Judul Buku: Bumi
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: 55.000.
http://www.bukukita.com/?mId=227542
Tebal Buku: 438 Halaman
Tahun Terbit: 2014
Sebenarnya,
aku sudah pernah membaca sedikit potongan cerita ini beberapa waktu yang lalu.
Tepatnya ketika aku baru saja bergabung dengan page Bang Darwis Tere Liye.
Kira-kira sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, Bang Darwis perna memposting
cerita ini di page-nya tersebut. Sayangnya, ceritanya terhenti di episode 20,
dan ternyata penulisnya menerbitkan cerita versi lengkapnya di tahun ini.
Sejak
membaca novel Bidadari-bidadari Surga, aku sudah merasa cocok dengan gaya
menulis Tere Liye. Menurutku, beliau sangat pandai meramu kata yang kemudian menjadi
kalimat-kalimat yang enak dibaca. Pun disetiap novelnya, Tere Liye selalu
berusaha menyelipkan sepotong cerita ataupun kalimat-kalimat yang begitu
menggugah serta menginspirasi. Itulah nilai lebih yang kutemukan dari
novel-novel Tere Liye yang sangat jarang kutemukan di novel lain.
Kali
ini, Tere Liye muncul dengan gaya baru. Berbeda dengan novel-novelnya yang
lain, Bumi mmerupakan sebuah novel Fantasi remaja yang menyajikan cerita yang
cukup unik serta menegangkan. Ketika membaca novel ini, kita akan banyak
menemukan hal-hal yang mungkin tidak sejalan dengan logika kita dan mungkin
tidak akan pernah masuk akal. Tapi, Tere Liye begitu lihai menggiring pembaca
untuk terus membaca bukunya. Beliau begitu hebat dalam menumbuhkan rasa ingin
tahu pembaca sehingga ketika kita mulai membaca novel ini, rasanya kita sulit
melepaskannya sebelum tuntas membacanya. Saya sendiri, membutuhkan dua hari
lebih untuk menuntaskan novel ini.
***
“Apa pun yang
terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak
selalu lenyap seperti yang kita duga. Ada banyak sekali jawaban dari
tempat-tempat yang hilang."
Adalah Raib,
Karakter aku ataupun sang orator dalam novel ini. Usianya 15 tahun dan sedang
duduk di kelas x SMA. Bersama dua orang temannya, yakni Ali dan Seli, mereka
adalah karakter yang mendominasi novel ini. Melalui sebuah peristiwa yang
terjadi di sekolah mereka, mereka akhirnya harus berurusan dengan sebuah
masalah yang tak terbayangkan. Raib dan Seli adalah dua anak yang memiliki
kekuatan. Keduanya memiliki kemampuan yang juga tak mereka ketahui
asal-usulnya. Meski demikian, kedua anak itu berusaha keras untuk
menutup-nutupi kemampuan tersebut. Hingga akhirnya usia keduanya menginjak 15 tahun, tak ada seorang pun
selain mereka sendiri yang mengetahui akan hal itu. Tetapi, Ali, anak yang
terkenal sebagai biang kerok namun berotak jenius di sekolah, merasa ada yang
aneh pada sosok Raib yang kemudian menumbuhkan rasa ingin tahunya. Dengan otak
jeniusnya, Ali menciptakan peralatan rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai
kehidupan Raib.
Lewat
kecerdasannya itulah, Ali akhirnya mengetahui kekuatan yang ditutup-tutupi oleh
Raib. Si biang kerok yang jenius itu tahu bahwa Raib bisa menghilang. Tetapi,
Raib tidak mau mengakuinya setiap Ali bertanya akan hal itu.
---block
quote---
Aku melirik
dengan ujung mata, biang masalah itu ternyata ikut duduk, tiga langkah dariku.
“Kau bisa
menghilang, ya?” Ali berbisik, berusaha tidak membuat keributan baru, matanya
berbinar oleh rasa ingin tahu.
Aku mengabaikan
Ali, kembali menatap hujan.
“Ini hebat, Ra.
Dari dulu aku selalu yakin ada orang yang bisa melakukan itu. Tidak hanya di
film-film.” Ali bahkan tidak merasa perlu menunggu jawabanku,
mengangguk-angguk.
“Kau gila.” Aku
kembali menoleh, melotot, balas berbisik.
“Apanya yang
gila?”
“Tidak ada yang
bisa menghilang.”
“Banyak yang
bisa menghilang, Ra. Banyak yang tidak terlihat oleh mata, tapi sebenarnya
ada.” Ali mengangkat bahu.
“Tidak ada yang
tidak terlihat oleh mata.” Aku bersikukuh, mulai sebal, “Kecuali yang kau
maksudkan hantu-hantu, cerita-cerita seram itu.”
“Kata siapa
tidak ada?” Ali nyengir, “Dan jelas maksudku bukan hantu-hantu itu. Coba,
lihat,” Tangan si biang masalah itu menggapai ke depan, “Setiap hari,
setiap detik,
kita selalu hidup dengan sesuatu yang tidak terlihat oleh mata. Udara. Kau
bernafas dengannya, tanpa pernah berpikir seperti apa wujud asli
udara, bukan?
Apa udara seperti kabut? Seperti uap? Apa itu oksigen? Bentuknya seperti apa?
Kotak? Lonjong?”
Aku mengeluh
pelan, semua orang juga tahu, si biang masalah ini adalah pendebat yang baik.
“Bahkan, kau
tidak perlu jadi setipis udara untuk tidak terlihat, Ra.” Ali menatapku
antusias, merapikan rambut berantakan yang mengenai ujung mata, “Jika
kau terlalu
kecil, atau sebaliknya terlalu besar dari yang melihat, maka kau bisa
menghilang dalam definisi yang berbeda. Semut, misalnya, kau coba saja
lihat semut yang
ada di lapangan sekolah dari lantai dua ini, dia menghilang karena terlalu
kecil untuk dilihat. Sebaliknya, bumi, misalnya, karena bola
bumi terlalu
besar, tidak ada yang bisa melihatnya benar-benar mengambang mengitari
matahari. Kita hanya tahu saja dia mengambang, dari gambar, televisi,
tapi tidak
pernah melihat dengan mata kepala sendiri, bukan? Tidak terlihat dalam definisi
lain.”
“Sok tahu.” Aku
berbisik ketus.
Ali hanya
tertawa pelan, tidak tersinggung seperti biasanya—tepatnya tidak tertarik
bertengkar seperti biasanya, “Aku tahu sekali, Ra. Internet. Aku membaca
lebih banyak
dibanding siapapun di sekolah ini. Termasuk Miss Keriting dengan semua PR
menyebalkannya. Pelajaran matematika penting katanya, puh, itu mudah
saja, aku bahkan
bisa mengerjakan PR yang dia berikan waktu masih SD. Kau sungguhan bisa
menghilang ya, Ra?”
Aku hampir
berseru jengkel bilang tidak, tapi itu bisa memancing Miss Keriting keluar,
segera menurunkan volume suara, menjawab datar, “T-i-d-a-k.”
“Kau justeru
sedang menjawab sebaliknya, Ra. Iya, kau bisa menghilang.” Ali mengepalkan
tangannya, bersorak dengan gesture badan, “Terima kasih, Ra. Itu
berarti aku
tidak seaneh yang sering orang tuaku katakan.”
Aku
menghembuskan nafas sebal, apanya yang kujawab iya, sialan, kembali menatap
hujan, memutuskan menyerah menanggapi rasa ingin tahu Ali. Aku sepertinya
telah keliru,
bukan hanya dua jam pagi ini saja akan menghabiskan waktu bersama si biang
masalah ini, bahkan boleh jadi seharian, besok-besoknya lagi,
dia akan terus
tertarik mengikutiku, memastikan.
---block
quote end---
lewat sebuah
kejadian yang menggemparkan di sekolah, akhirnya Ali mengetahui segala kemampuan
yang dimiliki Raib. Tidak hanya itu, ia juga mengetahui bahwa Seli, teman
sebangku Raib, juga ternyata memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Lewat
kejadian itu, semua rahasia itu akhirnya terbongkar. Tak hanya itu, peristiwa
menggemparkan yang siang itu terjadi di sekolah mereka juga akan membawa ketiga
anak kelas x itu memasukki dunia baru. Dunia yang berbeda dengan bumi kita.
Disinilah persahabatan antar ketiga anak itu mulai terbina. Kelak, petualangan
di dunia baru itu akan menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang Raib serta
asal-usul kemampuan yang ia miliki.
---block
quote---
Terdengar suara gelembung air meletus. Sekarang terdengar lebih kencang
dari biasanya.
Tidak ada yang
hilang. Aku menatap sekitar, memeriksa. Juga tidak ada yang datang. Itu tadi
pertanda suara apa? Tetapi tiba-tiba aku
berseru tertahan. Astaga! Lihatlah. Semua di sekitar kami telah berubah. Ini
bukan kamarku, bahkan ini entah ruangan
apa. Tempat tidurnya menggantung di dinding. Lampunya berbentuk aneh
sekali, menyala terang. Meja, kursi, semuanya berbentuk aneh. Lemari, kalau itu
bisa disebut lemari, terbenam di dinding. Seprai dan bantal dipenuhi gambar
yang ganjil. Semua terlihat berbeda.
---block
quote end---
---block
quote ---
"Kita
tidak ke mana-mana, Seli. Aku yakin sekali. Ini tetap kota kita, hanya entah
kenapa seluruh rumah, bangunan, gedung tinggi di kota kita berganti dengan
hutan dan balon-balon beton raksasa. Bahkan saat ini, kemungkinan kita sedang
berada di salah satu ruangan rumah Ra. Entah di ruang tengah atau ruang
tamu."
"Tapi... tapi bagaimana dengan..." Seli menunjuk sekeliling
kami.
"Itulah yang membuat semua ini menarik." Ali bersedekap,
bergaya seperti profesor fisika terkemuka. "Kita berada di tempat yang
sama, tapi dengan sekeliling yang amat berbeda. Bahkan orang-orang yang
berbeda."
"Kamu sebenarnya hendak bilang apa sih?" Aku akhirnya
bertanya, tidak sabaran. Tidak bisakah dia menjelaskan lebih detail? Dengan
bahasa yang lebih mudah dimengerti.
Ali
mengangguk. Dia meloncat turun dari sofa melayang, mengeluarkan buku tulis dari ransel yang selalu dia bawa
ke manamana, mengambil bolpoin.
"Kalian perhatikan." Ali membuka sembarang halaman
kosong. Dia mulai menggambar.
Aku dan Seli tahu apa yang sedang dia gambar, sebuah lapangan futsal. Lantas, Ali menggambar lagi sebuah
lapangan bulu tangkis di atas lapangan futsal tersebut, juga lapangan basket.
Terakhir sebuah lapangan voli. Empat lapangan itu bertumpuk di atas kertas. Ali
menggambar bingkai di sekeliling kertas.
"Ini
persis seperti aula sekolah kita, bukan? Ada empat lapangan olahraga di atas
lantainya." Ali menatapku dan Seli bergantian.
Aku dan Seli mengangguk.
"Nah,
aku hanya menduga, bisa jadi keliru, tapi kemungkinan besar tepat, inilah yang
sedang terjadi di sekitar kita. Dunia ini tidak sesederhana seperti yang
dilihat banyak orang. Aku percaya sejak
dulu, bahkan membaca lebih banyak buku dibanding siapa pun karena penasaran,
ingin tahu. Bumi kita memiliki kehidupan yang rumit. Dan hari ini aku
menyaksikan sendiri, ada sisi lain dari kehidupan selain yang biasa kita lihat
sehari-hari. Dunia lain.
"Kalian
perhatikan aula sekolah kita. Ada empat lapangan olahraga di atasnya, bukan?
Jika kita ingin bermain futsal, pasang tiang gawangnya. Jika kita ingin bermain
basket, tarik tiang basketnya. Maka di Bumi, bisa jadi demikian, ada beberapa
kehidupan yang berjalan di atasnya. Berjalan serempak di atasnya."
"Tapi kita
tidak bisa bermain voli, basket, badminton, dan futsal serempak di aula,
Ali." Seli menggeleng. "Akan kacau balau, pemain bertabrakan, bolanya
lari ke mana-mana."
"Itu benar." Ali mengangguk. "Tapi bukan berarti tidak
mungkin. Bumi jelas lebih besar
dibanding aula sekolah. Saat kapasitasnya
besar, Bumi bisa berjalan tanpa saling ganggu. Persis seperti sebuah
komputer yang membuka empat atau lebih program. Bukankah kita bisa
menjalankannya bersamaan? Membuka internet, membuka dokumen, membuka pemutar
musik, dan mengedit foto sekaligus? Ada banyak program yang berjalan serentak
tanpa saling ganggu. Kecuali jika komputernya terbatas, bisa hang atau error.
"Aku
yakin sekali, beberapa sisi kehidupan di Bumi bisa berjalan serentak tanpa
saling ganggu, berantakan, dan bolanya lari ke mana-mana. Setidaknya aku sudah
menyaksikan dua sisi. Sisi pertama, kehidupan di Bumi seperti yang kita jalani
selama ini. Sisi kedua, kota aneh ini, bangunan aneh ini, dan semua benda yang
aneh di sekitar kita. Dua sisi itu berada di satu Bumi, berjalan tanpa saling
memotong."
"Kalau hal itu memang ada, kenapa selama ini tidak ada orang yang
mengetahui bahwa ada dunia lain tersebut di Bumi?" Seli bertanya lagi.
"Yang pertama karena dua dunia
itu terpisah sempurna. Yang kedua, karena kita terbiasa dengan kehidupan
sendiri. Jika seseorang sibuk bermain
futsal di aula sekolah, lantas yang lain sibuk bermain basket, mereka hanya
sibuk dengan permainan masing-masing, tanpa menyadari ada dua permainan
berjalan serentak. Nah, kalaupun ada yang tahu, mereka hanya bisa men duga,
bilang mungkin ada alam gaib atau dunia lain di luar sana. Tapi mereka tidak
pernah mampu menjelaskannya." Ali menjelaskan dengan intonasi yakin.
"Kalau begitu, ada berapa sisi kehidupan yang berjalan serempak di
Bumi?" aku akhirnya membuka mulut. Sebenarnya penjelasan Ali sama sekali
tidak masuk akal. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana membantahnya. Aku
memutuskan bertanya.
"Tidak tahu. Yang pasti, sosok tinggi kurus di aula tadi
menyebutku 'Makhluk Tanah orang-orang
lemah. Itu satu. Dia pasti merujuk penduduk Bumi saat ini. Dia juga menyebut
Seli dengan sebutan Klan Matahari yang berjalan di atas tanah. Itu dua.
Terakhir tentu saja dunia yang kita lihat sekarang. Aku tidak tahu namanya,
kita sebut saja Klan Bulan, karena di mana-mana
ada Bulan termasuk bangunan balon ini. Itu berarti tiga. Mungkin masih
ada lagi dunia lain yang berjalan serentak, tapi aku tidak tahu.
"Kalian tahu, ini keren.
Bahkan Einstein tidak pernah bisa membayangkan ada dunia paralel di sekitarnya.
Dia hanya bisa menjelaskan bahwa waktu bersifat relatif. Einstein mungkin saja
benar, imajinasi adalah segalanya, lebih penting dibanding ilmu pengetahuan.
Tetapi menyaksikan sendiri semua ini, mengetahui pengetahuan tersebut, lebih
dari segalanya." Ali nyengir.
"Fisikawan,
astronom, ahli matematika terkemuka Galileo Galilei hanya bisa membuktikan
teori Heliosentris Copernicus. Entah bagaimana reaksinya jika mendengar ada
dunia lain berjalan serempak di atas Bumi. Kemungkinan dia akan seperti
pendukung teori Geosentris, kaum fanatik tidak berpengetahuan, tidak
percaya."
---block
quote end---
Ringkasan cerita yang aku tuliskan di atas sebenarnya tidak terlalu
mengungkapkan banyak hal, bahkan mungkin bisa dikatakan itu hanya sebatas
pembukanya. Cerita ini jauh lebih kompleks, dan lebih banyak kejadian
menegangkan yang terjadi di dalamnya. Oleh karena itu tentu saja aku tidak
menceritakan semuanya, agar yang belum membaca dapat menikmatinya sendiri.
Jalannya
alur novel bumi ini tidak begitu sulit. Mungkin, di novel Tere Liye yang lain,
teman-teman sering menemukan alur cerita yang maju mundur, tetapi untuk novel
ini tidak demikian. Alur cerita dalam novel ini berjalan teratur dan tidak
terlalu membingungkan. Bagi teman-teman yang menyukai novel remaja maupun novel
fantasi, novel ini sangat cocok untuk anda baca. Ceritanya cukup menarik, seru
dan menegangkan. Jika teman-teman pernah membaca “Narnia”, “Hary Potter”, novel
ini tak kala seru dengan kedua novel tersebut. Semoga saja, bang Tere akan
segera menerbitkan buku lanjutannya (BULAN). Bagi yang sedang dan ingin membaca
buku ini, kuucapkan selamat membaca dan berpetualang!!!
(Kutulis
di Bonto Langkasa, 17-19 juni 2014)