membentangkan
kertas yang kuterima dari dokter itu lebar-lebar.
“ia,
ram. Saya tahu. Tapi, kertas ini masih perlu ditandatangani oleh kepala
policlinik universitas.”
“apa
susahnya? Bukankah kita hanya membutuhkan tandatangannya?” Hafsah menggeleng.
Tak bersuara. Ia langsung menarik tanganku. Kami lalu menuju pintu keluar. Dua
langka lagi dari pintu keluar, kami berhenti. Di situlah aku harus menyerahkan
hasil pemeriksaan itu untuk kemudian ditandatangani. Hafsah mengambil kertas
itu dari tanganku. Ia langsung meletakkannya di atas meja.
“berkas
siapa ini?” kepala policlinik itu rupanya seorang perempuan. Aku tak begitu
jelas melihatnya. Hanya suaranya yang membuatku mengetahuinya. hafsah
menatapku.
“ooh.
Vakultas apa?”
“ilmu
social bu. Prodi ppkn.” Kali ini aku yang menjawabnya. Ibu itu nampaknya lebih
memfokuskan perhatiannya kepadaku. Pandangan kami bertemu. Kali ini aku bisa
lebih jelas memperhatikannya. Ibu itu memakai jilbab ping.
“kau
tunanetra yaa?” terdiam. Hafsah menatapku. Aku mengangguk. Ibu itu langsung menjangkau
berkasku yang sudah terletak di atas meja. Membacanya sejenak. Menatapku
kemudian. Membaca lagi dengan lebih teliti. Lalu kemudian menggeleng.
“maaf,
berkasmu saya tahan dulu. Kau sepertinya tidak bisa berkuliah di vakultas dan
prodi yang kau inginkan.” Ibu itu melipat berkasku, dan langsung memasukkannya
ke dalam sebuah map.
“kenapa,
bu?” tanyaku kemudian.
“bukankah
ibu tinggal menandatangani berkas saya? Saya kan sudah lulus pada tes kesehatan
bu!” aku mencoba berbicara sedikit keras. Ibu itu terdiam. Ia mengambil
selembar kertas berukuran kecil. Ia menuliskan sesuatu. Kemudian menyerahkan
kertas itu pada hafsah.
“itu
nomor telpon saya. Maaf, saya tidak bisa menjelaskannya sekarang. Sebaiknya
kalian datang lagi besok. Kita ketemu di policlinik universitas besok sekitar
jam sembilan. Bagaimana?” aku tak terima. Aku menggeleng.
“maaf.
Saya masih harus melayani ribuan calon mahasiswa lain. Sebaiknya kita bicarakan
masalah ini besok.” Aku bergumam dalam hati. Masalah apa yang dimaksud ibu
itu?, Hafsah menarik tanganku. Kami Keluar dari ruangan itu. Aku tak bisa
berbuat apa-apa. Ruangan itu terlalu sesak, sehingga Aku tak bisa berpikir
cepat.
Hafsah
menuntunku keluar dari ruangan itu. Ia membawaku kesebuah bangku panjang yang
tadi telah kami tempati untuk mengisi formulir. Kami langsung duduk.
“urusan
ini serius, ram. Ibu tadi tidak main-main.” Hafsah langsung membuka
pembicaraan. Aku sebenarnya sudah mencemaskan tes kesehatan itu, kawan. Sudah
ada beberapa kasus penyandang disabilitas di makassar, yang dipersulit pada
bagian itu. Entah apa alasannya. Padahal, dokter sendiri sudah memberikan
penjelasan bahwa disabilitas itu bukanlah sebuah penyakit.
Tapi,
kusus masalah ditahannya berkasku tadi, aku sendiri meyakini kalau aku tidak
ada masalah dengan tes kesehatan. Buktinya, dokter pemeriksa kesehatan itu
tidak mempersulitku. hanya ketua policlinik yang tidak mau menandatangani
berkas hasil pemeriksaan itu. Mungkin saja, aku bermasalah karena aku melulusi
vakultas dan prodi yang selama ini belum pernah menerima mahasiswa istimewah
sepertiku.
Perlu
kalian ketahui, kawan, aku bukanlah satu-satunya penyandang disabilitas netra
yang lulus di universitas negeri makassar pada tahun itu. Ada satu lagi
penyandang disabilitas netra yang juga berhasil lulus di universitas yang sama
denganku. Namanya Irwan. Ia lulus di vakultas ilmu pendidikan, prodi PLB
(pendidikan luar biasa). Aku langsung mengontak Irwan. Dan ternyata, ia tak
memiliki masalah apapun. Berkasnya tak ditahan seperti diriku.
Satu-satunya
prodi di universitas negeri makassar yang paling sering menerima mahasiswa
disabilitas adalah prodi PLB. Sudah tak terhitung lagi penyandang disabilitas
yang menerima gelar sarjana pada prodi tersebut. Aku semakin yakin, jika pihak
universitas sengaja mempersulitku karena aku melulusi prodi yang sama sekali
belum pernah menerima seorang mahasiswa disabilitas netra sepertiku. Itulah
salah satu bentuk diskriminasi yang terjadi di kampungku, kawan, kususnya di
universitas negeri makassar.
Sekitar
pukul dua siang, aku dan Hafsah beranjak meninggalkan gedung itu. Tak ada hal
penting lagi yang harus kuurus di sana. Aku langsung menuju ke asrama tempat
tinggalku. Ditengah perjalanan, aku mengontak salah seorang teman yang saat itu
aktif disebuah organisasi yang bernama: Persatuan Penyandang Disabilitas
Indonesia (PPDI sulawesi selatan). Aku menceritakan kejadian yang kualami hari
itu lengkap dengan analisaku. Aku membutuhkan bantuan dan dukungan dari PPDI
jika nanti pada akhirnya pihak universitas tak membolehkanku untuk berkuliah di
prodi yang telah kululusi. Hasilnya, mereka akan berusaha membantu jika memang
hal itu terjadi.
* * *
Keesokan
harinya, tepatnya pukul sembilan pagi, aku kembali berada di gedung baak
universitas. Hafsah kembali mendahuluiku tiba di tempat tersebut. Selanjutnya
kami harus menuju ke bagian policlinik universitas. Letaknya berada di bagian
belakang gedung baak. Di sana, telah menunggu seorang ibu yang kemarin telah
menahan berkas hasil tes kesehatanku. Hafsah mengatakan Ibu itu bernama ibu
Nusra.
Aku
memasuki sebuah ruangan. Ukurannya tak begitu luas. di dalam ruangan itu,
terdapat beberapa meja dan beberapa sofa model terbaru. Ibu Nusra
mempersilahkan kami duduk. Ternyata, bukan hanya aku yang akan berurusan
dengannya hari itu.
Di
dalam ruangan itu, ada lima calon
mahasiswa lain yang juga mengalami nasip serupa denganku. Dan tahukah, kawan,
mereka juga penyandang disabilitas. Dua diantara mereka mengalami masalah
dengan kakinya, dua orang lagi mengalami kelainan pada tangannya (disabilitas
daksa). Seorang lagi aku tak tahu.
“saya
rasa, semua sudah hadir.” Ibu Nusrah membuka dialog pagi itu. Semua pandangan
tertuju padanya.
“baiklah.
Kita mulai saja. Jadi begini, sebelumnya saya mau Tanya. Apakah kalian
mengetahui, apa permasalahan yang menyebabkan berkas kalian ditahan?” ibu Nusra
bertanya. Lengang. Tak ada yang berani bersuara.
“kami
tidak lulus pada tes kesehatan, bu.” Aku menjawab. Memang, jawaban yang paling
tepat sepertinya hanya itu.
“kau
salah, nak. Kenapa kau berpikiran seperti itu?”
“begini,
bu, saya baru mengalami penahanan berkas ketika melewati tes kesehatan itu, bu.
Jadi saya berpikir, permasalahannya terletak pada tes kesehatan itu.” Ibu Nusra
berdehem pelan. Ia menggeleng.
“sebenarnya
kalian semua sudah lulus pada tes kesehatan itu.”
“lantas,
kenapa berkas kami ditahan?” akhirnya dua orang yang tepat berada di sampingku
memberanikan diri bertanya. Ibu Nusra berdehem lagi. Menyibak tumpukan berkas
yang ada di hadapannya. Mencari sesuatu.
“kalian
semua melulusi prodi kependidikan. Ada aturan internal kampus ini, yang tidak
membolehkan seorang yang memiliki keterbatasan seperti kalian, untuk berkuliah
di prodi yang berhubungan langsung dengan dunia kependidikan.” Ibu Nusra
menjelaskan. Kembali lengang. Hanya suara kertas berserakan yang terdengar.
“jadi
kami harus bagaimana, bu?” seseorang kembali bertanya.
“kalian
harus pindah jika kalian masih ingin berkuliah di sini.”
“maksud
ibu pindah prodi?” kali ini aku yang bersuara.
“iya.”
Jawaban singkat itu membuatku terdiam. Aku berpikir sejenak. Entah apa yang ada
di pikiran kelima orang itu. Moga saja mereka sependapat denganku.
“maaf,
ibu, saya punya teman yang juga lulus tahun ini di kampus ini. Ia lulus di
prodi pendidikan luar biasa. Ia juga seperti saya. Memiliki keterbatasan pada
penglihatannya.”
“oooh,
kalau prodi itu tak ada masalah.” Ibu Nusra memotong penjelasanku.
“bukankah
prodi itu juga prodi kependidikan?”
“iya.
Tapi prodi itu berbeda dengan prodi pendidikan lain. Kalian boleh pindah ke
prodi itu.” Aku menggeleng. Menelan ludah. Mencoba kembali berpikir.
“maaf,
ibu. Saya tidak mau pindah. Saya telah lulus di prodi ppkn, berarti saya juga
harus berkuliah di ppkn. Asal ibu ketahui, saya telah berusaha belajar keras
hanya untuk bisa berkuliah di prodi itu. Saya tidak mau perjuangan itu berakhir
sia-sia.” Aku berkata tegas. Ibu Nusra terdiam. Perlahan menggeleng. Ia
menatapku lamat-lamat.
“tapi
saya bukan penentu kebijakan, nak. Saya juga hanya diperintahkan seperti ini.”
Kali ini suara ibu Nusra terdengar pelan.
“baik,
bu. Kalau begitu, saya ingin bertemu dengan orang yang memerintahkan ibu. Saya
juga ingin mengetahui aturan apa yang melarang seorang penyandang disabilitas
untuk berkuliah di prodi kependidikan.” Aku kembali berbicara. Kali ini suaraku
semakin tegas.
“baiklah.
Nanti saya akan menghubungi para petinggi universitas.”
“saya
butuh kepastian, bu. Bukankah batas pendaftaran ulang mahasiswa baru tersisa
dua hari lagi?”
“iya.
Saya janji. Saya akan melakukannya secepat yang saya bisa. Yang pasti, kalian
sudah sembilan puluh persent bisa berkuliah di sini.” Dialog pagi itu pun usai.
Hafsah langsung menarik tanganku. Kami langsung keluar ruangan. Tak disangka,
setibanya di luar ruangan, kelima calon mahasiswa yang tadi berada di ruangan policlinik itu, mendatangiku. Mereka
ternyata meminta bantuan. Mereka juga tak mau pindah prodi. Mereka juga ingin
tetap berkuliah di prodi yang mereka lulusi. Aku mengangguk. Menyuruh mereka
berdo’a. semoga saja kita tidak di pindahkan. Hanya itu yang bisa kulakukan
saat ini. Mereka mengiayakan. Aku pun meninggalkan kampus itu lima menit
kemudian. Aku kembali ke asrama tempat tinggalku.
Hari
itu juga, sekitar pukul empat sore, hp-ku tiba-tiba bernyanyi. Ada sebuah
panggilan masuk. Aku langsung mengangkatnya.
“assalamu
alaikum.”
“walaikum
salam.” Jawab suara di seberang sana.
“dengan
Nur Syarif Ramadhan?” penelpon itu bertanya.
“iya.
Maaf, ini siapa?”
“saya
Ibu Nusra.” Aku terkejut mendengar nama itu.
“iya,
bu. Ini saya sendiri, bu.” Kataku kemudian dengan intonasi lebih serius.
“jadi
begini, nak. Saya sudah berbicara dengan pimpinan universitas. Kau diberikan
kesempatan untuk berkuliah di prodi ppkn.” Mendengar kabar itu, rasa bahagia
langsung menyelimutiku. Aku sontak bersyukur dalam hati. Pembicaraan telepon
itu telah terhenti. Tak lupa aku menanyakan kabar kelima calon mahasiswa lain
itu pada Ibu Nusra. Alhamdulillah, mereka juga mendapatkan kesempatan yang sama
denganku. Mereka juga bisa berkuliah pada prodi yang mereka lulusi.
*
* *
Demikianlah
kisah perjuanganku waktu itu, kawan. Saat ini aku sudah memasukki semester tiga
pada prodi ppkn universitas negeri makassar. Dan sebagian besar mimpiku itu
telah tercapai. Mimpi untuk bisa berkuliah layaknya orang lain. Aku sudah
setenga perjalanan menuju cita-cita terbesar itu. Hempasan mimpi itu telah
membawaku menapakki jalan yang benar. Jalan yang akan membawaku ke gerbang
keberhasilan nantinya.
Aku
bukanlah orang bijak, kawan. Tapi aku akan memberi kalian beberapa kalimat penutup
yang semoga bisa membangkitkan semangat kalian untuk selalu berada pada koridor
keberhasilan.
Sungguh,
sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu, suhu dan tekanan yang
tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi
tekanan yang diperolehnya, maka jika dia bisa bertahan, tidak hancur, dia
justeru berubah menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal
harganya. Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita
alami, semakin dalam dan menyedihkan rasannya, jika kita bisa bertahan, tidak
hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan.
Keras. Kokoh.
Untuk
membuat sebilah pedang terbaik, pandai besi harus memanaskannya di tungku
dengan suhu memerihkan wajah, menghantamnya berkali-kali, menempanya
berulang-ulang, dan itu pekerjaan panjang penuh kesabaran serta ketekunan. Sekali
prosesnya selesai, beres, maka sepotong besi biasa, tumpul, jelek telah berubah
menjadi sebuah pedang tajam, gagah, dan bisa menebas apapun. Indah sekali.
Begitulah kehidupan ini. para pembelajar kehidupan terbaik, harus ditempa berkali-kali,
melewati situasi yang berat, jatuh bangun, hamper berputus asa, hingga akhirnya
berubah menjadi seseorang yang 'tajam' dan bisa menebas ujian kehidupan
manapun.
Langganan:
Postingan (Atom)