Oleh: Nur Syarif
Ramadhan
Laga
baru memasuki menit ke-5. kedua tim bermain begitu luar biasa! Bola tak pernah
berhenti bergulir. Sungu aksi serang-serangan yang mengagumkan! Tak pelak lagi,
adrenalin pun terombang-ambing. Pendukung kedua tim terhenyak di singasana
masing-masing. Secara terang-terangan, mimik kecemasan pun terpampang jelas di
wajah mereka.
Ini
bukanlah pertandingan antara keseblasan Real Madrid versus barcelona. Apalagi antara Manchester
United versus Manchester
City. Ini merupakan
partai seru yang melibatkan dua SMA negeri ternama di kota
Makassar. Melalui proses yang begitu dramatis
akhirnya kedua SMA tersebut harus saling bertempur dipartai final kompetisi
futsal league tahun ini.
Aku
bukanlah penggemar sepakbola, kawan. Aku juga kurang mengikhlaskan keberadaanku
di tempat ini. Andai saja, lelaki gila itu tidak memaksaku, mungkin aku saat
ini sedang berada di dalam kamar, sambil bereksperimen akan teori-teori Kimia
yang kukuasai. Ataukah aku akan bermain-main dengan ilmuan faforitku: Alberd
Enstein dengan teori relatifitasnya yang hingga saat ini belum kumengerti.
Ataukah mungkin aku akan membaca buku-buku motifasi yang saat ini sedang
bertumpukan di perpustakaan pribadiku!
“semua
siswa harus ke Gor untuk memberikan dukungan!” itulah perintah yang menurutku
sangat otoriter yang keluar dari bibir Pak Sem. Dan jika ia sudah bersabdah,
tak satu pun yang boleh membantahnya. Apalagi kalau hanya seorang siswi seperti
diriku.
Sejenak
kulirik papan skor. Di sana
terterah nama sekolahku: SMA Negeri 9 Makassar, dan SMA Negeri 6 Makassar yang
siang itu menjadi rival sekolahku. Kedudukan masih imbang tanpa gol. Padahal,
pertandingan sudah memasuki pertengahan babak pertama. Menurut info yang
kuketahui, biasanya sekolahku mampu mencetak gol diawal-awal pertandingan.
Namun, kali ini sepertinya sulit. Apalagi tim lawan begitu bersemangat dan
berupaya mengimbangi pertandingan.
Kejenuhan
mulai menyapaku. Dengan tanpa minat sedikit pun, kucoba mengalihkan perhatianku
ke tengah-tengah pertandingan. Tanpak olehku kini bola dikuasai oleh anak-anak
SMA 6. pemain bernomor punggung 8 mempermainkan sikulit bundar dengan sangat
memukau. Dengan lincahnya, ia berhasil mengecoh dua orang pemain dari tim
sekolahku. Sejenak kemudian bola telah berpindah ke kaki pemain nomor punggung
10. ia mempermainkan bola sejenak, dan secara tak terduga, dan diluar perhatian
semua penonton, telah ada dua orang pemain dari tim SMA 6 yang telah berdiri
bebas di depan gawang!. Tanpa menunggu aba-aba, pemain bernomor punggung 10
langsung mendorong bola ke depan!. Sayang, tim kami baru menyadari akan
keberadaan kedua pemain yang berdiri bebas itu. Kini harapan kami berada pada
penjaga gawang. Aku tak sanggup melanjutkan tontonanku. Kucobah mengalihkan
pandangan.
goool!
Kurang dari tiga
detik kemudian, teriakan itu terdengar membahana dan membuat semua pendukung
SMA 6 yang ada di dalam Gor Sudiang berteriak histeris menyambut keberhasilan
timnya mencetak gol!. Tentu saja, para pendukung sekolahku kecewa. Pak Sem tak
bisa menyembunyikan kekecawaannya. Aku melihat, ada dua buah botol air mineral
terjun bebas dari tangannya. Hahaha, aku merasa senang melihat tingkah beliau.
Biar tau rasa dia.
Laga memasuki
menit-menit akhir untuk babak pertama. Kali ini, bola dikuasai oleh para pemain
SMA 9. Rudi, sang kapten berusaha mengatur pasukannya. Ini merupakan kali
pertama SMA 9 kebobolan terlebih dahulu. Ia mencoba menenangkan kawan-kawannya.
“pertandingan
masih lama. Kita masih bisa membalas!” teriaknya lantang. Pertandingan kini
semakin seru. Dengan segala upaya dan kemampuan yang mereka miliki,
pemain-pemain dari SMA 9 berusaha menyeimbangkan keadaan. Rasa bosan kembali
membuntutiku. Akal dan pikiranku menuntunku untuk mencari cara untuk terlepas
dari keramaian yang membosankan ini.
Tiba-tiba saja,
penglihatanku menemukan sesuatu hal yang ganjil. Untuk memastikan hal itu, aku
berusaha lebih menfokuskan pandanganku pada objek tersebut. Di sisi lain Gor
Sudiang, aku melihat seseorang suporter dari SMA 6 yang nampak berbeda dengan
suporter-suporter lain. Aku melihat aura ketenangan dari orang tersebut. Di
tangannya, tergenggam sebuah benda berwarna putih yang berbentuk melingkar dan
panjang. Keanehan juga tampak pada bola mata anak itu. Ada sebuah titik putih yang nampak di kedua
bola matanya. Otakku langsung bekerja dan menghasilkan sebuah hipotesa yang
mengatakan bahwa anak itu pasti punya masalah pada indra penglihatannya. Ia
begitu menikmati pertandingan dengan caranya sendiri.
Entah mengapa,
setelah lebih memperhatikan anak itu, ada rasa ketertarikan yang tibah-tibah
mengusik rasa bosanku. Sampai-sampai berbagai pertanyaan muncul dalam benakku.
Ingin rasanya aku mendekati anak itu. Namun, itu tak mungkin kulakukan. Tensi
pertandingan yang memanas telah membentangkan jurang pemisa yang sangat luas
antara suporter SMA 9 dan SMA 6.
Aku tak bisa
membayangkan, jika saja saat ini aku mendekati anak itu dan mengajaknya
berbincang-bincang sejenak, Kemudian Pak Sem dari singgasananya melihat
seseorang siswi yang mengenakan atribut SMA 9, tiba-tiba berada di
tengah-tengah suporter lawan. Kupastikan dia akan murka semurka-murkanya.
wajahnya akan memerah seperti kepiting rebus yang telah hangus total!. Bukan
hanya itu, kupastikan semua pendukung SMA 9 akan mengutukku habis-habisan
karena menganggapku telah menginjak-injak harkat dan martabat SMA 9. sebelum
laga ini dimulai, pendukung SMA 6 dan SMA 9 telah sepakat untuk tidak saling
berinteraksi selama pertandingan berlangsung. Aku juga tak begitu tau dan tak
mau tau apa penyebabnya.
Terus terang
saja, rasa ingin tahuku akan anak itu semakin lama semakin bertambah. Ingin
rasanya aku melanggar kesepakatan tolol yang telah membatasi ruang gerakku.
Otakku kupaksa mencari ide untuk melakukan hal itu. Sayangnya, semakin kupaksa,
dia semakin melawan dan menentang perintahku.
Sementara itu,
pertandingan babak pertama telah usai. Kedudukan masih 1-0 untuk SMA 6. kedua
tim diberi kesempatan untuk beristirahat selama 5 menit. Dari tempat dudukku,
aku bisa menangkap raut wajah-wajah kecewa dari semua pemain tim sekolahku.
Yang berbeda hanya Rudi. Raut optimis masih menghiasi wajahnya yang oval.
Laga babak kedua
pun segera dimulai. Kedua tim sudah memasukki arena pertandingan. Gor Sudiang
kembali diramaikan dengan nyanyian-nyanyian penyemangat dari masing-masing
suporter. Pertandingan dimulai dengan penguasaan bola untuk SMA 9. di
tengah-tengah arena pertandingan, kini bola berada dihadapan Rudi. Sesaat
kemudian ia mendorong bola ke belakang. Ardan telah menanti di sana. Ternyata bola itu
tidak di tujukan padanya. Bola terus bergulir melewati anak itu. Tanpa
diduga-duga, sesosok bayangan tiba-tiba berlari dari belakang dan langsung menendang
bola tersebut dengan teramat keras. Ini tentu di luar perkiraan anak-anak SMA
6. mereka pun terlambat mengantisifasi akan hal itu. Semua suporter SMA 9
bersorak riang. Sayang, bola itu tidak menemui sasaran dan justru membentur
mistar gawang. Gol gagal tercipta. Kekecawaan kembali berpesta.
Bola kembali
bergulir di sekitar daerah pertahanan SMA 6. dan, sebuah hal luar biasa kembali
terjadi. Kurang dari sepersekian detik kemudian, Rudi dan Ardan telah berhasil
menjangkau bola yang bebas itu. Tim SMA 6 tidak tinggal diam. Dua orang pemain
langsung mengunci pergerakan Ardan dan Rudi. Sang kapten SMA 9 memberi isyarat
pada pemain lain untuk ikut maju. Kali ini bola didorong pada Said. Kurang dari
sedetik kemudian, bola ia kembalikan pada Rudi, dan setelah itu bola berada di
kaki Ardan. Ketiga pemain itu berusaha mencari celah untuk menembus pertahanan
lawan. Laga yang menarik akhirnya menjadi super menarik!
Kucoba
mengalihkan pandangan sejenak. Ekspresi ketegangan ternyata kini telah
menghinggapi para suporter SMA 6. namun, kini aku tak melihat lagi kehadiran
anak lelaki tadi yang sempat mencuri perhatianku. Ke manakah anak itu? Mataku
kini kupaksa bekerja lebih ekstra. Aku begitu ingin berkenalan dengan anak itu,
minimal bisa tau namanya dan berapa nomor HP-nya. entah mengapa, sejenak ketika
aku memandang anak itu, tiba-tiba, ada rasa senang yang masuk ke dalam qalbuku.
Ternyata, anak
itu kini sedang berjalan menuju pintu keluar Gor Sudiang. Aku melihat ada dua
orang yang menuntunnya.
“apakah ia akan
pulang?” pertanyaan itu muncul begitu saja dalam benakku. Tapi instinkku
membenarkannya. Ingin rasanya aku mengejarnya. Satu persatu atribut SMA 9 yang
melekat pada pakaianku kulepas dan kumasukkan ke dalam tas. Setelah itu, aku
mengambil sebuah jaket biru yang cukup mirip dengan seragam suporter SMA 6 dan
memakainya. Tatapan sinis dari teman-temanku tak kupedulikan.
“mau ke mana,
Ga?” seorang dari mereka bertanya.
“aku mau keluar
sebentar.”
“tapi, itu kok
di lepas semua?”
“hmmm, saya
rasa, itu bukan urusanmu!” jawabku mulai jengkel. Semakin lama, anak itu
semakin mendekati pintu keluar. Seketika itu, aku langsung menyusulnya.
Sepintas aku melirik ke belakang. Kini wajah sinis tadi telah berubah menjadi
jengkel. Hmmm tak perlu kupikirkan itu.
Ternyata aku
kehilangan jejak anak itu. Sesampaiku di halaman Gor Sudiang, mataku tak mampu
lagi mendeteksi keberadaannya. Aku jengkel pada diriku sendiri. Galau, mungkin
itulah kata yang tepat untuk menilai kondisi hatiku.
Tiba-tiba saja,
otakku menyuruhku untuk menuju ke suatu tempat. Yah, mungkin anak itu sedang
berada di tempat parkir. Tanpa berbasa-basi, kakiku langsung mengambil
tindakan. Ternyata benar. Anak itu ada di sana.
Namun, harapanku kembali bertolak dengan kenyataan. Anak itu sudah berada di
atas sebuah motor. Seorang anak lelaki kulihat akan memboncengnya.
Aku tak mungkin
lagi berkenalan dengannya. Sebuah kamera digital kukeluarkan dengan cepat dari
tas. Minimal, aku harus bisa mengambil gambar wajahnya.
sayangnya, aku
kembali dikalahkan oleh waktu. Yang berhasil kuabadikan hanyalah sebuah tas
beserta sebuah benda yang dalam keadaan terlipat empat, dan terselip dibagian
depan tas anak itu. Setelah kuteliti lebih detail, ternyata benda itu adalah
sebuah tongkat moderen yang berwarnah putih. Benda itu sebelumnya telah
digunakan anak itu ketika berada di dalam Gor Sudiang. Ingin rasanya aku
mengejar anak itu. aku mencoba mencari akal.
Sementara itu, sayup-sayup
dari dalam Gor Sudiang, aku mendengar teriakan-teriakan bernada kegembiraan.
Mungkin ada gol lagi yang tercipta. aku merasa malas untuk kembali menonton
pertandingan. Mengejar anak itu juga sudah mustahil. Aku baru sadar, ternyata
aku tidak membawa kendaraan ke tempat ini. Akhirnya kuputuskan untuk pulang
saja dengan menggunakan kendaraan umum.
* *
*
Langit begitu
ramah hari ini. sungguh pemandangan yang begitu indah disaat seorang manusia
dapat merasakannya. Sekumpulan awan putih saling beriringan dan tak pernahh
lelah menjalankan titah tuhannya. Terkadang mereka memberikan kesejukan yang
tak ternilai pada manusia.
Tanpa terasa,
sebuah masa-masa indah di bangku SMA telah kulewati. Kehidupan kini memberiku
tanggung jawab baru. Sebuah tantangan lain telah menantiku di Gerbang
Universitas Negeri Makassar. Mahasiswa, sebuah
gelar yang tanggungjawabnya tak semudah mengucapkannya.
Kupandangi
arlojiku yang saat ini sedang melingkar ditangan kiriku. pukul 10.45. aku masuh
harus menunggu sekitar dua jam lagi untuk mengikuti perkuliahan selanjutnya.
Dalam masa penantian itu, kutuntun diriku untuk nongkrong di teras Masjid
universitas. aku memang lebih senang menghabiskan waktu di Masjid dibanding
tempat-tempat lain.
Sebenarnya, aku
sudah ada di kampus sekitar satu jam yang lalu. Agenda utamaku hari ini adalah
ingin mengurus kartu anggota perpustakaan jurusan. Ternyata proses
pengurusannya tidak membutuhkan waktu yang lama. berbeda dengan jurusan-jurusan
lain di Fakultasku yang membutuhkan waktu berjam-jam atau mungkin berhari-hari
hanya untuk membuat sebuah kertas kecil yang ukurannya tidak lebih besar dari
KTP (kartu tanda penduduk). Itulah sebabnya aku datang lebih cepat. Dugaanku,
prosedur pengurusannya sama dengan jurusan lain. Ternyata hipotesaku tidak
benar. Kartu perpustakaanku selesai mereka buat tak kurang dari setenga jam.
jika ingin, sebenarnya aku sudah bisa melakukan peminjaman buku di perpustakaan
tersebut. Namun, tasku sudah terlalu kepenuhan, kuputuskan untuk melakukannya
diwaktu lain.
Tiba-tiba,
mataku menemukan sesosok mahasiswa sedang berjalan ke arah Masjid.
Rasa-rasanya, aku pernahh melihat mahasiswa itu. Aku mencoba mengingat-ingat.
Sementara itu, mahasiswa itu semakin mendekat. Hm, aku semakin penasaran. Di
manakah aku pernahh melihat orang itu?
Sementara
otakku berusaha mengingat, mahasiswa itu kini telah berada di teras Masjid.
Setelah membuka sepatu yang ia kenakan, ia langsung menuju ke tempat
pengambilan air wudhu’. Dua menit kemudian, ia telah berada di dalam Masjid dan
melaksanakan Shalat Duha. Dua rakaat, empat rakaat, enam rakaat, delapan
rakaat. Ia berhenti di rakaat ke delapan. Hingga saat itu, aku masih belum
menemukan ingatanku.
Setelah
mengerjakaan shalat duha, aku melihat mahasiswa itu membuka tasnya. Ia
mengeluarkan dua buah buku tebal-tebal. Kemudian ia lalu mengeluarkan sebuah
buku notes yang berukuran kecil. Sebuah benda aneh tiba-tiba ikut keluar dari
tasnya. Sebuah benda yang mengingatkanku akan sebuah peristiwa.
Seketika itu,
aku langsung membuka tasku sendiri. Dengan tergesa-gesa, kukeluarkan sebuah
laptop dan menyalahkannya. Sesaat kemudian aku telah berselancar di tumpukan
file-file photo yang jumlahnya tak terkira. Aku mencari sebuah photo yang
kupindahkan dari kamera digitalku sekitar tuju bulan yang lalu.
Hampir setengah
jam aku mengutak-atik file yang ada di memori laptopku. Tanda-tanda keberadaan
photo itu belum juga nampak. Aku sangat yakin, photo itu pasti ada. Namun,
ingatanku tidak mampu mendeteksi keberadaanya. Aku mulai diserang rasa bosan
dan putus asa. Ketika aku memutuskan untuk mengakhiri pencarianku, sebuah file
photo tiba-tiba menyeruak dari tumpukan file-file tersebut.
Ahh… inilah
photo itu. Sebuah gambar tas beserta benda yang dalam posisi terlipat empat.
Ingatanku perlahan muncul. Kuteliti baik-baik photo itu. Lalu kubandingkan
dengan benda yang dimiliki mahasiswa yang ada di dalam Masjid. Astaga, ternyata
kedua benda itu sama. Apakah mahasiswa itu orang yang sama dengan lelaki yang
ada di pertandingan waktu itu?, diakah orang yang telah membuat diriku
penasaran?
Ahh… tak
mungkin. Mahasiswa itu normal. Tak ada yang aneh dengan bola matanya. Hmmm…
tapi, aku kan
belum memastikannya. Sewaktu berjalan tadi, aku tak memperhatikan matanya.
Tetapi kalau memperhatikan cara jalannya, sepertinya mahasiswa itu baik-baik
saja. tak ada yang lain dengan dirinya. Kuputuskan saja untuk berbicara dengan
mahasiswa itu. Namun, aku tak mungkin melakukannya di dalam Masjid.
Kembali
kupandangi arlojiku. Pukul 11.55. sekitar lima
menit lagi, waktu shalat Dzuhur tiba. Sekitar pukul 13.00, aku harus mengikuti
perkuliahan. Hmmm, aku belum mempunyai timeing yang tepat untuk berbicara
dengan mahasiswa itu. Aku bingung harus bagaimana. Dalam kebingungan itulah,
adzan dzuhur pun berkumandang. Kuputuskan untuk shalat terlebih dahulu.
Seusai shalat,
aku tak menemukan lagi mahasiswa itu di dalam Masjid. Mungkin ia telah
meninggalkan Masjid menuju kelasnya. Sayangnya, aku tak tau di mana kelasnya. Ada banyak ruangan kelas
di kampus ini. Aku tak mungkin menelusurinya hanya untuk mencari keberadaannya.
Ketika
kuputuskan untuk meninggalkan Masjid, sebuah benda tiba-tiba menyita
perhatianku. Benda itu terletak di bagian saf lelaki, dan tidak begitu jauh
dari jendela. Sejenak kuperhatikan suasana masjid. Masih banyak jema’ah.
Pikiranku berada di benda itu. Kuputuskan untuk mengambil benda itu. Dengan
rasa percaya diri yang kupaksakan, kulangkahkan juga kaki ini menuju benda
tersebut. Ada
beberapa pasang mata yang menatapku aneh, namun aku berusaha untuk tidak
mempedulikannya.
“hai! Itu bukan
milikmu!” bentak seorang lelaki ketika benda itu sudah berada di dalam
genggamanku. Aku sempat terkejut dibuatnya. Hingga akhirnya aku kembali dapat
menguasai diriku. Bentakan lelaki itu sontak membuat perhatian seisi masjid
tertuju kepadaku dan kepada lelaki itu.
“yaa, ini
memang bukan milikku. Tapi ini milik temanku.” Entah mengapa jawaban itu secara
spontan meluncur bebas dari bibirku.
“hmmm…
benarkah?” balasnya kemudian sambil menatapku tajam. Aku tak tau harus berkata
apa. Sementara itu semakin banyak mata yang tertuju kepada kami.
“kalau memang
itu milik temanmu, lalu siapa nama pemilik benda itu?” sebuah pertanyaan yang
seakan-akan langsung menelanjangiku. Kuakui, aku kali ini salah. Aku telah
berbohong, tapi sungguh, itu bukan keinginanku. Sama sekali bukan.
“hai…, Kenapa
kau terdiam? Kau cukup menyebut nama temanmu! Gampang kan?. Ataukah mungkin kau berdusta?.” Kali
ini, posisiku semakin terjepit. Aku juga bingung, kenapa jawaban tolol tadi
tiba-tiba meluncur dari bibirku?, aku hanya bisa tertunduk. Aku tak tau
bagaimana model wajahku saat ini.
“ada apa ini,
Man?”
“aha! Kebetulan
kamu datang, Syat!” sesosok laki-laki muncul ditengah-tengah kami. Aku hanya mendengar suaranya. Aku sama
sekali tak berani menampakkan wajahku. Malu.
“kamu kenal
dia, syat?”
“tidak. Memang
kenapa dengan dia?”
“Dia
mengaku-ngaku sebagai temanmu.”
“hmmm… tapi kok
wajahnya jadi traffic light begitu?.” Mendengar kalimat terakhir, sontak aku
tak bisa menyembunyikan senyum. Kuberanikan untuk mengangkat wajahku. Dan aku
tidak tertunduk lagi. Ketika itulah aku memperhatikan sosok itu. Astaga,
ternyata dia adalah mahasiswa yang kulihat tadi!.
“maaf, benda
itu punya saya…” ucapnya sambil melirik tongkat yang ada dalam genggaman
tanganku.
“iya. Tapi,
bolehkah kita bicara di luar?” ajakku kemudian. Kedua orang itu hanya
mengangguk lalu mengikutiku keluar dari masjid. Perhatian jama’ah tidak tertuju
lagi pada kami.
“maaf, bukannya
aku ingin mengambil tongkat ini…,” ucapku ketika telah berada di teras masjid.
aku lalu menceritakan pada kedua orang itu tentang peristiwa yang terjadi
ketika aku masih duduk di bangku SMA. Cerita yang ada hubungannya dengan benda
yang dimiliki oleh mahasiswa itu. Keduanya hanya mengangguk-ngangguk. Namun ada
ekspresi lain yang tergambar di wajah mahasiswa yang tongkatnya kuambil tadi.
Ia sepertinya berusaha mengingat sesuatu.
“Hmmm… benar.
Akulah yang kau lihat dipertandingan waktu itu. Waktu itu, aku tidak
menghabiskan pertandingan, karna mataku harus dioprasi. Dan, inilah hasil
oprasinya. Mataku tak seperti lagi dengan yang kau lihat di pertandingan itu.
Tak ada lagi yang menuntunku. Kini aku bisa melakukannya sendiri.” Jawaban
penjelas itu cukup membuatku mengerti. Ternyata dugaanku benar. Dialah orang
yang kucari selama ini.
“namaku Mega
Silfia.” aku menyulurkan tangan mengajak berkenalan.
“iya. Aku
Irsyat Alamsyah.” Waktu membatasi perkenalan kami waktu itu. Aku harus segera
menuju ke kelas. Sehingga kami hanya sebatas memperkenalkan nama. Tak apalah.
Satu impianku telah tercipta.
Sejarah telah
mencatat pertemuan siang itu. Sebuah pertemuan yang mengawali
pertemuan-pertemuan selanjutnya. Hingga hatiku kemudian memunculkan sebuah
rasa. Rasa perpaduan antara dua elemen yang tak kumengerti. Namun dampaknya
cukup terasa.
Tahukah kau aku
rindu,
Dengan dirimu
yang misterius,
Yang
menggemparkan isi hatiku,
Dan
mempermainkan hidupku.
Aku tak tau,
Mengapa
perasaan itu tiba saja bertengger di hatiku,
Merusak sistem
kerja nalarku,
Dan
menyingkirkan logikaku.
Apakah itu
cinta?
Yang terkesan
pada tatapan pertama?
Ataukah mungkin
hanya kekaguman belaka?
Namun semuanya
menjadi indah.
Gowa,
1 februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar