Kamis, 19 Juni 2014

CERITA DARI KOTA TISHRI (REVIEW NOVEL BUMI)




Judul Buku:       Bumi
Penulis: Tere Liye
Penerbit:           Gramedia Pustaka Utama
Harga:              55.000. http://www.bukukita.com/?mId=227542

Tebal Buku:      438 Halaman
Tahun Terbit:    2014

            Sebenarnya, aku sudah pernah membaca sedikit potongan cerita ini beberapa waktu yang lalu. Tepatnya ketika aku baru saja bergabung dengan page Bang Darwis Tere Liye. Kira-kira sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, Bang Darwis perna memposting cerita ini di page-nya tersebut. Sayangnya, ceritanya terhenti di episode 20, dan ternyata penulisnya menerbitkan cerita versi lengkapnya di tahun ini.
            Sejak membaca novel Bidadari-bidadari Surga, aku sudah merasa cocok dengan gaya menulis Tere Liye. Menurutku, beliau sangat pandai meramu kata yang kemudian menjadi kalimat-kalimat yang enak dibaca. Pun disetiap novelnya, Tere Liye selalu berusaha menyelipkan sepotong cerita ataupun kalimat-kalimat yang begitu menggugah serta menginspirasi. Itulah nilai lebih yang kutemukan dari novel-novel Tere Liye yang sangat jarang kutemukan di novel lain.
            Kali ini, Tere Liye muncul dengan gaya baru. Berbeda dengan novel-novelnya yang lain, Bumi mmerupakan sebuah novel Fantasi remaja yang menyajikan cerita yang cukup unik serta menegangkan. Ketika membaca novel ini, kita akan banyak menemukan hal-hal yang mungkin tidak sejalan dengan logika kita dan mungkin tidak akan pernah masuk akal. Tapi, Tere Liye begitu lihai menggiring pembaca untuk terus membaca bukunya. Beliau begitu hebat dalam menumbuhkan rasa ingin tahu pembaca sehingga ketika kita mulai membaca novel ini, rasanya kita sulit melepaskannya sebelum tuntas membacanya. Saya sendiri, membutuhkan dua hari lebih untuk menuntaskan novel ini.
***
            Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga. Ada banyak sekali jawaban dari tempat-tempat yang hilang."
Adalah Raib, Karakter aku ataupun sang orator dalam novel ini. Usianya 15 tahun dan sedang duduk di kelas x SMA. Bersama dua orang temannya, yakni Ali dan Seli, mereka adalah karakter yang mendominasi novel ini. Melalui sebuah peristiwa yang terjadi di sekolah mereka, mereka akhirnya harus berurusan dengan sebuah masalah yang tak terbayangkan. Raib dan Seli adalah dua anak yang memiliki kekuatan. Keduanya memiliki kemampuan yang juga tak mereka ketahui asal-usulnya. Meski demikian, kedua anak itu berusaha keras untuk menutup-nutupi kemampuan tersebut. Hingga akhirnya usia keduanya  menginjak 15 tahun, tak ada seorang pun selain mereka sendiri yang mengetahui akan hal itu. Tetapi, Ali, anak yang terkenal sebagai biang kerok namun berotak jenius di sekolah, merasa ada yang aneh pada sosok Raib yang kemudian menumbuhkan rasa ingin tahunya. Dengan otak jeniusnya, Ali menciptakan peralatan rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai kehidupan Raib.
Lewat kecerdasannya itulah, Ali akhirnya mengetahui kekuatan yang ditutup-tutupi oleh Raib. Si biang kerok yang jenius itu tahu bahwa Raib bisa menghilang. Tetapi, Raib tidak mau mengakuinya setiap Ali bertanya akan hal itu.

---block quote---
Aku melirik dengan ujung mata, biang masalah itu ternyata ikut duduk, tiga langkah dariku.
“Kau bisa menghilang, ya?” Ali berbisik, berusaha tidak membuat keributan baru, matanya berbinar oleh rasa ingin tahu.
Aku mengabaikan Ali, kembali menatap hujan.
“Ini hebat, Ra. Dari dulu aku selalu yakin ada orang yang bisa melakukan itu. Tidak hanya di film-film.” Ali bahkan tidak merasa perlu menunggu jawabanku,
mengangguk-angguk.
“Kau gila.” Aku kembali menoleh, melotot, balas berbisik.
“Apanya yang gila?”
“Tidak ada yang bisa menghilang.”
“Banyak yang bisa menghilang, Ra. Banyak yang tidak terlihat oleh mata, tapi sebenarnya ada.” Ali mengangkat bahu.
“Tidak ada yang tidak terlihat oleh mata.” Aku bersikukuh, mulai sebal, “Kecuali yang kau maksudkan hantu-hantu, cerita-cerita seram itu.”
“Kata siapa tidak ada?” Ali nyengir, “Dan jelas maksudku bukan hantu-hantu itu. Coba, lihat,” Tangan si biang masalah itu menggapai ke depan, “Setiap hari,
setiap detik, kita selalu hidup dengan sesuatu yang tidak terlihat oleh mata. Udara. Kau bernafas dengannya, tanpa pernah berpikir seperti apa wujud asli
udara, bukan? Apa udara seperti kabut? Seperti uap? Apa itu oksigen? Bentuknya seperti apa? Kotak? Lonjong?”
Aku mengeluh pelan, semua orang juga tahu, si biang masalah ini adalah pendebat yang baik.
“Bahkan, kau tidak perlu jadi setipis udara untuk tidak terlihat, Ra.” Ali menatapku antusias, merapikan rambut berantakan yang mengenai ujung mata, “Jika
kau terlalu kecil, atau sebaliknya terlalu besar dari yang melihat, maka kau bisa menghilang dalam definisi yang berbeda. Semut, misalnya, kau coba saja
lihat semut yang ada di lapangan sekolah dari lantai dua ini, dia menghilang karena terlalu kecil untuk dilihat. Sebaliknya, bumi, misalnya, karena bola
bumi terlalu besar, tidak ada yang bisa melihatnya benar-benar mengambang mengitari matahari. Kita hanya tahu saja dia mengambang, dari gambar, televisi,
tapi tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri, bukan? Tidak terlihat dalam definisi lain.”
“Sok tahu.” Aku berbisik ketus.
Ali hanya tertawa pelan, tidak tersinggung seperti biasanya—tepatnya tidak tertarik bertengkar seperti biasanya, “Aku tahu sekali, Ra. Internet. Aku membaca
lebih banyak dibanding siapapun di sekolah ini. Termasuk Miss Keriting dengan semua PR menyebalkannya. Pelajaran matematika penting katanya, puh, itu mudah
saja, aku bahkan bisa mengerjakan PR yang dia berikan waktu masih SD. Kau sungguhan bisa menghilang ya, Ra?”
Aku hampir berseru jengkel bilang tidak, tapi itu bisa memancing Miss Keriting keluar, segera menurunkan volume suara, menjawab datar, “T-i-d-a-k.”
“Kau justeru sedang menjawab sebaliknya, Ra. Iya, kau bisa menghilang.” Ali mengepalkan tangannya, bersorak dengan gesture badan, “Terima kasih, Ra. Itu
berarti aku tidak seaneh yang sering orang tuaku katakan.”
Aku menghembuskan nafas sebal, apanya yang kujawab iya, sialan, kembali menatap hujan, memutuskan menyerah menanggapi rasa ingin tahu Ali. Aku sepertinya
telah keliru, bukan hanya dua jam pagi ini saja akan menghabiskan waktu bersama si biang masalah ini, bahkan boleh jadi seharian, besok-besoknya lagi,
dia akan terus tertarik mengikutiku, memastikan.
---block quote end---
lewat sebuah kejadian yang menggemparkan di sekolah, akhirnya Ali mengetahui segala kemampuan yang dimiliki Raib. Tidak hanya itu, ia juga mengetahui bahwa Seli, teman sebangku Raib, juga ternyata memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Lewat kejadian itu, semua rahasia itu akhirnya terbongkar. Tak hanya itu, peristiwa menggemparkan yang siang itu terjadi di sekolah mereka juga akan membawa ketiga anak kelas x itu memasukki dunia baru. Dunia yang berbeda dengan bumi kita. Disinilah persahabatan antar ketiga anak itu mulai terbina. Kelak, petualangan di dunia baru itu akan menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang Raib serta asal-usul kemampuan yang ia miliki.

---block quote---
Terdengar suara gelembung air meletus. Sekarang terdengar lebih kencang dari biasanya.
Tidak ada yang hilang. Aku menatap sekitar, memeriksa. Juga tidak ada yang datang. Itu tadi pertanda suara apa? Tetapi tiba-tiba  aku berseru tertahan. Astaga! Lihatlah. Semua di sekitar kami telah berubah. Ini bukan kamarku, bahkan ini entah ruangan  apa. Tempat tidurnya menggantung di dinding. Lampunya berbentuk aneh sekali, menyala terang. Meja, kursi, semuanya berbentuk aneh. Lemari, kalau itu bisa disebut lemari, terbenam di dinding. Seprai dan bantal dipenuhi gambar yang ganjil. Semua terlihat berbeda.
---block quote end---

---block quote ---
"Kita tidak ke mana-mana, Seli. Aku yakin sekali. Ini tetap kota kita, hanya entah kenapa seluruh rumah, bangunan, gedung tinggi di kota kita berganti dengan hutan dan balon-balon beton raksasa. Bahkan saat ini, kemungkinan kita sedang berada di salah satu ruangan rumah Ra. Entah di ruang tengah atau ruang tamu."
"Tapi... tapi bagaimana dengan..." Seli menunjuk sekeliling kami.
"Itulah yang membuat semua ini menarik." Ali bersedekap, bergaya seperti profesor fisika terkemuka. "Kita berada di tempat yang sama, tapi dengan sekeliling yang amat berbeda. Bahkan orang-orang yang berbeda."
"Kamu sebenarnya hendak bilang apa sih?" Aku akhirnya bertanya, tidak sabaran. Tidak bisakah dia menjelaskan lebih detail? Dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti.

Ali mengangguk. Dia meloncat turun dari sofa melayang, mengeluarkan  buku tulis dari ransel yang selalu dia bawa ke manamana,  mengambil bolpoin.
"Kalian perhatikan." Ali membuka sembarang halaman kosong.  Dia mulai menggambar.
Aku dan Seli tahu apa yang sedang dia gambar, sebuah lapangan  futsal. Lantas, Ali menggambar lagi sebuah lapangan bulu tangkis di atas lapangan futsal tersebut, juga lapangan basket. Terakhir sebuah lapangan voli. Empat lapangan itu bertumpuk di atas kertas. Ali menggambar bingkai di sekeliling kertas.
"Ini persis seperti aula sekolah kita, bukan? Ada empat lapangan olahraga di atas lantainya." Ali menatapku dan Seli bergantian.
Aku dan Seli mengangguk.
"Nah, aku hanya menduga, bisa jadi keliru, tapi kemungkinan besar tepat, inilah yang sedang terjadi di sekitar kita. Dunia ini tidak sesederhana seperti yang dilihat banyak orang. Aku percaya  sejak dulu, bahkan membaca lebih banyak buku dibanding siapa pun karena penasaran, ingin tahu. Bumi kita memiliki kehidupan yang rumit. Dan hari ini aku menyaksikan sendiri, ada sisi lain dari kehidupan selain yang biasa kita lihat sehari-hari.  Dunia lain.
"Kalian perhatikan aula sekolah kita. Ada empat lapangan olahraga di atasnya, bukan? Jika kita ingin bermain futsal, pasang tiang gawangnya. Jika kita ingin bermain basket, tarik tiang basketnya. Maka di Bumi, bisa jadi demikian, ada beberapa kehidupan yang berjalan di atasnya. Berjalan serempak di atasnya."

"Tapi kita tidak bisa bermain voli, basket, badminton, dan futsal serempak di aula, Ali." Seli menggeleng. "Akan kacau balau, pemain bertabrakan, bolanya lari ke mana-mana."
"Itu benar." Ali mengangguk. "Tapi bukan berarti tidak mungkin.  Bumi jelas lebih besar dibanding aula sekolah. Saat kapasitasnya  besar, Bumi bisa berjalan tanpa saling ganggu. Persis seperti sebuah komputer yang membuka empat atau lebih program. Bukankah kita bisa menjalankannya bersamaan? Membuka internet, membuka dokumen, membuka pemutar musik, dan mengedit foto sekaligus? Ada banyak program yang berjalan serentak tanpa saling ganggu. Kecuali jika komputernya terbatas, bisa hang atau error.
"Aku yakin sekali, beberapa sisi kehidupan di Bumi bisa berjalan serentak tanpa saling ganggu, berantakan, dan bolanya lari ke mana-mana. Setidaknya aku sudah menyaksikan dua sisi. Sisi pertama, kehidupan di Bumi seperti yang kita jalani selama ini. Sisi kedua, kota aneh ini, bangunan aneh ini, dan semua benda yang aneh di sekitar kita. Dua sisi itu berada di satu Bumi, berjalan tanpa saling memotong."
"Kalau hal itu memang ada, kenapa selama ini tidak ada orang yang mengetahui bahwa ada dunia lain tersebut di Bumi?" Seli bertanya lagi.
"Yang pertama karena dua dunia itu terpisah sempurna. Yang kedua, karena kita terbiasa dengan kehidupan sendiri. Jika seseorang  sibuk bermain futsal di aula sekolah, lantas yang lain sibuk bermain basket, mereka hanya sibuk dengan permainan masing-masing, tanpa menyadari ada dua permainan berjalan serentak. Nah, kalaupun ada yang tahu, mereka hanya bisa men duga, bilang mungkin ada alam gaib atau dunia lain di luar sana. Tapi mereka tidak pernah mampu menjelaskannya." Ali menjelaskan  dengan intonasi yakin.
"Kalau begitu, ada berapa sisi kehidupan yang berjalan serempak di Bumi?" aku akhirnya membuka mulut. Sebenarnya penjelasan Ali sama sekali tidak masuk akal. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana membantahnya. Aku memutuskan bertanya.
"Tidak tahu. Yang pasti, sosok tinggi kurus di aula tadi menyebutku  'Makhluk Tanah orang-orang lemah. Itu satu. Dia pasti merujuk penduduk Bumi saat ini. Dia juga menyebut Seli dengan sebutan Klan Matahari yang berjalan di atas tanah. Itu dua. Terakhir tentu saja dunia yang kita lihat sekarang. Aku tidak tahu namanya, kita sebut saja Klan Bulan, karena di mana-mana  ada Bulan termasuk bangunan balon ini. Itu berarti tiga. Mungkin masih ada lagi dunia lain yang berjalan serentak, tapi aku tidak tahu.
"Kalian tahu, ini keren. Bahkan Einstein tidak pernah bisa membayangkan ada dunia paralel di sekitarnya. Dia hanya bisa menjelaskan bahwa waktu bersifat relatif. Einstein mungkin saja benar, imajinasi adalah segalanya, lebih penting dibanding ilmu pengetahuan. Tetapi menyaksikan sendiri semua ini, mengetahui pengetahuan tersebut, lebih dari segalanya." Ali nyengir.

"Fisikawan, astronom, ahli matematika terkemuka Galileo Galilei hanya bisa membuktikan teori Heliosentris Copernicus. Entah bagaimana reaksinya jika mendengar ada dunia lain berjalan serempak di atas Bumi. Kemungkinan dia akan seperti pendukung teori Geosentris, kaum fanatik tidak berpengetahuan, tidak percaya."

---block quote end---

                Ringkasan cerita yang aku tuliskan di atas sebenarnya tidak terlalu mengungkapkan banyak hal, bahkan mungkin bisa dikatakan itu hanya sebatas pembukanya. Cerita ini jauh lebih kompleks, dan lebih banyak kejadian menegangkan yang terjadi di dalamnya. Oleh karena itu tentu saja aku tidak menceritakan semuanya, agar yang belum membaca dapat menikmatinya sendiri.
                Jalannya alur novel bumi ini tidak begitu sulit. Mungkin, di novel Tere Liye yang lain, teman-teman sering menemukan alur cerita yang maju mundur, tetapi untuk novel ini tidak demikian. Alur cerita dalam novel ini berjalan teratur dan tidak terlalu membingungkan. Bagi teman-teman yang menyukai novel remaja maupun novel fantasi, novel ini sangat cocok untuk anda baca. Ceritanya cukup menarik, seru dan menegangkan. Jika teman-teman pernah membaca “Narnia”, “Hary Potter”, novel ini tak kala seru dengan kedua novel tersebut. Semoga saja, bang Tere akan segera menerbitkan buku lanjutannya (BULAN). Bagi yang sedang dan ingin membaca buku ini, kuucapkan selamat membaca dan berpetualang!!!


(Kutulis di Bonto Langkasa, 17-19 juni 2014)

Sabtu, 18 Januari 2014

CATATAN AKHIR SMA

Oleh: Nur Syarif Ramadhan


    Pagi itu, Makassar diguyur hujan yang teramat deras. Dengan kondisi yang cukup basah, akhirnya aku bisa juga sampai di SMA negeri 6. sebuah sekolah menenga atas di Makassar yang tak punya apa-apa selain 44 pohon mangga, 27 ruang kelas, 6 lab, sebuah masjid, dan beberapa hal lain yang tak terlalu penting untuk disebut. Mungkin, menurut sebagian besar pendapat, sekolahku ini tidak terlalu istimewa. Meski demikian, sekolah ini telah mengistimewakan diriku selama kurang lebih tiga tahun.
    Ya, tak terasa sudah tiga tahun aku bersekolah di SMA ini. Beberapa hari-hari indah dan peristiwa-peristiwa menarik telah menjadi kenangan manis yang tak mungkin terlupakan. Ia akan menjadi awal lukisan sejarah dari seorang anak katarak yang punya impian luarbiasa.
    Memang, tak pernah ku duga sebelumnya. Jika aku yang sejak bayi terkena katarak, bisa melangkah sejauh ini dalam menempuh masa-masa pendidikan. Mungkin saja, ada beberapa orang seperti aku yang masih meratapi nasipnya. Hidupnya terasa kelam. Tak memiliki cahaya dalam gulita seperti diriku.
    Aku yang kini berada di dalam kelas xii ips 3 sedang mencoba merenungi beberapa kenangan indah yang telah terlewati. Diawali dari perkataan seorang guru yang pernahh mengatahiku salah alamat dalam bersekolah, ada juga yang pernahh menertawakanku ketika tersandung net di lapangan bolafoli, sampai ketika aku berjuang untuk mendapat nilai standar dalam pelajaran matematika. Semua peristiwa itu disebabkan oleh mata katarakku.
    Namun semua itu tak akan menghentikan impianku untuk sukses seperti yang lain. Dan dengan keterbatasan inilah, aku berjanji, bahwa aku akan merubah semua impianku menjadi nyata.
    “kamu basah, Rif?” sebuah pertanyaan yang tiba-tiba menghentikan lamunanku.
    “iya, wan. Hujan begitu deras pagi Ini. Kamu sendiri bagaimana?” aku balik bertanya.
    “yah, hanya sedikit kawan. Yang basah hanyalah celanaku bagian betis. Karena mantel yang ku pake tidak mampu menutupi bagian itu.”
    Anak itu bernama Ridwan. Ia merupakan salah seorang sahabat terdekat yang kumiliki di sma negeri 6. ialah yang selama ini banyak membantuku dalam segala hal. baik di dalam kelas, maupun di luar kelas. Ia bagaikan pahlawan bagiku. Ketika ada siswa lain yang mencoba meremehkanku, ia akan selalu ada untuk membelaku.
    Namun, disetiap pertemuan, pasti akan ada yang namanya perpisahan. Itulah sepertinya yang akan terjadi hari ini. Setelah dua hari yang lalu kami semua siswa kelas tiga, telah difonis lulus oleh dinas pendidikan, maka kami semua telah sepakat untuk mengadakan pesta perpisahan hari ini. Sungguh berat rasanya mengakhiri kebersamaan yang selama ini telah kami bangun. Namun, suka tidak suka, mau tidak mau, senang tidak senang, rela tidak rela, iklas tidak iklas, hal itu harus jua terjadi.
    Kelas xii ips 3 sudah mulai ramai. Satu persatu teman kelasku sudah mulai berdatangan. Sepertinya tak ada seorang pun yang ingin melewatkan momen pada hari ini. Bahkan teman-temanku yang selama ini paling malas ke sekolah, ternyata hari ini mereka semua hadir.
    Setelah semua penghuni kelas dianggap sudah hadir, Pak Saldi, wali kelasku, berdiri di depan kelas. Dengan tenangnya, ia memberikan kata-kata penyemangat sebagai motifasi tambahan bagi kami sebelum meninggalkan sekolah.
    Setelah itu, kami para siswa di persilahkan untuk berbicara satu persatu menyampaikan unek-unek selama berada di sma 6. saat inilah yang paling mengharukan bagiku. Segala kenangan lama kembali terasa. Seolah-olah baru kemarin aku mengalaminya.
    Akhirnya, semua siswa telah menyampaikan unek-uneknya. Agar terasa lebih lengkap, kami berencana untuk mengunjungi sebuah tempat rekreasi yang ada di sulawesi selatan. Bantimurung menjadi tujuan kami selanjutnya. Namun tak ada yang lebih mengesankan selain kelas kami. Aku sendiri meyakini bahwa kelas ini akan menjadi awal lahirnya generasi muda yang sukses!.

Makassar, 5 juli 2012

Jurnal hatiku

Jurnal hatiku
Oleh: Nur Syarif Ramadhan
Wahai kasih hatiku
Debetlah cintaku di neraca hatimu
Kan kujurnal setiap transaksi rindumu
Hingga setebal laporan keuanganku
Wahai kasih hatiku
Jadikan aku menejer investasi cintamu
Kan kuposting kasih dan sayangmu
Di setiap lembaran portofolio hatiku
Bila masa jatu tempo telah tiba
Jangan kau retur kenangan indah kita

Rabu, 27 November 2013

Kenangan Di Auditorium Prof Mattulada Unhas

Oleh: Nur Syarif Ramadhan

    Hellow teman-teman para blogger. Ketemu lagi dengan aku, Ram. Aku yakin, sebahagian besar dari teman-teman telah mengenal aku. Jadi tak usahlah aku melakukan hal yang sudah-sudah. Baiklah. Kali ini aku ingin berbagi pengalaman dengan para sahabat yang telah bersedia membaca tulisan ini. Here we go!
        *    *    *
    Sekitar dua minggu yang lalu, tepatnya 25 september 2013, aku mendapat informasi dari sebuah Page penulis ternama (Darwis Tere Liye). Bang Darwis menulis dalam Page-nya tersebut, bahwa iya akan mengisi sebuah acara bedah buku Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk ( dua buku tersebut merupakan karya beliau sendiri), di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
    Mengetahui informasi tersebut, aku pun meniatkan dalam hati untuk menghadiri acara tersebut. Maklumlah, sejak pertama kali membaca novel Bang Tere, aku telah kepincut dengan gaya menulis beliau. Aku kemudian berusaha mencari-cari info yang berkaitan dengan acara tersebut. Hingga akhirnya aku memperoleh contak person dari seorang mahasiswa, dan seorang lagi mahasiswi Unhas yang merupakan panitia pelaksana acara bedah buku tersebut. Aku langsung memesan tiket pada mereka. Meskipun sebuah masalah kecil terjadi, di mana aku tidak kebagian tiket, Namun, berkat bantuan dari seseorang kawan, aku pun tetap bisa mengikuti acara bedah buku tersebut.
    Akhirnya, hari itupun tiba. Tepatnya Selasa, 08 Oktober 2013, aku pun memberanikan diri menuju kampus Unhas. Sebuah kampus besar yang telah berulang-kali membuatku tersesat. Acara bedah buku itu sendiri akan dimulai sekitar pukul 10.00 pagi. Tapi ketahuilah, kawan, aku telah berada di area kampus tersebut sekitar pukul 08.00 pagi. Kenapa? aku sengaja datang lebih awal karena aku belum mengetahui lokasi acara tersebut akan dilangsungkan. Panitia hanya menyampaikan bahwa acara bedah buku itu akan dilaksanakan di auditorium Prof Mattulada Unhas. sayangnya, mereka tidak menyampaikan lokasi tempatnya di mana. Pokoknya di Unhas! Astaga, harus teman-teman ketahui, Unhas itu luas sekali! Teman-teman bisa tersesat jika tidak berhati-hati. Bukankah telah kusampaikan sebelumnya, aku telah berulang-kali tersesat di kampus itu.
    Menurut informasi dari teman yang merupakan mahasiswa unhas, auditorium Prof Mattulada terletak di Fakultas Sastra Unhas. Sedangkan Fakultas Sastra Unhas Terletak Di bagian belakang Gedung Rektorat Unhas. Karena tidak ada Pete-pete yang langsung menuju ke kedua area tersebut (menurut sepengatahuanku), aku pun turun di sebuah bundaran yang letaknya  tak begitu jauh dari sebuah lapangan basket.
    Bagi seorang penyandang disabilitas netra sepertiku, area kampus Unhas sangat sulit untuk diakses. Sekali dua aku hamper terjatuh diakibatkan kerena kondisi jalan yang harus kulalui. Ada banyak sekali tanjakan maupun turunan yang sudah tidak dapat lagi kuakses jika mengandalkan mata suapku. Aku hamper menyerah ketika tiba-tiba sebelah kakiku terjerembab kesebuah got kecil. Waktu itu sudah sekitar pukul 09.15. sudah hamper satu jam usahaku tak berbuah hasil. Rasa lelah mulai menyapa. Hingga akhirnya aku sadar, aku telah mengorbankan beberapa hal untuk mengikuti acara itu. Bahkan aku rela meninggalkan dua mata kuliah favoritku: Hukum Tata Negara dan Hukum Perburuhan demi mengikuti acara itu.
    Aku kembali berusaha mengusir kelelahan. Aku kemudian teringat sebuah quote (kutipan) dari Bang Tere yang seketika membuat semangatku kembali memuncak.
    “Sungguh, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu, suhu dan tekanan yang tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya, maka jika dia bisa bertahan, tidak hancur, dia justeru berubah menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal harganya. Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita alami, semakin dalam dan menyedihkan rasannya, jika kita bisa bertahan, tidak hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan. Keras. Kokoh. (dikutip dari buku Negeri Di Ujung Tanduk)
Untuk membuat sebilah pedang terbaik, pandai besi harus memanaskannya di tungku dengan suhu memerihkan wajah, menghantamnya berkali-kali, menempanya berulang-ulang, dan itu pekerjaan panjang penuh kesabaran serta ketekunan. Sekali prosesnya selesai, beres, maka sepotong besi biasa, tumpul, jelek telah berubah menjadi sebuah pedang tajam, gagah, dan bisa menebas apapun. Indah sekali. Begitulah kehidupan ini. para pembelajar kehidupan terbaik, harus ditempa berkali-kali, melewati situasi yang berat, jatuh bangun, hamper berputus asa, hingga akhirnya berubah menjadi seseorang yang 'tajam' dan bisa menebas ujian kehidupan manapun.
Setelah bertanya beberapa kali, akhirnya aku berhasil menemukan Auditorium tersebut. Aku kemudian masuk setelah sebelumnya melakukan registrasi di bagian depan ruangan. Aku duduk di kursi baris kedua dari depan. Aku sengaja memilih tempat tersebut agar mata suapku bisa lebih muda melihat Bang Tere. Ini merupakan pertemuan keduaku dengan beliau. Sekitar 4 bulan yang lalu, beliau sempat ke makassar. Waktu itu beliau mengisi workshop kepenulisan di Baruga Ap Peterani Unhas. Waktu itu aku tak sempat memperhatikan dengan jelas sosok Bang Tere karena aku duduk dibagian belakang gedung.
Setelah dibuka dengan beberapa acara serimonial, acara bedah buku itupun dimulai dengan memperkenalkan biografi dari Bang Darwis Tere Liye.
Nama “Tere Liye” merupakan nama pena seorang penulis berbakat tanah air. Tere Liye sendiri di ambil dari bahasa India dan memiliki arti untukmu. Meskipun Tere Liye bisa di anggap salah satu penulis yang telah banyak menelurkan karya-karya best seller. Tapi kalau para pembacanya mencari tentang biodata atau biografi Tere Liye, kita akan menemukan sedikit bahkan hampir tidak ada informasi mengenai kehidupannya serta keluarganya. Atau teman-teman juga bisa mencoba sendiri dengan mengecek karya Tere Liye dan lihat di bagian belakang “tentang penulis’ di novelnya, maka aku bisa menjamin, tidak ada yang bisa teman-teman temukan informasi mengenai tere liye.
Berbeda dari penulis-penulis yang lain, Tere Liye memang sepertinya tidak ingin di publikasikan ke umum terkait kehidupan pribadinya. Mungkin memang begitu cara yang ia pilih untuk di kenal serta ia hanya ingin memberikan karya-karya terbaik dengan tulus dan sederhana. Namun, dalam tulisan ini, aku akan mencoba memaparkan sedikit tentang biografi dari Bang Tere liye sesuai dari apa yang aku dapatkan di dalam acara bedah buku tersebut, ditambah dengan yang kuketahui.
Tere Liye lahir dan tumbuh dewasa di pedalaman Sumatera. Ia lahir pada tanggal 21 mei 1979. Tere Liye menikah dengan Riski Amelia dan telah dikaruniai seorang putra bernama Abdullah Pasai. Seperti yang telah aku sebutkan sebelumnya, Tere Liye tumbuh di Sumatera Pedalaman. Ia berasal dari keluarga sederhana yang orang tuanya berprofesi sebagai petani biasa.
Anak ke enam dari tujuh bersaudara ini sampai saat ini telah menghasilkan 16 karya. Bahkan beberapa di antaranya telah di angkat ke layar lebar.
Tere Liye menyelesaikan masa pendidikan dasar sampai SMP di SDN2 dan SMN 2 Kikim Timur, Sumatera Selatan. Kemudian melanjutkan ke SMUN 9 bandar lampung. Setelah selesai di Bandar lampung, ia meneruskan ke Universitas Indonesia dengan mengambil fakultas Ekonomi.
Berikut beberapa karya dari Bang Tere:
1.    NEGERI DI UJUNG TANDUK
2.    SEPOTONG HATI YANG BARU
3.    NEGERI PARA BEDEBAH
4.    BERJUTA RASANYA,
5.    KAU, AKU & SEPUCUK ANGPAU MERAH
6.    SUNSET BERSAMA ROSIE,
7.    KISAH SANG PENANDAI,
8.    AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG,
9.    ELIANA, Serial Anak2 Mamak
10.    DAUN yang JATUH TAK PERNAH MEMBENCI ANGIN,
11.    PUKAT, Serial Anak2 Mamak
12.    BURLIAN, Serial Anak Mamak
13.    HAFALAN SHALAT DELISA
14.    MOGA BUNDA DISAYANG ALLAH
15.    BIDADARI2 SURGA
16.    REMBULAN TENGGELAM di WAJAHMU


Setelah moderator membacakan Biografi Bang Tere, sontak seisi ruangan di ramaikan dengan tepuk tangan yang dilakukan serentak. Forum pun di ambil alih oleh Bang Tere. Dengan gaya bahasa yang begitu menawan, beliau pun langsung menjadi sumber perhatian seisi ruangan. Dengan tutur kata yang indah dan sesekali diselingi dengan canda, Bang Tere pun menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan kedua bukunya yang saat itu sedang dibedah.
10 menit kemudian, penjelasan Bang Tere usai. Selanjutnya moderator mempersilahkan kepada dua orang pembedah yang telah hadir untuk selanjutnya membedah buku dari Bang Tere. Kedua pembedah itu yang merupakan mahasiswa tekhnik sipil Unhas masing-masing diberikan waktu 10 menit untuk berbicara. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sesi Tanya jawab. Peserta diberikan kesempatan untuk menanggapi ataupun bertanya apa saja dengan Bang Tere yang berhubungan dengan dunia tulis-menulis, dan hal-hal yang berkaitan dengan buku-buku yang telah diterbitkan oleh Bang Tere.
Seperti yang telah kuprediksikan, ada banyak sekali peserta yang mengacungkan tangan. Aku tak mau kalah. Kuangkat pula tanganku tinggi-tinggi. Sayangnya, moderator yang terhormat itu tak memberikanku kesempatan untuk berbicara.
Satu orang, dua orang, tiga orang. Sesi pertama acara Tanya jawab itu berlangsung singkat. Tiga orang penanya pertama telah berbicara langsung dengan bang Tere Liye.
Semangatku semakin memuncak. Apalah gunanya aku menghadiri acara ini jika tidak mampu berbicara langsung dengan Bang Tere. Seorang penulis yang telah memiliki nama besar karena karya-karyanya.
Baru saja moderator akan membuka sesi berikutnya, aku langsung mengacungkan tangan tingi-tinggi. Kali ini aku tak mau kalah dengan yang lain. Mata suapku menangkap sesosok lelaki tinggi tengah berjalan kea arah tempat dudukku. Dan tanpa kusangka-sangka, ternyata dia membawa sebuah Mick dan langsung meletakkannya di hadapanku. Sedetik kemudian, moderator yang katanya gagah itu langsung mempersilahkanku untuk berbicara langsung dengan Bang Tere. Alhamdulillah, akhirnya momentum itu tiba. Apakah aku gugup? Tentu saja!
“assalamu alaikum bang Tere.”
“waalaikum salam.” Suara lembut nan bijaksana itu menjawab salamku. Kini semua mata tertuju padaku. Jantungku berdetak lebih kencang melewati batas maksimal. Gugup. Aku berusaha mengendalikan perasaan.
“geer sedikit boleh kan, bang?” Tersenyum. Sedikit demi sedikit rasa gugup itu meninggalkanku. Perhatian peserta semakin tertuju kepadaku.
“saya adalah salah seorang pembaca setia Bang Tere yang bisa dikatakan special.” Aku kembali tersenyum. Diam sejenak. Berusaha menguasai ruangan. ruangan lengang sejenak. Mungkin berusaha mencerna perkataanku barusan.
“kebetulan tadi Bang Tere membahas soal mata picak, (salah satu potongan cerita yang ada di dalam buku negeri para bedebah), secara kebetulan I Am a blind, bang.”
“eh?” kalimatku barusan semakin membuatku menjadi sumber perhatian. bak seorang pejabat ternama, puluhan kamera langsung terarah kepadaku.
Amboi. Aku begitu menikmati saat-saat itu. Selanjutnya aku menanggapi beberapa novel Bang Tere yang pernah kubaca yang kemudian aku mengakhiri kalimatku dengan dua buah pertanyaan.
“Bang Tere pernah mengatakan, sungguh, saya hanya menghidupkan sebuah lilin kecil dalam diri kalian (sebuah perumpaman, Lilin dalam hal ini diartikan sebagai semangat untuk menulis). Kalianlah yang bertanggung jawab atas nasib lilin tersebut. Apakah nyala lilin tersebut akan semakin benderang ataukah semakin redup dan bahkan mungkin mati, kalianlah yang mengetahuinya. Pertanyaan saya, apa yang Bang Tere lakukan untuk mempertahankan nyala lilin yang Bang Tere miliki?.”
 “Saya juga senang menulis, bang. Dan saya juga bercita-cita untuk menjadi seorang penulis. Tapi, bang, terkadang rasa jenuh tiba-tiba datang mengganggu aktifitas menulis saya. Pertanyaan kedua, apa yang Bang Tere lakukan untuk mengusir kejenuhan yang tiba-tiba datang menyerang ketika kita sedang semangatnya menulis?.”
“wah, kalian harus bertepuk tangan untuk peserta kita yang satu ini….” Bang Tere tersenyum, mengomandoi tepuk tangan yang bergemah sedetik kemudian.
“Oke. Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, dik, namamu siapa?”
“Nur Syarif Ramadhan, bang.”
“dipanggil siapa?”
“syarif, bang.”
“Kuliah?”
“Iya. Saya dari Universitas Negeri Makassar, bang.”
“kesini dengan siapa?”
“sendiri bang.”
“hebat!” selanjutnya Bang Tere menanyakan bagaimana caraku untuk dapat membaca novel-novelnya. Kujawab saja, beberapa novel Bang Tere kuperoleh dari Yayasan Mitra-netra, beberapa lagi dari Page Bang Tere, dan beberapa lagi dibacakan oleh teman. Aku tak lupa memperlihatkan dua novel Bang Tere yang saat itu sedang dibedah. Kebetulan aku punya dan aku sengaja membawanya ke acara itu.
“Tapi Maaf, Bang, saya belum menamatkan buku Negeri Di Ujung Tanduk. Belum ada seseorang yang bersedia membacakannya.” Keluhku sambil tersenyum. Bang Tere lalu Menjawab pertanyaanku. Jawaban yang sangat panjang. Aku mohon maaf, aku tak bisa menuliskan semuanya di sini.
“baiklah, syarif. Kenapa saya senang menulis? Simple saja alasannya. Apakah kalian pernah membaca Novel Hafalan Shalat Delisa?” sebagian besar peserta mengangguk.
“kalian tau apa yang di timbulkan oleh novel ini?, Ada banyak sekali anak-anak yang setelah membaca novel ini langsung menemui ibu mereka— memeluk leher ibu mereka— dan berkata, Ummi, aku mencintaimu karena Allah. sungguh besar pengaruh yang ditimbulkan oleh novel ini. Itulah salah satu motifasi terbesar saya di dalam menulis. Saya meyakini dalam diri saya bahwa tulisan saya bisa merubah perangai orang lain. Saya meyakini bahwa tulisan saya bisa memberikan hiburan bagi yang membacanya.” Bang Tere berhenti sejenak. Menghela nafas perlahan, lalu melanjutkan penjelasannya.
“kita tak pernah tahu. boleh jadi di sana... di salah satu gedung tinggi, apartemen-apartemen, padatnya kota hongkong, di sebuah kamar sempit, lelah setelah bekerja sepanjang hari, dimarahi majikan, kangen negeri sendiri, ada seseorang yang tertawa, menangis, tiba-tiba merasa begitu bersemangat, memiliki inspirasi, setelah membaca tulisan kita. kita tidak pernah tahu. boleh jadi di sana... di kolong jembatan, kota yang panas, tanah dengan onta dan korma, di balik dinding kardus. lelah setelah berminggu terkatung menjadi imigran tidak diinginkan, ada seseorang yang tertawa, menyeka pipi, buncah oleh pengharapan, setelah membaca tulisan kita. Kita tidak pernah tahu, seorang anak remaja, tinggal di pelosok pedalaman, tiba-tiba menjadi begitu bersemangat atas masa depannya selesai membaca sebuah tulisan. Seorang anak remaja, tinggal di gemerlap kota, tiba-tiba menjadi paham dan berjanji mendengarkan nasehat orang tuanya setelah membaca sebuah tulisan. Gaung tulisan itu bisa jauh sekali. menulislah, dengan keyakinan bahwa itu bisa merubah, menghibur dan menemani. menulislah! Karena dunia ini akan jauh lebih baik jika semua orang pintar menulis--bukan pintar bicara. Itulah motifasi yang ada dalam diri saya, syarif. Sekali lagi saya suka menulis karena saya yakin tulisan saya dapat merubah dan dapat menjadi sumber penghiburan atau bahkan inspirasi bagi orang lain. Dan ketika rasa jenuh tiba-tiba mengganggu, saya berhenti sejenak dari aktifitas menulis tersebut, lantas kemudian menghela nafas, berpikir sejenak, terkadang motifasi yang telah melekat dalam diri saya itu kembali menjadi penyemangat bagi saya untuk kembali menulis dan ajaibnya, motifasi tersebut mampu mengusir rasa jenuh yang tadi muncul.” Bang Tere kembali berhenti sejenak.
“Tentu saja, syarif, saya tidak tahu motifasi apa yang dapat membuatmu senang menulis. Kaulah yang mengetahui apa yang ada dalam dirimu. Saran saya, syarif, temukanlah motifasi terbesarmu didalam menulis. Gigit kuat-kuat, kalau perlu sampai rontok gigi kau, genggam kuat-kuat dan berusahalah agar motifasi itu tak kau lepaskan. Saya yakin, dengan motifasi luar biasa yang kau miliki, maka kau akan merasa senang menulis. Jangan lupa, sertai dengan niat baik, ketulusan, maka tulisan itu akan menjadi amat bertenaga, dan jauh sekali gaungnya. Sungguh jauh sekali gaungnya. Saya akan mendo’akanmu, syarif. Semoga kau menjadi penulis yang hebat!” aku terhenyak mendapat petua luar biasa dari orang yang luar biasa pula. aku akan mengingat nasihatmu bang. terimakasih. kau telah memberiku sebuah pengalaman yang indah. karena pengalaman itu, aku telah mampu melupakan rintangan-rintangan kecil yang menghalangiku pagi tadi untuk menemukan Auditorium Prof Mattulada Unhas. aku sadar, usaha yang kuat akan berbanding lurus dengan kualitas yang hebat pula. Dan semoga, aku bisa memahami semua nasihat yang kau berikan hari ini. dan semoga do’a yang baru saja kau lafalkan bisa menjadi kenyataan!!!
“decakan, tepuk tangan, dan entah apalah namanya berkumpul menjadi satu sesaat Bang Tere mengakhiri penjelasannya. Sesi Tanya jawab kembali dilanjutkan. Ruangan kembali dipenuhi oleh puluhan acungan tangan. Hingga akhirnya acara bedah buku itu selesai. Dan ada sebuah ilustrasi dari Bang Tere yang cukup bermanfaat bagi teman-teman. Bunyinya seperti ini:
“Tidak ada tulisan yang buruk, kecuali memang buruk isinya, penuh keburukan. Tidak ada tulisan yang baik, kecuali memang baik isinya, penuh kebaikan. Tidak ada tulisan yang buruk atau baik hanya karena gaya bahasa, titik koma, salah ketik dan sebagainya. Bahkan saat manusia pertama kali mengenal tulisan, hanya lewat simbol-simbol terbatas, bukan 26 abjad huruf latin seperti sekarang, tetap saja dia baik atau buruk tergantung isinya. Tidak ada tulisan yang menyudutkan, kecuali bagi pembaca yang bahkan sebelum membaca memang sudah tersudut. Tidak ada tulisan menyalahkan, kecuali bagi pembaca yang sejak awal sudah merasa bersalah. Tidak ada tulisan yang bisa berakibat sejenis ini kecuali pembacanya yang membiarkannya terjadi. Simpel saja, saya menulis tentang kasus partai tertentu (dalam bahasa Inggris), dimuat di media internasional, penuh kalimat keras dan menohok, coba saja tulisan itu dibaca oleh orang2 yang tinggal di London, New York, mereka merasa baik-baik saja. So what gitu loh? Tapi saat tulisan tersebut dibaca oleh orang-orang tertentu--meski dalam bahasa yang berbeda, berubahlah tanggapannya, terlihatlah reaksinya.”
“Tidak ada tulisan yang menginspirasi, kecuali bagi pembaca yang sejak memulai kalimat pertamanya memang sudah menyemai bibit pengharapan. Tidak ada tulisan yang menggugah, mengharukan, kecuali bagi pembaca yang sejak awal membacanya sudah membuka hatinya, bersiap menerima kebaikan. Tidak ada tulisan yang bisa berakibat sejenis ini kecuali pembacanya yang membiarkannya terjadi. Coba lihat, sebuah novel yang didesain begitu memotivasi, begitu membangkitkan semangat, sia-sia saja saat dibaca orang yang tidak peduli atau memang tidak suka novel. Pun sebuah novel yang ditulis penuh rasa haru, jangankan setetes air mata, yang membaca hanya menyeringai bingung, ini novel apa sih--saat dia memang tidak siap atau tidak cocok atas tulisan jenis tersebut. Lantas apa yang membuat sebuah tulisan terlihat berbeda? Saya beritahu. Bahwa dalam dunia tulis menulis, rahasia terbesarnya adalah: relevansi, relevan atau tidak relevan. Apa itu relevansi? Nyambung atau nggak. Dengan bahasa yang lebih simpel, artinya adalah: gue banget atau nggak. Sebuah tulisan yang gue banget, selalu berhasil menyentuh sisi-sisi yang hendak dicapai penulisnya. Sebaliknya, tulisan yang tidak relevan bagi pembaca kesulitan membuat pembaca suka. Hanya itu. Tidak ada rahasia besar lainnya. Nah, maka mulailah menulis dengan paham soal relevansi ini. Pertama-tama, gue banget atau nggak bagi diri sendiri--tidak akan bahagia seorang penulis yang menulis tulisan yang tidak disukainya, tidak 'gue banget'. Pastikan ini terlebih dahulu. Kita menulis sesuatu yang gue banget. Berikutnya, baru pastikan gue banget atau nggak bagi orang lain. Gue banget atau nggak bagi penerbit, pembaca, dan seterusnya, dan seterusnya. Terutama kalau kita berharap tulisan itu dibaca banyak orang. Lain soal kalau untuk konsumsi diri sendiri. Itulah rahasia sebuah tulisan. Simpel.” Demikian sebuah motifasi luar biasa dari Bang Tere.
Acara bedah buku itupun usai. Ratusan peserta yang hadir pada siang itu berlomba-lomba ingin meminta tandatangan dari Bang Tere sesaat ketika moderator menyudahi acara. Mereka membawa buku apa saja yang merupakan karya dari Bang Tere untuk ditandatangani. Tentu saja, aku tak melakukan hal yang sama. Kedua buku dari Bang Tere yang kubawa ke acara itu telah berisi tandatangan dari beliau.
Aku tetap berada di posisi tempat dudukku. Tak bisa kemana-mana. Terlalu banyak orang yang berdesak-desakan. Saat itulah peristiwa indah itu terjadi, kawan. Aku mencoba mengarahkan wajah ke bagian depan ruangan. Menatap lebih focus ke atas panggung. Di sana sedang di adakan photo bersama dengan Bang Tere.
Aku lantas berdiri. Mencoba lebih memfokuskan pandangan ke atas panggung. Saat itulah aku menyaksikan bayangan sosok yang bersahaja itu turun dari atas panggung. Meninggalkan orang-orang yang ingin berphoto ria dengannya. Menyibak orang-orang yang menghalangi langkahnyah. Jarakku dengan sosok itu kini tersisa lima langkah. Saat itulah aku mendengar sosok itu menyapaku.
“Syarif!!!” saat itulah aku tersadar— melangkah— menggeser kursi yang ada di hadapanku— dan langsung bersalaman dengan Bang Tere.
“seharusnya, aku yang mendatangimu, bang.” Bang Tere tersenyum.
“boleh aku memelukmu, Syarif?” Apa? Apakah telingaku tak salah dengar? Ternyata kali ini otakku kalah cepat dengan mulutku.
“Bolehlah, bang.” Ucapku lirih. Dan, alamak, ternyata Bang Tere memelukku sambil berbisik,
“Aku mendo’akan Semoga kau  menjadi penulis yang hebat!” bak seorang gubernur yang sedang berpelukan dengan Sang Presiden, puluhan kamera dengan kualitas yang beragam, mengabadikan peristiwa itu. Sesaat kemudian Bang Tere melepaskan pelukan, sekali lagi menepuk-nepuk pundakku, tersenyum sejenak, lantas berbalik arah dan kembali ke atas panggung. Hatiku riang tak terkira.
Sebuah pengalaman yang mengagumkan! Kan kusimpan baik-baik kenangan itu. Kelak, suatu saat nanti, aku yakin, aku akan butuh untuk mengingat kejadian itu. Kenangan itu akan menjadi penyemangat disaat hatiku sedang gunda gulana, ketika ujian hidup berikutnya akan datang menghadang, ketika berbagai kesulitan mulai menghantui, maka hatiku akan memperingati, jangan pernah menyerah, Syarif. Ingat baik-baik nasihat indah itu:
    “Sungguh, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu, suhu dan tekanan yang tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya, maka jika dia bisa bertahan, tidak hancur, dia justeru berubah menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal harganya. Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita alami, semakin dalam dan menyedihkan rasannya, jika kita bisa bertahan, tidak hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan. Keras. Kokoh. (dikutip dari buku Negeri Di Ujung Tanduk)
Untuk membuat sebilah pedang terbaik, pandai besi harus memanaskannya di tungku dengan suhu memerihkan wajah, menghantamnya berkali-kali, menempanya berulang-ulang, dan itu pekerjaan panjang penuh kesabaran serta ketekunan. Sekali prosesnya selesai, beres, maka sepotong besi biasa, tumpul, jelek telah berubah menjadi sebuah pedang tajam, gagah, dan bisa menebas apapun. Indah sekali. Begitulah kehidupan ini. para pembelajar kehidupan terbaik, harus ditempa berkali-kali, melewati situasi yang berat, jatuh bangun, hamper berputus asa, hingga akhirnya berubah menjadi seseorang yang 'tajam' dan bisa menebas ujian kehidupan manapun.


(Bontolangkasa, 09 oktober 2013).

Selasa, 24 September 2013

YAKINKAN MEREKA DENGAN BUKTI

oleh: Nur Syarif Ramadhan

    Bel tanda pelajaran pertama telah menjerit, ketika Ramadhan memasuki gerbang SMA negeri 6 makassar. Dengan langkah cepat, ia pun segerah menuju kelasnya yang sebenarnya, ia belum hafal betul letaknya. Tapi, dengan modal nekat yang ia miliki, diteruskannya langkah menuju ke area belakang sekolah.
    Ramadhan seorang lowvision. Kedua matanya sudah memiliki keterbatasan sejak ia masih bayi. Dengan ragu-ragu, ia memperhatikan setiap ruangan yang letaknya di bagian belakang sekolah itu. Setidaknya, ada 2 ruangan yang membuatnya bingung.
    “yang mana ya, kelasku?” tanyanya dalam hati. Benaknya mencoba mengingat-ingat.
    Hari itu merupakan hari keempatnya bersekolah di SMA 6 Makassar. Hari pertama dan kedua, ia mengikuti masa orientasi siswa. Dan penentuan kelas bagi siswa baru, ditentukan pada hari ketiga. Penglihatannya yang samar, tidak cukup membantu mobilitasnya di sekolah itu.
    “weh, kelasmu disini!.” Seru seorang anak lelaki yang berperawakan cukup besar. Dari nada bicaranya, ia nampak kurang ramah. Tapi, itu bukanlah masalah bagi Ramadhan. Perlakuan seperti itu sudah biasa didapatkannya. Bahkan sewaktu ingin mendaftar disekolah itu, ia mendapat sambutan yang kurang bersahabat dari petugas penerimaan siswa baru.
    Waktu itu, ia telah dinyatakan lulus berkas. Tetapi sewaktu pengambilan kartu tes, barulah persoalan itu tiba. Seorang petugas mempermasalahkan ketunanetraannya. Menurutnya pihak sekolah belum melakukan rapat pri hal diterimanya atau tidak seorang tunanetra untuk bersekolah ditempat itu. Tapi Ramadhan tidak kehabisan akal.
    “saya kira, sebelum-sebelumnya pihak sekolah tidak mempermasalahkan hal itu?. Buktinya sudah empat orang tunanetra yang pernah bersekolah di sekolah ini.” Kata Ramadhan pada petugas tersebut.
    “ia, tapi kan itu sudah lama. Lima tahun belakangan ini, tidak ada lagi tunanetra yang bersekolah disini. Apalagi, pimpinan sekolah ini telah berganti.”
    Penjelasan dari petugas itu, membuat Ramadhan terdiam. Waktu itu ia sudah memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba salah seorang wakil kepala sekolah datang.
    “ kenapa?” Tanyanya pada petugas tadi.
    “ini pak, ada seorang tunanetra yang ingin bersekolah disini.”
    “terus, kenapa tidak diterima?”
    “apa tidak jadi masalah nantinya, pack?”
    “kan baru mau ikut tes, bu. Lagi pula masalah apa yang ibu khawatirkan? Selama ini kita tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Biarkanlah dulu anak itu ikut tes. Jika ia lulus, kita terima. Tapi kalau tidak, ya jangan. Saya rasa tidak ada yang akan mempermasalahkan anak itu. Kalau pun ia lulus dan ada yang mempermasalahkan, nanti saya yang bertanggung jawab.”
    Karena penjelasan bapak itulah, Ramadhan akhirnya bisa bersekolah di SMA 6. belakangan ia ketahui orang itu bernama pak Amri. Orang yang menjabat sebagai wakasek bagian kurikulum waktu itu.
    Memang, sejak tahun 2004. SMA negeri 6 Makassar telah terdaftar sebagai sekolah inklusi di dinas pendidikan provinsi sulawesi selatan. Artinya, sekolah itu bisa menerima siswa yang memiliki keterbatasan fisik. Atau istilah krennya disebut penyandang disabilitas. hal itu karena SMA 6 adalah SMA negeri pertama di Makassar atau pun di sulawesi selatan, yang pernah menerima siswa disabilitas. Jadi sangat cukup mengherankan jika petugas penerimaan siswa baru itu ingin mempermasalahkan Ramadhan.
    “andai saja kamu dipermasalahkan, Dhan. Mungkin teman-teman akan beraksi lagi di sekolah itu.” Komentar salah seorang teman Ramadhan, Ketika ia mengisahkan pengalaman pertamanya berintegrasi.
    Berkat anak lelaki itu, akhirnya Ramadhan berhasil menemukan kelasnya. Sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Didalamnya telah tertata rapi meja dan bangku yang akan digunakan tuk belajar nantinya. Dengan sedikit ragu, akhirnya Ramadhan masuk juga ke ruangan itu. Hamper semua bangku telah terisi. Namun, dengan mata suapnya, akhirnya ditemukannya juga sebuah bangku yang terletak di jejeran ketiga dari depan.
    Dibagian depan kelas, terdapat dua buah papan tulis berukuran normal yang tertempel langsung ke dinding. Kedua benda itu punya fungsi masing-masing. jika menulis dengan spidol, maka papan yang berwarnah putih yang digunakan. Tetapi jika misalnya tinta spidol habis, solusi terbaik adalah papan yang berwarnah biru. Tentu saja dengan menggunakan kapur. Namun, di zaman yang serba moderen ini, sangat jarang ditemukan sekolah-sekolah yang menggunakan kapur. Umumnya, yang digunakan adalah spidol. Meskipun kapur masih disediakan, biasanya ia hanya akan menjadi penjaga kelas, atau bahan mainan siswa-siswi SMA yang belum bersifat dewasa.
    Selain itu, dibagian depan ruangan juga terdapat sebuah meja berukuran besar dari meja-meja lainnya. Sebuah kain berwarna ping menutupi permukaannya. Yang membuat meja itu sedap cdipandang, karena diatasnya terdapat kembang buatan yang berwarna-warni. Sebuah botol kecil menjadi wadah penyimpanannya. Dan di sisi sampingnya terdapat sebuah ukiran yang bertuliskan “hasil karya siswa-siswi x.9”. Ukiran itu seolah-olah menantang para siswa-siswi baru yang ada dikelas itu untuk membuat karya yang lebih mengagumkan dari kembang itu.
    Hari itu, para guru yang masuk ke kelas x.9 belum ada yang terlalu menyinnggung materi pelajaran. Yang mereka lakukan hanyalah saling mengenal dulu dengan para siswa. Selain itu, mereka juga memberikan mediasi pada siswa yang belum saling kenal, agar saling mengenal antara satu dengan yang lainnya.
    Sekitar pukul 12.00, semua siswa baru dipulangkan. Hari itu mereka hanya diperintahkan tuk melihat-lihat lingkungan sekolah. Misalnya untuk mengetahui apa-apa saja yang ada di SMA 6, dan lain-lain. Namun Ramadhan merasa tak perlu dengan hal itu. Sehingga ia memutuskan langsung pulang. Dengan kepercayaan diri yang luar biasa, ia berjalan meninggalkan kelas x.9. dan dengan mata suapnya ia juga menyempatkan tuk memperhatikan ruang-ruang yang ia anggap penting. Seperti, ruang guru, lab biologi, lab fisika, perpustakaan dan lab computer. Karena kelasnya, x.9 terletak dibagian belakang sekolah, akhirnya ia dapat melewati ruangan-ruangan itu sewaktu pulang.
    Namun langkanya tiba-tiba terhenti di samping lab computer. Sesosok lelaki menghalang-halangi langkahnya. Meskipun pandangannya samar, tapi ia masih bisa tau ciri-ciri orang itu. Pakaiannya biasa saja, sepertinya ia bukan guru, tapi yang mengesankan adalah rambut gondrongnya. Ramadhan mencoba meneruskan langkah. Tapi orang itu, terus menghalanginya.
    “Misi pak” Ramadhan mencoba meminta jalan. Namun, jawaban yang ia tunggu-tunggu tak datang jua dari lelaki itu. Malahan, dengan mengunakan badannya, lelaki itu semakin mempersempit ruang geraknya. Secara perlahan ia terdorong ke tembok kelas xi Ipa 4. yang letaknya pas di samping ruangan wakasek dan di sudut depan lab computer.
    Ramadhan bingung. Ia tak tau hendak berbuat apa. lelaki itu terus mendorongnya. Tas ranselnya mulai merapat ke tembok kelas xi Ipa 4. sesaat kemudian seluruh badannya sudah tak leluasa lagi. kepalanya ikut terdorong dan mulai merapat ke kaca jendela kelas. Ramadhan masih bingung. Karena kaget dengan perlakuan itu, otaknya tidak bisa difungsikan. Wajahnya mulai pucat pasih. Badannya mulai mengeluarkan keringat dingin.
    Karena tempat itu merupakan jalur keluar masuk dari SMA 6, sehingga banyak orang yang berlalu-lalang melewati tempat itu. Namun, tak ada satu pun yang memperhatikan hal itu. Jika pun ada, mereka tak berkomentar apapun. Orang-orang itu seolah-olah sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.
    Tiba-tiba, pintu lab computer terbuka. Seorang lelaki tinggi keluar. Sejenak ia melirik ke kelas xi IPA 4. tak ada satu bahasa pun yang ia keluarkan, hanya sebuah senyuman yang di tujukan kepada lelaki gondrong yang sedang kelihatan gembira itu. Lelaki tinggi itu pun meneruskan langkahnya dan masuk ke kantor kepala sekolah.
    Tentu saja, Ramadhan tidak mengetahui hal itu. Ia masih berusaha mencari akal untuk secepatnya bisa melepaskan diri dari si gondrong yang seolah-olah sedang mempermainkannya. Namun semuanya blank. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Otaknya juga demikian.
    Sesaat kemudian, lelaki gondrong itu melangkah. Secara otomatis, Ramadhan dapat leluasa lagi bergerak. Ia berusaha menghilangkan rasa tegang yang menguasainya. Dengan ujung dasinya, ia mencoba menghapus butiran-butiran peluh di wajahnya.
    “kamu kenal saya?” tiba-tiba lelaki itu mengajukan pertanyaan. Suaranya cukup berwibawa.
    “tidak, pak” hanya jawaban itu yang bisa keluar dari bibir Ramadhan. Memang, ia tak tahu siapa lelaki gondrong itu. Ia belum bisa  menghilangkan ketegangannya, ketika lelaki itu membawanya masuk ke kelas xi IPA 4. nyali Ramadhan semakin ciut. Ia tak mampu berbuat apa-apa. Hanya menurut saja yang dapat ia lakukan.
    “duduk!” seru lelaki itu sewaktu mereka masuk kedalam kelas. Ramadhan langsung menurut. Ia lalu duduk di sebuah bangku yang paling dekat. Lelaki itu lalu menutup pintu.
    Ramadhan semakin merasa tidak enak. Jantungnya berdetak kencang. Ketegangan yang ia rasakan semakin menjadi-jadi.
    “hmmm, siapa yang menyuruh kau duduk disitu?”
    “jadi dimana, pak?”
    Braaak…! Tiba-tiba, sebuah meja melompat dari tempatnya. Dengan posisi terbalik, meja itu membentur lantai kelas. Ramadhan terhenyak. ia tidak menduga akan seperti itu kejadiannya.
    “duduk dilantai…!”
    Ramadhan tak berani menolak. ia pun segera duduk dilantai. Ingin rasanya ia memberontak. Ia tak pernah diperlakukan seperti itu. Tapi ia sadar dengan dirinya. Ia tidak mungkin melawan. Mentalnya mulai goyah. Tanpa terasa, air matanya pun mulai tak tertahankan.
    “mau melawan? Ayo!” kata lelaki itu kemudian sambil bertolak pinggang.
    “ti… tidak, pak?”
    “siapa sebenarnya yang memasukanmu kesekolah ini?”
    “saya lu” Ramadhan belum menuntaskan perkataannya, namun lelaki itu langsung memotongnya.
    “hmm, saya tidak percaya kalau kau bisa lulus murni di sekolah ini. Pasti ada yang kau andalkan. Ia kaaan?.”
    Ramadhan tidak menjawab. Hatinya terasa perih.
    “kau sadar ji’ kah? Sebenarnya kau itu salah alamat sekolah disini. Mengapa kau tidak di SLB saja? Sebenarnya kau dan teman-temanmu yang dulu hanya membuat repot saja di sekolah ini.” Dengan logat makassarnya, lelaki itu memberikan penjelasan yang sama sekali tak mengunakan hati nurani.
    Ramadhan tidak bisa menjawab. Mulutnya terkunci rapat. Ia sama sekali belum pernahh mengalami situasi seperti itu. ia belum pernahh merasakan kebahagiaan ataupun kepahitan didalam bersekolah dengan orang yang secara fisik, lebih sempurna darinya. Yang bisa ia lakukan waktu itu hanyalah pasrah. Seperti kebanyakan penyandang disabilitas yang hanya pasra saja diperlakukan secara diskriminitif oleh oknum-oknum yang tak memiliki moral dan etika.
    Pintu kelas tiba-tiba terbuka. Seorang lelaki tinggi dan agak kurus masuk.
    “ada apa ini?” Tanya lelaki itu. Si gondrong tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan kembali memandang ke arah Ramadhan yang masih duduk terpaku ke lantai.
“Hm, serahkan anak ini pada saya.” Si gondrong tidak menjawab. Ia langsung meninggalkan kelas ketika mendengar perintah orang yang baru saja masuk itu.
“nak, saya Amri. Kamu tidak apa-apa?”
“iya, pak”
Pak Amri lalu membawa Ramadhan keluar dari kelas xi Ipa 4. dua langkah dari kelas itu, mereka berbelok ke kanan. Pak Amri membuka sebuah pintu. Lalu keduanya pun masuk. Ramadhan sudah mengenal ruangan itu. Disitulah ia pernahh dipersulit oleh seorang petugas penerimaan siswa baru. Ia juga baru tersadar, bahwa yang membawanya keruangan itu adalah orang yang dulu menolongnya sewaktu dipersulit.
Pak Amri membawa Ramadhan kesebuah meja yang diapit oleh dua buah kursi yang saling berhadapan.
“duduk”. perintahnya kemudian. Ia lalu menuju ke kursi yang satunya.
“kamu masih bisa liat?”
“iya, pak. Saya masih lowvision.” Jawab Ramadhan sambil berusaha menghapus sisa ketegangan dan air mata yang masih tersisa.
“ooh, sekitar jarak berapa yang bisa kamu lihatt?”.
“kalau itu, saya sendiri kurang tau, pak. Tapi, saya masih bisa mengenal warna.”
“kalau seseorang, masih bisa kamu kenal?”
“wah, itu yang sulit, pak. Tapi biasanya, saya bisa mengenal seseorang lewat fisiknya, ataupun dengan cara lain.”
“mmm. Oke. Ini minum dulu”. Dengan hati-hati Pak Amri memberikan segelas air minum ke tangan Ramadhan.
“tadi, kaget ya?” Pak Amri melanjutkan pembicaraan.
“iya, pak. Saya belum pernahh diperlakukan seperti itu.”
“menurutmu itu pantas, tidak?” Ramadhan tidak bisa menjawab. Pak Amri tersenyum. Tanpa menunggu jawaban, iya kembali melanjutkan.
“yang tadi, anggap saja ujian mental ya?. Kalau hanya diperlakukan seperti itu kamu sudah menyerah, berarti kamu bukan tipe tunanetra yang hebat.” Ramadhan mendengarkan kata-kata Pak Amri dengan serius.
“Dhan, selama ini bapak telah mengajar dua orang yang seperti kamu. Keduanya mempunyai mental yang luar biasa!. Terus terang saja, bapak kagum dengan orang-orang seperti kalian. kalian itu bisa menjadi motifasi bagi saya, dan mungkin orang lain juga begitu.”
“oh, syukurlah pak kalau begitu.”
“tapi, San, kau juga harus tau. Tidak semua tenaga pengajar disini berpikiran seperti bapak. Mungkin saja, ada yang tidak senang denganmu sehingga nanti ia akan mempersulitmu.”
“mungkin bapak punya alas an?”
“maksudnya?”
“pasti ada alasannya sehingga bapak berkata seperti itu?”
“iya, Dhan. Kemarin, pihak sekolah mengadakan rapat. Nah, salah satu agenda rapatnya itu membahas kamu.” Pak Amri berhenti sejenak. Ia lalu meneguk air mineral yang ada dihadapannya.
“terus gimana, pak?” Tanya Ramadhan dengan ekspresinya yang serius.
“memang, Dhan, ada beberapa orang guru yang senang dengan siswa sepertimu. Tapi, tak sedikit juga yang sebaliknya. Jadi, saran saya, berbuatlah yang sebaik-baiknya di sekolah ini. Jangan pernah membanta atau membangkang perintah guru. Kamu juga harus berhati-hati didalam memilih teman. Tidak semua teman bisa dipercaya. Perhatikan semua tugas-tugas yang diberikan. Usahakan semuanya dikerjakan. Karena penilaian yang paling penting selain kehadiran, ya tugas!”
“baik, pak”



Kata-kata dari Pak Amri itu, tertanam jelas di benak Ramadhan. Ia berusaha untuk selalu mempedomani nasihat itu untuk berperilaku di sekolah. Ia sama sekali tak berani bertingkah macam-macam. Ia selalu taat pada aturan dan berusaha mengakkrapi semua orang.
Beberapa minggu kemudian, Ramadhan  sudah bisa berinteraksi dengan baik pada semua penghuni kelasnya. Mereka sangat senang membantu Ramadhan. Diantara mereka adalah Sri. Seorang siswi asli bugis yang juga tertantang mencicipi kerasnya persaingan pendidikan di kota Makassar.
Sri adalah seorang siswi yang sangat menyukai sesuatu hal yang baru. Selama hidupnya, ia belum pernahh berteman dengan seorang yang secara fisik, kurang dibandingkan dirinya. Namun ia tak pernahh memandang Ramadhan lebih rendah. Menurutnya, Ramadhan adalah seorang teman terbaik yang pernahh dikenalnya.
”itu apa, Dhan?” tanya Sri pagi itu. Sebuah benda berbentuk persegi panjang berada di genggaman Ramadhan. Benda itu berwarna biru. Dipermukaan atasnya terdapat empat baris. Pada setiap barisnya terdapat jejeran kotak-kotak mungil berbentuk balok yang semuanya berjumlah seratus enam belas kotak.
”oh, ini? Ini namanya riglet. Alat yang digunakan tunanetra untuk menulis.”
”Ha?, caranya bagaimana?” tanya Sri makin penasaran. dari dalam tasnya, Ramadhan kembali mengeluarkan sebuah benda yang sangat asing dimata Sri. Benda itu berukuran kecil dari riglet. Warnahnya  sama dengan riglet. Namun bentuknya melingkar. Di salah satu permukaannya berbentuk agak runcing. Memang, bagian bawah dari benda itu terbuat dari paku yang telah di modifikasi.
”nah, ini namanya stilus. Alat komplementer dari riglet ini.” jelas Ramadhan sambil menyodorkan kedua benda itu kehadapan Sri. Ramadhan lalu mempraktekkan cara pengunaan dari riglet dan stilus tersebut.
”bagusnya nulis apa?” tanya Ramadhan.
”tulis apa ya? Hmmm! Tulis namaku saja!”
”oke” Ramadhan lalu mulai menulis. Sri memperhatikannya dengan serius. Apalagi, Kombinasi antara riglet dan stilus itu ternyata menghasilkan sebuah bunyi yang menarik. Tuk... tuk... tuk... itulah bunyinya yang hampir menyerupai bunyi ketika seekor ayam sedang menikmati makanannya.
Sesaat kemudian Ramadhan telah usai menuliskan nama Sri. Kertas pun di lepaskan dari jepitan riglet. Dan, nampaklah huruf timbul yang hanya berupa titik-titik kecil di permukaan kertas itu.
”wah! Ini hasilnya? Keren...” puji Sri sambil meneliti dengan seksama huruf-huruf braille itu.
”Dhan, ajari aku menulis braille ya?” pinta Sri mulai tertarik.
”mmm, sip lah itu”.
Peristiwa itu semakin mempererat pertemanan antara kedua anak itu.
Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Waktu yang menunjukkan akan dimulainya jam pelajaran pertama. Seorang wanita gemuk memasuki kelas x.9. ia langsung menuju meja guru.
”dhan, ibu Tanti sudah datang. Aku ke bangkuku dulu ya?”
”iya. Nanti kita lanjutkan belajar braille-nya.” Sri pun segera ke bangkunya.
Di bagian depan kelas, ibu Tanti nampak mulai membuka buku kewarganegaraan yang ingin diajarkan. Sesekali matanya melirik ke siswa-siswinya. Tiba-tiba ia memandang ke arah Ramadhan. Ia lalu meletakkan bukunya di meja.
”baik anak-anaku sekalian. Ini merupakan pertemuan ketiga untuk pelajaran kewarganegaraan. Untuk pertemuan hari ini, sebelum kita menyinggung pelajaran, saya ingin menyampaikan bahwa pertemuan berikutnya kita ulangan harian. Jadi, mulai hari ini, persiapkan diri masing-masing untuk menghadapi pertemuan berikutnya. Paham?”
”iya, bu...” jawab para siswa tegas. Meskipun di wajah mereka telah terbersit berbagai ekspresi. Siap tidak siap, mereka harus mengiyakan perintah dari ibu Tanti tersebut.
”jadi, untuk teman kita yang satu ini gimana?” tanya ibu Tanti sambil menunjuk ke arah Ramadhan.
”Dhan, ibu bertanya padamu” bisik Edi. Anak itu merupakan teman sebangku dari Ramadhan.
”insyaallah saya juga siap bu” jawab Ramadhan mantap.
”caranya gimana? Kamu bisa nulis?”
”ya, kalau pake braille, bisa bu”
”cara ibu memeriksanya gimana? Ibu kan tidak tau braille!?”
”kalau saya yang bacakan? Gimana bu?”
”oh, itu sama saja dengan lisan. Iya kan?”
”iya sih, bu”
”atau begini sajalah, gimana kalau kamu ibu lisan saja?”
”iya bu. Saya pikir, itu cara yang paling baik”
”oh iya, Dhan. Ibu mau nanya. Boleh?”
Iya, tentu bu.”
”kamu punya kelaebbihan apa?”
”maksud ibu?”
”gini, nak. maaf sebelumnya. Biasanya kan setau ibu, tunanetra itu rata-rata punya kelebihan. Sebelum kamu, ibu juga pernahh mengajar tunanetra sepertimu. Dan mereka semua telah melakukan sesuatu yang sangat spektakuler sehingga membuat nama mereka di kenang”
”seperti apa contohnya yang mereka lakukan bu?”
”bermacam-macam. Ada yang di kenal karena pernahh berceramah di masjid, ada yang karena kemampuannya membaca ayat suci al-qur’an dan ada juga yang jago bermain musik. Jadi kalau kamu sendiri, apa?”
Ramadhan terdiam. Ia juga tidak tau kelebihan apa yang ia miliki. Ia merasa sama sekali tidak mempunyai apa-apa jika dibanding pendahulu-pendahulunya.
”kok diam?”
”maaf bu, saya merasa belum punya kelebihan apa-apa”
”yakin? Tiap-tiap manusia itu punya kelebihan dan kekurangan, nak”
”iya bu. Mungkin hanya saya saja yang belum tau apa kelebihanku”
”ooh, gak apa-pa. Ibu hanya nanya kok”
”iya bu.”
”Tapi ibu boleh kasi saran kan?”
”tentu, bu”
”berbuatlah sesuatu  yang luar biasa. Yang dapat meyakinkan semua orang bahwa kamu adalah anak yang luar biasa. Ibu yakin, dalam benakmu pasti timbul pertanyaan. Simpan saja pertanyaan itu. Suatu saat, kamu akan tau sendiri mengapa ibu berkata seperti ini.”
Ramadhan kembali membisu. Memang pada saat itu, ada sebuah pertanyaan yang sangat ingin ia keluarkan. Tapi ibu Tanti terlabih dahulu menahannya. Mungkin ia tak boleh tau apa maksud perkataan itu. Dalam benaknya tertanam lagi satu beban yang harus ia pecahkan.
    Hari itu, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar. Perkataan bu Tanti selalu membebani pikirannya, Menghambat sistem kerja otaknya dan menghalangi kecerdasannya untuk menemukan ide-ide cemerlang.
**********

    Minggu berikutnya, akhirnya Ramadhan mengikuti ulangan harian yang telah dijanjikan oleh Bu Tanti. Hasilnya cukup membanggakan. Dari lima soal esai yang diberikan, ia berhasil menjawab empat soal dengan benar, dan satu lagi hanya salah setengah. Tiap-tiap soal bobot nilainya dua puluh. Dan hari itu ia mendapatkan nilai sembilan puluh!, sebuah nilai yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai anak kelas x.9 yang lain.
    Setelah ulangan itu berakhir, Ibu Tanti memanggil Ramadhan ke ruang guru. Ia berniat menyampaikan sesuatu hal pada anak itu. Bersama sahabatnya, Sri, Ramadhan pun mengikuti Bu Tanti ke luar kelas.
“begini, dhan. senin yang akan datang, kelasmu menjadi pelaksana upacara.” Kata Bu Tanti sesampainya ke ruang guru.
“karena itu, ibu mengharapkan kalau kamu juga ambil bagian dalam pelaksanaan upacara tersebut.” Ramadhan terdiam. Ia bingung mau berkata apa.
“saya yakin, dia bisa, bu,” tiba-tiba Sri menanggapi.
“hmmm. Bagaimana menurutmu, dhan?”
“insyaallah, saya bisa, bu.”
“oke. Kalian ke kelas. Sampaikan pada ketua kelasmu ihwal hari senin.”
“baik bu” jawab Ramadhan dan Sri bersamaan. Kedua anak itu meninggalkan ruang guru, dan langsung menuju kelasnya.
**********
“apa, dhan? Kamu serius?” komentar Kiki, sang ketua kelas ketika mendengar sebuah berita yang baru saja keluar dari bibir Ramadhan.
“iya, Ki. Bu Tanti sendiri yang mengatakannya padaku.”
“astaga, mengapa begitu cepat. Kita kan belum genap tiga bulan di sini. Kita belum cukup mempunyai mental untuk mengemban tugas itu,”
“jadi bagaimana menurutmu, ki?” Kiki terdiam. Ia mencoba berpikir sejenak.
“apa kamu mau mengecewakan Bu Tanti?” tiba-tiba Sri yang sejak dari tadi mendengarkan pembicaraan Ramadhan dan Kiki berkomentar.
“tentu tidaklah!” seru Ramadhan dan Kiki hampir bersamaan.
“kalau begitu, berarti kita harus mengerjakan tugas ini. Kita masih punya sekitar empat hari untuk mempersiapkannya. Bagaimana?”
“sip lah kalau begitu.” Kiki lalu mengambil sesuatu dalam tasnya. Sebuah spidol. Ia lalu beranjak ke depan kelas. Diatas permukaan papan tulis yang berwarna putih, ia menuliskan sesuatu:
“pada semua siswa kelas x.9, diberitahukan bahwa hari senin yang akan datang, kelas kita yang tercinta ini mendapat kehormatan sebagai pelaksana upacara. Jadi diharapkan pada semua penghuni kelas untuk bersiap-siap!”.
“kamu juga bisa kan, Dhan?”. Tanya sang ketua kelas.
“iya. Meskipun aku belum tau apa yang bisa kulakukan dalam upacara nanti, tapi baik lah, aku juga siap”.
Keesokan harinya, kelas x.9 dibuat geger oleh pengumuman yang terpampang di papan tulis. Komentar penghuni kelas itu berpariatif. Ada yang ragu, ada yang tak percaya dan ada yang cuek-cuek saja.
Tak terasa, hari itu pun tiba. Hari yang telah membuat sebagian besar penghuni x.9 berdebar-debar. Hari yang mewajibkan semua penghuni kelas itu untuk datang lebih awal dibanding penghuni kelas lain. Secara kebetulan, Sri, Kiki dan Ramadhan muncul bersamaan di pintu gerbang sekolah. Ketiganya tiba tepat pukul 06.35, atau sekitar setenga jam sebelum upacara itu dimulai.
“apa yang lain sudah datang ya?” Kiki langsung memasang wajah khawatirnya. Ekspresinya langsung berubah ketika satu persatu teman kelasnya mulai berdatangan. Bersama Bu Tanti yang merupakan wali kelasnya, Ia langsung mengkordinir teman-temannya untuk menuju ke lapangan upacara.
Sementara itu, tiga buah lapangan yang ada di sma negeri 6 mulai ramai dipenuhi oleh semua siswa penghuni sekolah. Mereka telah berbaris rapi berdasarkan kelasnya masing-masing.
“gimana, Dhan? Sudah siap?” tiba-tiba Bu Tanti muncul di hadapan Ramadhan dan langsung bertanya.
“iya Bu, Insyaallah.”
Beberapa saat kemudian, upacara itu pun dimulai. Suatu kebangaan yang teramat sangat di dalam hati Bu Tanti. Betapa tidak, semua anak walinya melaksanakan tugas yang diberikan dengan begitu sempurnah. Apa lagi Ramadhan. Anak itu berhasil memukau semua orang yang hadir pada upacara itu. Tanpa diduga-duga oleh semua orang, iya ternyata juga ambil bagian dalam pelaksanaan upacara itu. Iya memang telah berniat untuk melakukan sesuatu yang waw pagi itu. Beberapa hari sebelum upacara itu dilaksanakan, iya telah berusaha untuk dapat menghafal naskah teks pembukaan uud 1945 dengan sempurna. Iya ingin menjadi pembaca undang-undang dalam upacara.
Beban itu pun selesai. Ramadhan berhasil melaksanakan keinginannya dengan baik. Tanpa ia sadari, disekelilingnya banyak wajah-wajah yang menatapnya dengan simpatik. Tanpa ia sadari, banyak decakan kagum yang keluar dari bibir para dewan guru. Dan tanpa ia sadari, berkat aksinya itu, banyak tatapan sinis dan meremehkan terhadap dirinya mulai beranjak pergi. Hal itu menimbulkan paradikma baru dari guru-guru mau pun siswa yang ada di sekolah itu.
Ramadhan sebenarnya tidak mementingkan itu semua. Ia hanya ingin membuktikan bahwa dirinya juga bisa melakukan sesuatu yang bisa dilakukan orang lain. Ia hanya ingin membantah pandangan yang selalu membuatnya terbelakang. Seolah-olah dialah manusia paling malang.

Makassar, 31 oktober 2012

Selasa, 17 September 2013

HEMPASAN MIMPI YANG NYATA



OLEH: NUR SYARIF RAMADHAN


            Aku tahu, pasti diantara kalian, ada yang  telah mengetahui namaku. Iya kan? Baiklah, meskipun diantara kalian sudah ada yang mengenalku, tak apalah aku memperkenalkan diri. Namaku Nur Syarif Ramadhan. Hanya tiga kata. Gampang kan mengingatnya? Sebagai tanda persahabatan kita, kalian boleh memanggilku Ram. Ups, ada apa? Ada yang aneh dengan nama Ram?, iya. Aku tahu kok. Pasti diantara kalian ada yang merasa aneh dengan nama itu. Apalagi jika kalian pernah atau sedang membaca buku Tere Liye yang berjudul: “NEGERI PARA BEDEBAH”, pasti kalian akan merasa jengkel, marah, dan benci akan nama tersebut. Tapi sudahlah. Tak perlu pusing dengan Ram yang ada dalam buku tersebut. Toh, Ram yang itu hanya fiksi. Ayolah, segeralah lupakan. Mari kalian fokuskan perhatian kalian kepada sosok Ram yang lain. Ram yang sedang kalian baca tulisannya ini.
Sebelum kalian membaca lebih lanjut tulisan ini, kalian harus tahu, bahwa sosok yang mengetik tulisan ini adalah sosok yang sedang berusaha belajar. Belajar apa? Belajar apa saja yang bisa ddipelajari. Jadi ketika kalian menemukan kesalahan apapun dalam tulisan ini, harap dimaklumi. Namanya juga baru belajar, kesalahan sekecil apapun dapat terjadi.
Kalian mungkin bingung, apa sih maksud dari tulisan ini? Ah, sudahlah. Aku mohon maaf jika harus memulainya dengan cara tak lazim seperti ini. Harus kujelaskan, tulisan ini akan berisi sebuah kisah yang mungkin membosankan, menyenangkan, mengasyikkan, dan bahkan menginspirasi bagi kalian yang membacanya. Aku tak berani membuat kesimpulan. Entahlah, biar kalian nanti yang menarik benang merahnya. Lantas, kisah siapakah yang akan kalian baca? Jangan khawatir, aku ini bukan penggosip yang seenaknya menceritakan aip orang lain. Aku akan menceritakan kisahku sendiri. Sebuah kisah nyata yang kini telah memberiku pemahaman baru akan sebuah mimpi. Sebelum aku menceritakannya, kalian harus tahu bahwa aku ini seorang penyandang disabilitas. Kedua bola mataku tidak bisa bekerja secara maksimal sejak aku masih bayi. Orang luar sana menyebutnya lowvision. Kenapa? Kalian heran? Astaga, tenanglah. Jangan bertanya dulu. Sebentar lagi keheranan dan pertanyaan kalian akan terjawab dalam kisahku ini. Here we go!

* * *
            Seperti yang kalian ketahui, aku ini seorang penyandang disabilitas. Layaknya penyandang disabilitas pada umumnya, aku juga banyak mengalami tindakan diskriminasi. Seperti yang kualami ketika akan masuk keperguruan tinggi. Sebuah pengalaman yang semoga bisa menginspirasi kalian.
            Di kampungku, makassar, ada tiga buah universitas negeri, yakni: Universitas Hasanuddin (UNHAS), Universitas Negeri Makassar (UNM), dan universitas Islam Negeri (UIN). Namanya juga universitas ternama di sulawesi selatan, ketiga kampus ini, menjadi pilihan utama bagi setiap orang yang ingin melanjutkan pendidikannya.
Begitulah, kawan. Dengan bermodalkan kepercayaan diri yang tinggi, aku akhirnya mendaftar juga ke universitas tersebut. Waktu itu, aku memilih UNHAS sebagai pilihan pertama, dan UNM sebagai pilihan kedua. Tahukah, kawan, ada rahasia tersendiri dibalik pilihan tersebut. Penasaran? Baiklah. Aku berjanji, suatu saat aku akan menceritakannya. Tidak sekarang tentunya.
Singkat kata, aku kemudian akhirnya mengikuti tes tertulis seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (snmptn) yang secara serentak, berlangsung selama dua hari. Hingga akhirnya, pengumuman itu pun datang. Sungguh, pengumuman itu sangat membuatku khawatir, kawan. Betapa tidak, waktu itu, jumaat, 6 juli 2012, sekitar pukul 19.00 wita, tiba-tiba saja HP-ku bergetar. Sebuah sms masuk.
“brother, sudah mako liat pengumuman snmptn?, kalau saya ndak luluska.” Itulah bunyi sms yang dikirimkan oleh sahabatku: Baharuddin (saat ini kuliah di sekolah tinggi ekonomi islam yogyakarta). ketika aku selesai membaca sms itu, sedikit rasa pesimis menyelusup dan mencoba mengusik rasa optimis yang telah setengah mati kukumpulkan. Sontak, aku langsung memikirkan dua hal. Pertama, bukankah pengumuman snmptn baru keluar pada besok hari? (tanggal 7 juli 2012). Kedua, jika Baharuddin benar tidak lulus, bagaimanalah denganku?. Harus kalian ketahui, kawan, Baharuddin merupakan siswa yang memiliki nilai tertinggi di sekolahku untuk jurusan IPS. Sedangkan aku, hanya berada di posisi kedua. Bagaimanalah ini? Aku langsung me-reply sms itu, dan menanyakan apakah pengumuman itu sudah betul-betul keluar? Ternyata benar, kawan. Pengumuman itu memang sudah ada. Namun baru bisa di cek pada website resmi snmptn.
Meskipun pengumuman itu sudah ada, tapi malam itu, aku tak langsung mengeceknya. Entahlah. Aku belum siap mengetahuinya. Akhirnya kuputuskan untuk melihatnya keesokan harinya.
Sabtu, 7 juli 2012, sekitar pukul 07.37 pagi, aku dibangunkan oleh Hp-ku yang kembali bergetaar. Sebuah sms kembali masuk. Kembali dari sahabatku: Ummu Kalsum (saat ini belajar di BLKI).
“Ram, sudah kau lihat pengumuman snmptn? Bagaimana hasilnya? Saya sendiri tidak lulus”. Itulah sms kedua dari sahabatku. Ternyata mereka semua tidak lulus. Rasa pesimis semakin membesar. aku langsung bergegas menyalahkan laptop. Aku harus segera melihat pengumuman itu. Dan, seperti yang kalian ketahui, ternyata nasipku berbeda dengan kedua sahabatku itu. Di website resmi snmptn tertulis dengan indah: “Nur Syarif Ramadhan, dengan nomor peserta: 212-82-00131, lahir di Bontolangkasa, 13 maret 1993, anda lulus pada prodi: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Universitas Negeri Makassar). Selamat atas kelulusan anda!!!”.
Pesimis itu akhirnya berguguran, kawan. Saat itu aku merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Mungkin menurut kalian itu berlebihan, kawan. Tapi tak apalah. Memang itulah yang kurasakan saat itu. Namun, ujian sebenarnya baru akan dimulai. Peristiwa kelulusanku itu telah memberiku pemahaman baru. Ternyata, nilai ataupun peringkat sewaktu sma, tidak bisa menjadi jaminan lulus tidaknya seseorang keperguruan tinggi.
Jadi, bagi kalian yang mungkin semasa sma, tidak memiliki prestasi terlalu bagus di bidang akademik, jangan resah, kawan. Tetaplah berjuang. Tuhan selalu ada buat hambanya yang selalu berharap dan berusaha. Kepintaran tidak bisa menjamin keberhasilan seseorang. Tapi kepintaran bisa menjadi modal berharga yang dapat menuntun seseorang ke gerbang keberhasilan. Dan pada dasarnya, semua orang itu memiliki kecerdasan yang sama. Kitalah yang harus mengolah kecerdasan tersebut agar bisa digunakan.
* **
Dua hari kemudian, tepatnya senin, 9 juli 2012, setelah mengurus kelengkapan berkas, aku langsung menuju ke kampus universitas negeri makassar yang lokasinya di sekitar jalan AP PETTARANI Makassar. Dari asrama tempat tinggalku, aku harus dua kali naik angkutan umum (pete-pete) untuk berada di kampus tersebut. Tentu saja aku berangkat sendiri, kawan. Mobilitasku telah terlatih untuk melakukannya.
Begitulah, kawan. Selama ini banyak kalangan yang mengira jika seorang penyandang disabilitas netra tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain. Tentu saja itu salah, kawan. Memang sih, dalam hal tertentu, seorang penyandang disabilitas butuh bantuan orang lain. Namun, masih lebih banyak hal lain yang bisa dikerjakan oleh seorang penyandang disabilitas secara mandiri tanpa melibatkan orang lain.
Pagi itu, dalam perjalanan menuju kampusku, diatas kendaraan umum itu, aku bertemu dengan seorang ibu yang mungkin keheranan dengan keberanianku untuk bepergian sendiri tanpa bantuan orang lain. Baiklah, tak ada salahnya kalian ketahui kejadian itu sebelum kita tiba ke bagian utama cerita ini.
Sekitar sepuluh menit sebelum aku tiba di tempat tujuan, seorang ibu tiba-tiba berbicara kepadaku. Ketika itu, tak terlalu banyak penumpang yang berada diatas angkutan umum tersebut.
“mau kemana, dek?” aku tertegun sejenak. Dengan sisa-sisa penglihatan yang kumiliki, aku mencoba memperhatikan orang tersebut. Seorang ibu-ibu muda. Entahlah aku tak bisa memprediksikan usianya. Aku lalu menyebutkan tempat tujuan.
“kenapa berangkat sendiri? Apa tidak ada yang bisa menemani?.” aku mengangguk mengiyakan.
“astaga, dek, itu berbahaya sekali!.”. aku hanya tersenyum menanggapinya. Senyap sejenak. Aku tak tahu hendak berkata apa.
“memangnya, adek mahasiswa?”
“baru mau jadi mahasiswa. Alhamdulillah, saya lulus di UNM, bu’.”. kali ini aku berbicara. Berusaha lebih seksama memperhatikan lawan bicaraku. Dua detik kemudian aku mendengar decakan kagum darinya.
“apakah adek tidak takut?”
“Takut apa yaa?”
“begini, dek, adek kan sekarang sedang bepergian sendiri. Nah, apakah adek tidak takut tersesat? Apalagi sekarang, kota ini sudah sangat ramai. Tak terbilang lagi jumlah kendaraan yang berlalu-lalang. jika missalnya suatu hal buruk terjadi, misalnya ketika adek sedang berjalan sendiri, apakah adek tidak menyadari bahwa kapan saja, adek bisa terserempet ataupun tertabrak kendaraan?.”. Hatiku terlonjak mendengar kalimat terakhir. Ada rasa ketersinggungan yang tak kusadari telah masuk dalam hatiku. Aku terdiam sejenak. Mencoba berpikir, entah apa yang harus kukatakan pada orang dihadapanku ini. Belum lagi ada kata-kata yang keluar dari mulutku, ibu itu kembali mengatakan sesuatu yang mengakibatkan level ketersinggunganku menjadi meningkat.
“dek, seharusnya kau tidak usah sekolah. Kau sebaiknya tinggal di rumah saja. Buat apa kau bersusah-susah untuk bersekolah. orang normal saja— yang susah paya untuk bersekolah, demi untuk mencari pekerjaan, banyak yang jadi pengangguran. Apalagi orang sepertimu, dek. Saat ini, sebaiknya kau bersantaisaja di rumah. Toh orang tuamu pasti berkecukupan kan?” aku mencoba mengendalikan perasaanku. Rasa-rasanya aku sudah ingin meninju orang dihadapanku ini.
“dek, kalau pun tuhan menakdirkan kau untuk bersekolah, pasti iya akan mengembalikan penglihatanmu. Tidak justeru membiarkanmu seperti ini.”. Astaga, aku sungguh tidak menyangkah, kalau orang dihadapanku ini akan mengeluarkan pandangan ekstrim seperti itu. Naluriku memaksaku untuk membantah. Dengan emosi yang berusaha kutahan, akhirnya aku berkata.
“maaf, bu, apakah ibu pernah mendengar seorang disabilitas netra tertabrak kendaraan?” terdiam. Lima detik berlalu. Tetap tak ada jawaban.
“disabilitas netra itu seperti saya, bu. Orang yang memiliki keterbatasan pada indera penglihatannya. Nah sekali lagi, bu, apakah ibu pernah melihat ataupun mendengar orang seperti saya tertabrak kendaraan?”. satu detik. dua detik. lima detik. Akhirnya ada jawaban.
“belum, dek.”
“sekarang, apakah ibu pernah melihat ataupun mendengar seseorang yang secara fisik baik-baik saja, tak ada masalah pada matanya, tertabrak kendaraan?”
“sering, dek.”
“nah, berarti ibu yang harus berhati-hati.” Akhirnya kata itu terucap juga. Entah dari mana keberanian itu muncul. Hingga aku berani mengatakan kalimat terakhir itu.
Ibu itu terdiam. Aku pun demikian. Senyap sejenak. Hanya suara mesin mobel pete-pete itu yang terdengar. Tiga puluh detik berlalu. Aku masih ingin berbicara. Jelas sekali, ibu yang sedang menjadi lawan bicaraku ini telah salah menapsirkan tentang takdir tuhan. Aku hendak meluruskan pemahaman orang ini. Sayangnya, ketika baru saja aku ingin menggerakkan bibir, mobil itu berhenti. Sopir pete-pete berseru riang. Entahlah. Mungkin ia tak memperhatikan kejadian yang baru saja terjadi diatas mobilnya.
“dek, kau turun di unm kan? Kita sudah di unm sekarang”. suara berat namun riang itu memberitahu. Aku memang telah memberitahukan tempat tujuanku sebelum naik tadi pada sopir pete-pete tersebut. Aku mengangguk sejenak. Sesaat kemudian aku sudah turun.
“terimakasih, pak, ya…”. Ucapku pada sang sopir sambil memberikan beberapa lembar kertas berharga. Mesin pete-pete itu meraung sejenak, sebelum berlalu meninggalkanku. Kalian mungkin penasaran, apakah yang ingin kukatakan pada ibu itu? Aku hanya ingin memberitahukannya, kalau seorang penyandang disabilitas juga bisa melakukan sesuatu hal yang kebanyakan orang lakukan. Penyandang disabilitas juga bisa menempu pendidikan layaknya masyarakat pada umumnya. Aku hanya bisa berdo’a dalam hati, semoga tuhan memberikan pencerahan kepada ibu tersebut. Sehingga ia tidak berpandangan buruk lagi kepada penyandang disabilitas, kususnya disabilitas netra sepertiku.
* * *
Sekarang, aku berada di keramaian jalan AP PETTARANI makassar. Padat sekali. Tentu saja, itu sangat menyulitkan bagi seseorang yang ingin menyebrangi jalan tersebut. Aku mencoba mengenali tempat itu. Ternyata, mata suapku cukup membantu. Aku saat ini berada di depan gedung Phinisi. Salah satu gedung yang dimiliki oleh universitas negeri makassar. Harus kalian ketahui, gedung ini memiliki tujuh belas lantai. Bangunannya menyerupai perahu Phinisi. Jika suatu saat kalian ke makassar, tak ada salahnya kalian melihat-lihat gedung ini. Sayang sekali, mata suapku sudah tidak bisa menggambarkan kepada kalian betapa indahnya gedung ini.
“kau mencariku, Ram?”. Suara lembut itu menyapa. Namanya Hafsah. Seorang volunteer. Ialah yang akan menemaniku hari itu.
“padat sekali, ram. Kita harus bergegas. Ada ribuan calon mahasiswa baru yang agendanya sama dengan kita. Berkasmu sudah lengkap?” aku mengangguk. Tanpa dikomando, Hafsah langsung menarik tanganku. kami harus membawa berkasku ke gedung BAAK Unm. Waktu itu, gedung ini letaknya berhadapan langsung dengan gedung Phinisi. Jadi, kami tak begitu sulit menemukannya.
Setelah melewati antrian yang begitu melelahkan, akhirnya berkasku pun telah ku kumpulkan. Seorang ibu berjilbab hijau tersenyum menerimanya. Ibu itu lalu menyerahkan tiga lembar kertas formulir, beserta sebuah map merah dan sebuah buku tebal yang merupakan buku panduan dari universitas.
Hafsah menuntunku menyusuri koridor gedung tersebut. ia membawaku ke sebuah bangku panjang. Di sana, ia mengisi formulir pemberian ibu tadi. Tentu saja, ia menuliskannya untukku. Kurang dari sepuluh menit kemudian, kertas-kertas itu telah terisi. Selanjutnya, aku harus mengikuti tes kesehatan, sebelum kembali menyerahkan kertas formulir itu.
Hafsah kembali menuntunku kesebuah ruangan. Cukup besar. Ukurannya sekitar setengah lapangan sepak bola. Penuh sekali. Ruangan itu telah dibanjiri oleh ratusan bahkan ribuan calon mahasiswa lain. Mereka juga sedang mengikuti tes kesehatan.
Kesabaranku betul-betul teruji hari itu. Empat jam aku menunggu. Namun dokter pemeriksa kesehatan itu belum memanggil namaku. Tubu kecilku mulai kelelahan. Lelah selama empat jam berdesak-desakan dengan calon mahasiswa lain. Aku mengeluh dalam hati. Hafsah pergi entah kemana. Tadi, sebelum masuk ruangan, ia dicegah oleh salah seorang petugas. Entahlah. Aku tak tahu apa yang terjadi.
Lima belas menit berlalu. Tubu kurusku masih meringkuk. Berusaha menahan panas yang mulai menggila. Tak ada satupun pendingin ruangan yang ada di tempat itu. Mata suapku mencoba mencari keberadaan Hafsah. Nihil. Ia sama sekali tidak berada di ruangan itu.
“Nur Syarif Ramadhan!.” Akhirnya petugas itu meneriakkan namaku lima menit kemudian. Dengan ragu-ragu, aku melangkahkan kaki menuju ke sebuah meja. Semoga perkiraanku benar. Seharusnya Hafsah ada di tempat itu. Aku tak tahu hendak berkata apa jika dokter pemeriksa itu mengetes penglihatanku. Akupun tak tahu, apakah meja yang kutuju sudah benar atau tidak.
Syukurlah, perkiraanku tepat. Aku telah menuju ke meja yang benar. Meja berukuran sedang itu diapit oleh dua buah bangku kecil. Dokter pemeriksa itu duduk di salah satu bangku. Aku langsung duduk di bangku yang satunya. Jujur, aku gugup sekali waktu itu. Apalagi ketika bersitatap dengan dokter itu. Semoga saja ia tidak mempermasalahkan mataku.
“kau merokok?”. Dokter pemeriksa itu membuka percakapan dengan bertanya.
“tidak, pak.” Aku menjawab mantap. Dokter itu terdiam. Ia lalu mengambil selembar kertas dari atas meja. Menulis sesuatu. Kemudian ia menjangkau sebuah benda kecil yang langsung di tempelkan ke dadaku. Rasa gugup membuatku tak memperhatikan benda kecil tersebut.
Sesaat kemudian, tes kesehatan itu selesai. Aku diberi selembar kertas. Mungkin itulah hasil tesnya. Aku berdiri dari bangku itu. Sejauh ini tak ada masalah. Aku sudah melewati tes itu. Aku bergegas. Mengikuti calon mahasiswa lain. menuju pintu keluar ruangan besar itu. Saat itulah Hafsah muncul.
“dari mana?” aku langsung memulai pembicaraan. Terdiam. Berpikir sejenak.
“ada masalah, ram.”
“masalah apa?” kembali terdiam. Satu detik. Dua detik. Lima detik.
“aku sudah mengikuti tes kesehatan itu.” Ucapku kemudian, sambil membentangkan kertas yang kuterima dari dokter itu lebar-lebar.
“ia, ram. Saya tahu. Tapi, kertas ini masih perlu ditandatangani oleh kepala policlinik universitas.”
“apa susahnya? Bukankah kita hanya membutuhkan tandatangannya?” Hafsah menggeleng. Tak bersuara. Ia langsung menarik tanganku. Kami lalu menuju pintu keluar. Dua langka lagi dari pintu keluar, kami berhenti. Di situlah aku harus menyerahkan hasil pemeriksaan itu untuk kemudian ditandatangani. Hafsah mengambil kertas itu dari tanganku. Ia langsung meletakkannya di atas meja.
“berkas siapa ini?” kepala policlinik itu rupanya seorang perempuan. Aku tak begitu jelas melihatnya. Hanya suaranya yang membuatku mengetahuinya. hafsah menatapku.
“ooh. Vakultas apa?”
“ilmu social bu. Prodi ppkn.” Kali ini aku yang menjawabnya. Ibu itu nampaknya lebih memfokuskan perhatiannya kepadaku. Pandangan kami bertemu. Kali ini aku bisa lebih jelas memperhatikannya. Ibu itu memakai jilbab ping.
“kau tunanetra yaa?” terdiam. Hafsah menatapku. Aku mengangguk. Ibu itu langsung menjangkau berkasku yang sudah terletak di atas meja. Membacanya sejenak. Menatapku kemudian. Membaca lagi dengan lebih teliti. Lalu kemudian menggeleng.
“maaf, berkasmu saya tahan dulu. Kau sepertinya tidak bisa berkuliah di vakultas dan prodi yang kau inginkan.” Ibu itu melipat berkasku, dan langsung memasukkannya ke dalam sebuah map.
“kenapa, bu?” tanyaku kemudian.
“bukankah ibu tinggal menandatangani berkas saya? Saya kan sudah lulus pada tes kesehatan bu!” aku mencoba berbicara sedikit keras. Ibu itu terdiam. Ia mengambil selembar kertas berukuran kecil. Ia menuliskan sesuatu. Kemudian menyerahkan kertas itu pada hafsah.
“itu nomor telpon saya. Maaf, saya tidak bisa menjelaskannya sekarang. Sebaiknya kalian datang lagi besok. Kita ketemu di policlinik universitas besok sekitar jam sembilan. Bagaimana?” aku tak terima. Aku menggeleng.
“maaf. Saya masih harus melayani ribuan calon mahasiswa lain. Sebaiknya kita bicarakan masalah ini besok.” Aku bergumam dalam hati. Masalah apa yang dimaksud ibu itu?, Hafsah menarik tanganku. Kami Keluar dari ruangan itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Ruangan itu terlalu sesak, sehingga Aku tak bisa berpikir cepat.
Hafsah menuntunku keluar dari ruangan itu. Ia membawaku kesebuah bangku panjang yang tadi telah kami tempati untuk mengisi formulir. Kami langsung duduk.
“urusan ini serius, ram. Ibu tadi tidak main-main.” Hafsah langsung membuka pembicaraan. Aku sebenarnya sudah mencemaskan tes kesehatan itu, kawan. Sudah ada beberapa kasus penyandang disabilitas di makassar, yang dipersulit pada bagian itu. Entah apa alasannya. Padahal, dokter sendiri sudah memberikan penjelasan bahwa disabilitas itu bukanlah sebuah penyakit.
Tapi, kusus masalah ditahannya berkasku tadi, aku sendiri meyakini kalau aku tidak ada masalah dengan tes kesehatan. Buktinya, dokter pemeriksa kesehatan itu tidak mempersulitku. hanya ketua policlinik yang tidak mau menandatangani berkas hasil pemeriksaan itu. Mungkin saja, aku bermasalah karena aku melulusi vakultas dan prodi yang selama ini belum pernah menerima mahasiswa istimewah sepertiku.
Perlu kalian ketahui, kawan, aku bukanlah satu-satunya penyandang disabilitas netra yang lulus di universitas negeri makassar pada tahun itu. Ada satu lagi penyandang disabilitas netra yang juga berhasil lulus di universitas yang sama denganku. Namanya Irwan. Ia lulus di vakultas ilmu pendidikan, prodi PLB (pendidikan luar biasa). Aku langsung mengontak Irwan. Dan ternyata, ia tak memiliki masalah apapun. Berkasnya tak ditahan seperti diriku.
Satu-satunya prodi di universitas negeri makassar yang paling sering menerima mahasiswa disabilitas adalah prodi PLB. Sudah tak terhitung lagi penyandang disabilitas yang menerima gelar sarjana pada prodi tersebut. Aku semakin yakin, jika pihak universitas sengaja mempersulitku karena aku melulusi prodi yang sama sekali belum pernah menerima seorang mahasiswa disabilitas netra sepertiku. Itulah salah satu bentuk diskriminasi yang terjadi di kampungku, kawan, kususnya di universitas negeri makassar.
Sekitar pukul dua siang, aku dan Hafsah beranjak meninggalkan gedung itu. Tak ada hal penting lagi yang harus kuurus di sana. Aku langsung menuju ke asrama tempat tinggalku. Ditengah perjalanan, aku mengontak salah seorang teman yang saat itu aktif disebuah organisasi yang bernama: Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI sulawesi selatan). Aku menceritakan kejadian yang kualami hari itu lengkap dengan analisaku. Aku membutuhkan bantuan dan dukungan dari PPDI jika nanti pada akhirnya pihak universitas tak membolehkanku untuk berkuliah di prodi yang telah kululusi. Hasilnya, mereka akan berusaha membantu jika memang hal itu terjadi.
* * *
Keesokan harinya, tepatnya pukul sembilan pagi, aku kembali berada di gedung baak universitas. Hafsah kembali mendahuluiku tiba di tempat tersebut. Selanjutnya kami harus menuju ke bagian policlinik universitas. Letaknya berada di bagian belakang gedung baak. Di sana, telah menunggu seorang ibu yang kemarin telah menahan berkas hasil tes kesehatanku. Hafsah mengatakan Ibu itu bernama ibu Nusra.
Aku memasuki sebuah ruangan. Ukurannya tak begitu luas. di dalam ruangan itu, terdapat beberapa meja dan beberapa sofa model terbaru. Ibu Nusra mempersilahkan kami duduk. Ternyata, bukan hanya aku yang akan berurusan dengannya hari itu.
Di dalam ruangan itu, ada lima  calon mahasiswa lain yang juga mengalami nasip serupa denganku. Dan tahukah, kawan, mereka juga penyandang disabilitas. Dua diantara mereka mengalami masalah dengan kakinya, dua orang lagi mengalami kelainan pada tangannya (disabilitas daksa). Seorang lagi aku tak tahu.
“saya rasa, semua sudah hadir.” Ibu Nusrah membuka dialog pagi itu. Semua pandangan tertuju padanya.
“baiklah. Kita mulai saja. Jadi begini, sebelumnya saya mau Tanya. Apakah kalian mengetahui, apa permasalahan yang menyebabkan berkas kalian ditahan?” ibu Nusra bertanya. Lengang. Tak ada yang berani bersuara.
“kami tidak lulus pada tes kesehatan, bu.” Aku menjawab. Memang, jawaban yang paling tepat sepertinya hanya itu.
“kau salah, nak. Kenapa kau berpikiran seperti itu?”
“begini, bu, saya baru mengalami penahanan berkas ketika melewati tes kesehatan itu, bu. Jadi saya berpikir, permasalahannya terletak pada tes kesehatan itu.” Ibu Nusra berdehem pelan. Ia menggeleng.
“sebenarnya kalian semua sudah lulus pada tes kesehatan itu.”
“lantas, kenapa berkas kami ditahan?” akhirnya dua orang yang tepat berada di sampingku memberanikan diri bertanya. Ibu Nusra berdehem lagi. Menyibak tumpukan berkas yang ada di hadapannya. Mencari sesuatu.
“kalian semua melulusi prodi kependidikan. Ada aturan internal kampus ini, yang tidak membolehkan seorang yang memiliki keterbatasan seperti kalian, untuk berkuliah di prodi yang berhubungan langsung dengan dunia kependidikan.” Ibu Nusra menjelaskan. Kembali lengang. Hanya suara kertas berserakan yang terdengar.
“jadi kami harus bagaimana, bu?” seseorang kembali bertanya.
“kalian harus pindah jika kalian masih ingin berkuliah di sini.”
“maksud ibu pindah prodi?” kali ini aku yang bersuara.
“iya.” Jawaban singkat itu membuatku terdiam. Aku berpikir sejenak. Entah apa yang ada di pikiran kelima orang itu. Moga saja mereka sependapat denganku.
“maaf, ibu, saya punya teman yang juga lulus tahun ini di kampus ini. Ia lulus di prodi pendidikan luar biasa. Ia juga seperti saya. Memiliki keterbatasan pada penglihatannya.”
“oooh, kalau prodi itu tak ada masalah.” Ibu Nusra memotong penjelasanku.
“bukankah prodi itu juga prodi kependidikan?”
“iya. Tapi prodi itu berbeda dengan prodi pendidikan lain. Kalian boleh pindah ke prodi itu.” Aku menggeleng. Menelan ludah. Mencoba kembali berpikir.
“maaf, ibu. Saya tidak mau pindah. Saya telah lulus di prodi ppkn, berarti saya juga harus berkuliah di ppkn. Asal ibu ketahui, saya telah berusaha belajar keras hanya untuk bisa berkuliah di prodi itu. Saya tidak mau perjuangan itu berakhir sia-sia.” Aku berkata tegas. Ibu Nusra terdiam. Perlahan menggeleng. Ia menatapku lamat-lamat.
“tapi saya bukan penentu kebijakan, nak. Saya juga hanya diperintahkan seperti ini.” Kali ini suara ibu Nusra terdengar pelan.
“baik, bu. Kalau begitu, saya ingin bertemu dengan orang yang memerintahkan ibu. Saya juga ingin mengetahui aturan apa yang melarang seorang penyandang disabilitas untuk berkuliah di prodi kependidikan.” Aku kembali berbicara. Kali ini suaraku semakin tegas.
“baiklah. Nanti saya akan menghubungi para petinggi universitas.”
“saya butuh kepastian, bu. Bukankah batas pendaftaran ulang mahasiswa baru tersisa dua hari lagi?”
“iya. Saya janji. Saya akan melakukannya secepat yang saya bisa. Yang pasti, kalian sudah sembilan puluh persent bisa berkuliah di sini.” Dialog pagi itu pun usai. Hafsah langsung menarik tanganku. Kami langsung keluar ruangan. Tak disangka, setibanya di luar ruangan, kelima calon mahasiswa yang tadi berada di  ruangan policlinik itu, mendatangiku. Mereka ternyata meminta bantuan. Mereka juga tak mau pindah prodi. Mereka juga ingin tetap berkuliah di prodi yang mereka lulusi. Aku mengangguk. Menyuruh mereka berdo’a. semoga saja kita tidak di pindahkan. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Mereka mengiayakan. Aku pun meninggalkan kampus itu lima menit kemudian. Aku kembali ke asrama tempat tinggalku.
Hari itu juga, sekitar pukul empat sore, hp-ku tiba-tiba bernyanyi. Ada sebuah panggilan masuk. Aku langsung mengangkatnya.
“assalamu alaikum.”
“walaikum salam.” Jawab suara di seberang sana.
“dengan Nur Syarif Ramadhan?” penelpon itu bertanya.
“iya. Maaf, ini siapa?”
“saya Ibu Nusra.” Aku terkejut mendengar nama itu.
“iya, bu. Ini saya sendiri, bu.” Kataku kemudian dengan intonasi lebih serius.
“jadi begini, nak. Saya sudah berbicara dengan pimpinan universitas. Kau diberikan kesempatan untuk berkuliah di prodi ppkn.” Mendengar kabar itu, rasa bahagia langsung menyelimutiku. Aku sontak bersyukur dalam hati. Pembicaraan telepon itu telah terhenti. Tak lupa aku menanyakan kabar kelima calon mahasiswa lain itu pada Ibu Nusra. Alhamdulillah, mereka juga mendapatkan kesempatan yang sama denganku. Mereka juga bisa berkuliah pada prodi yang mereka lulusi.
* * *
Demikianlah kisah perjuanganku waktu itu, kawan. Saat ini aku sudah memasukki semester tiga pada prodi ppkn universitas negeri makassar. Dan sebagian besar mimpiku itu telah tercapai. Mimpi untuk bisa berkuliah layaknya orang lain. Aku sudah setenga perjalanan menuju cita-cita terbesar itu. Hempasan mimpi itu telah membawaku menapakki jalan yang benar. Jalan yang akan membawaku ke gerbang keberhasilan nantinya.
Aku bukanlah orang bijak, kawan. Tapi aku akan memberi kalian beberapa kalimat penutup yang semoga bisa membangkitkan semangat kalian untuk selalu berada pada koridor keberhasilan.
Sungguh, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu, suhu dan tekanan yang tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya, maka jika dia bisa bertahan, tidak hancur, dia justeru berubah menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal harganya. Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita alami, semakin dalam dan menyedihkan rasannya, jika kita bisa bertahan, tidak hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan. Keras. Kokoh.
Untuk membuat sebilah pedang terbaik, pandai besi harus memanaskannya di tungku dengan suhu memerihkan wajah, menghantamnya berkali-kali, menempanya berulang-ulang, dan itu pekerjaan panjang penuh kesabaran serta ketekunan. Sekali prosesnya selesai, beres, maka sepotong besi biasa, tumpul, jelek telah berubah menjadi sebuah pedang tajam, gagah, dan bisa menebas apapun. Indah sekali. Begitulah kehidupan ini. para pembelajar kehidupan terbaik, harus ditempa berkali-kali, melewati situasi yang berat, jatuh bangun, hamper berputus asa, hingga akhirnya berubah menjadi seseorang yang 'tajam' dan bisa menebas ujian kehidupan manapun.